GERAKAN NON-KEKERASAN: PENGALAMAN TIMUR TENGAH

diskusibulanpurnama. [Dbp.]

4 Agustus 2000

GERAKAN NON-KEKERASAN: PENGALAMAN TIMUR TENGAH
Narasumber: Mubarak Awad, Moderator: John Roosa, Penerjemah: Hilmar Farid




Mubarak

Terima kasih, saya gembira berada di sini, begitu pula Nancy, istri saya. Dan mohon maaf kami tidak dapat hadir di sini kemarin, karena ketinggalan pesawat. Saya seorang Palestina, orang Arab, yang sangat tertarik pada masalah non-kekerasan. Seringkali orang bertanya, mengapa seorang Arab – apalagi orang Palestina – seperti saya ini, tertarik pada masalah non-kekerasan. Sebagai orang Palestina saya dan orang-orang sebangsa sudah berjuang selama 52 tahun melawan penguasa Israel. Pada masa itu saya merasa bahwa perang atau pembunuhan bukanlah sebuah jawaban untuk memecahkan masalah.

Kami mempunyai organisasi yang disebut PLO, yang mengabdikan dirinya bagi pembebasan Palestina. Ada yang mengabdi bagi pembebasan Palestina melalui gerakan bersenjata. Saya sendiri belajar di sana, saya lahir di Yerusalem, dan merasa seolah-olah orang Israel harus membunuh semua orang Palestina, atau orang Palestina harus membunuh semua orang Israel untuk memecahkan masalah. Karena itu saya merasa harus mulai membangun sebuah lembaga di Yerusalem untuk mempelajari masalah non-kekerasan. Saya mulai mempelajari mentalitas orang Arab, mentalitas Palestina. Pertanyaannya, apakah kami orang Arab atau Palestina ini memang sudah sejak lahir punya watak yang keras? Apakah sebagai manusia kami memang dilahirkan begitu? Saat mulai pengetahuan saya tentang gerakan non-kekerasan masih sangat terbatas. Tapi saya mulai dengan merasakannya, dengan meyakininya, walau belum banyak yang saya ketahui.

Tapi dalam perspektif religius, sebagai manusia, saya sangat yakin bahwa seseorang – maksudnya siapa saja, tidak peduli laki atau perempuan dan terlepas dari apa agamanya – itu adalah ciptaan Allah. Dan tidak boleh ada orang atau pemerintah yang berwenang membunuh orang lain. Lalu di situ kita mengambil keputusan. Jika hak-hak kita dirampas dan kita mengalami ketidakadilan, maka apa saja metode untuk mendapatkan kembali hak-hak itu. Dan saya merasa bahwa sebagai manusia kita tidak boleh berhenti melawan, kita tidak boleh tinggal diam seandainya ada orang lain yang haknya dirampas. Perjuangan harus terus berlanjut, tapi perjuangan bagi saya, dengan jalan non-kekerasan.

Saya seorang guru, jadi saya mulai dengan menulis tentang non-kekerasan dan menjelaskan kepada orang Palestina bahwa inilah metode yang digunakan Gandhi, atau metode yang digunakan banyak orang lainnya, yakni non-kekerasan. Saya mulai menyebarkan bacaan kepada banyak orang tentang non-kekerasan. Banyak orang yang berpikir bahwa saya ini gila dan mengatakan, "tapi lihatlah, orang Israel punya senjata dan mereka sangat berkuasa, dan sekarang kamu pikir bisa melawan mereka dengan cara begini? Saya tidak yakin itu bisa berhasil." Jadi pekerjaan pertama adalah mengajar orang Palestina atau membuat mereka paham bahwa dalam perjuangan ini kita tidak hanya aktif setahun atau sebulan sekali. Tapi perjuangan itu harus dilakukan setiap hari. Dan setiap orang Palestina, tidak peduli berapa usianya, dapat memberikan sesuatu bagi perjuangan.

Lalu saya mulai mencari dan menulis tentang 120 jalan bagi orang Palestina untuk berjuang tanpa menggunakan senjata. Misalnya, orang Palestina tidak boleh makan atau minum produk apa pun yang dibuat di Israel. Kalau anda hidup di bawah pendudukan, anda tidak perlu menaati aturan atau hukum apa pun yang dikeluarkan penguasa. Anda tidak perlu bayar pajak. Jangan bayar pajak sama sekali! Orang Israel memaksa kami menulis dengan huruf Ibrani, yakni bahasa mereka. Nah, kalau anda bangga dengan bahasa anda, yakni bahasa Arab, maka semua yang berasal dari pemerintah dan ditulis dengan huruf Ibrani, tidak perlu dibuka. Kirim saja kembali kepada pemerintah. Begitulah kira-kira yang saya katakan.

Orang pertama yang bekerja dengan kami dalam situasi itu adalah kaum muda Palestina yang sangat bergairah tapi masih senang menggunakan senjata. Tugas kami menggerakkan kaum muda dan mengatakan bahwa kita akan memperoleh hasil lebih banyak dengan metode non-kekerasan dan tidak perlu ada yang mati terbunuh atau membunuh. Tentu perlu waktu lama untuk meyakinkan mereka dalam situasi seperti itu. Tapi dalam situasi apa pun, jika anda hidup di bawah pendudukan atau di bawah kediktatoran… maka yang paling penting untuk mengalahkan penguasa adalah dengan mempersulit pekerjaan mereka. Setiap hari mereka harus merasa tidak diterima oleh kita. Dan kita juga harus membuat mereka membayar mahal untuk pendudukan itu. Maksudnya sangat-sangat-sangat mahal. Secara psikologis mereka harus dibuat merasa tidak enak, sehingga mereka tidak bisa bilang bahwa "kami menduduki tempat itu tapi penduduk merasa senang." Dan hal yang paling sulit dalam perjuangan non-kekerasan, khususnya antara orang Palestina melawan Israel, adalah bahwa kita harus berbicara dengan orang Israel dan mengatakan kepada mereka, bahwa perbuatan mereka itu salah.

Jadi selama hampir lima tahun kami tak melakukan apa pun kecuali menyelenggarakan pelatihan. Tahun 1982 kami mulai , dan akhirnya memutuskan untuk membuat demonstrasi. Kami tahu bahwa setiap pendudukan atau kediktatoran, itu ada karena hidup di atas apa yang disebut ketakutan. Jadi salah satu tugas pertama jika anda tertarik pada perjuangan, adalah membantu orang yang hidup di bawah penindasan untuk membuang rasa takut terhadap penguasa. Dan cara terbaik untuk membuang rasa takut itu adalah melalui aksi. Misalnya kami mulai dengan 5 atau 10 orang untuk memprotes pendudukan. Dengan bertambahnya jumlah peserta aksi maka kita tidak perlu izin lagi dari penguasa untuk membuat aksi. Dan bukan hanya itu. Kami juga makin tertarik untuk mengajak orang Israel yang percaya akan hak asasi manusia ke dalam perjuangan. Akhirnya mereka ikut bergabung dan melakukan protes bersama kami melawan pemerintahnya sendiri.

Seringkali kita melihat masalah secara hitam-putih. Mereka jahat dan kita yang baik. Berdasarkan pengalaman saya, dalam masyarakat mana pun, semakin banyak anda mencoba berbicara dengan musuh, diktator, polisi atau dengan angkatan bersenjata, maka semakin besar kemungkinan terciptanya pengertian. Saya akan berbicara tentang satu aksi untuk memberi gambaran apa yang saya maksud dengan aksi. Di Palestina ada orang yang disebut pemukim, yaitu orang Israel yang datang untuk merampas tanah, membangun rumah dan membawa penduduk Israel. Jumlahnya semakin banyak sehingga akhirnya terbentuk pemukiman Israel. Waktu itu ada satu kelompok baru yang datang dan merampas tanah kami. Mereka membangun pagar mengelilingi tanah milik orang Palestina. Pemilik tanah itu mendatangi lembaga kami di Yerusalem dan meminta bantuan. Ia minta bantuan agar orang Israel itu tidak merampas tanahnya. Waktu ia datang saya hanya bilang, "Begini saja, seluruh dunia Arab ini tidak akan bisa mengambil kembali tanah itu. PLO juga tidak bisa. Jadi, apa yang membuatmu berpikir bahwa lembaga ini bisa melakukannya?" Lalu dia bilang, "Anda datang ke desa kami bicara tentang keadilan, gerakan non-kekerasan. Kamu bilang itu lebih hebat dari senjata. Nah, sekarang kami datang untuk bertanya bagaimana caranya mendapatkan tanah kami kembali tanpa senjata." Kemudian saya jawab, "Kalau kamu memang mau mendapat tanah kembali, kita perlu bantuan dari desamu, dari teman-temanmu. Mereka yang ingin melihat tanah itu kembali harus membongkar pagar-pagar yang dipasang orang Israel itu, tapi tidak boleh lempar batu dan tidak boleh pakai senjata." Lalu saya minta dia pergi dan berbicara kepada orang desanya. Waktu itu saya berpikir dia tidak akan kembali. Tapi dua hari kemudian ia kembali dan bilang, "Kami sudah siap." Akhirnya kami , ada laki-perempuan, orang muda dan anak-anak, berangkat ke lokasi dan mulai membongkar pagar itu. Tapi sebelum membongkar pagar, saya menghubungi wartawan agar datang meliput. Orang Israel dan tentaranya datang dan mulai menembak di antara kami untuk menakut-nakuti. Tapi kami terus saja membongkar pagar itu. Kalau memang mati saat itu, ya sudah, kami memang sudah bertekad begitu. Kalau mau ditangkap, silakan saja. Tapi kami tidak akan melempar secuil batu pun ke orang Israel itu. Nah, kalau jumlah kita besar dan seluruh dunia tahu apa yang kita lakukan, maka itu sudah termasuk berhasil. Akhirnya militer mengalah dan bilang, "Baiklah, ini memang tanah kalian. Ambillah." Inilah kemenangan pertama.

Kami banyak melakukan aksi seperti itu dan tahun 1988 orang Israel merasa saya menjadi masalah besar bagi mereka. Saya ditahan berulangkali, tapi pada tahun 1988 setelah ditahan selama 40 hari, mereka bilang, "sekarang kamu pergi dari sini." Saya akhirnya dideportasi. Saya pergi ke Washington DC dan membuka lembaga baru yang disebut Non-Violence International. Saya pernah bekerja di berbagai belahan dunia. Saya bekerja di Birma, Chechnya dan sampai saat ini masih bekerja dengan orang Palestina. Kami juga pernah bekerja di Aceh selama kurang lebih enam tahun. Saya juga bekerja dengan pemuda dan anak-anak, dan di Amerika Serikat kami ada program untuk menangani remaja bermasalah. Pekerjaan kami bermuara pada program penanganan anak-anak bermasalah di seluruh dunia. Nancy ini adalah penanggungjawab program Advocate Youth International. Baiklah, saya akhiri sampai di sini dan silakan saja jika ada yang mau bertanya sesuatu.

John Roosa
Saya kira tidak usah membuat kesimpulan dari ceramah ini. Saya hanya mau menjelaskan sedikit lagi mengenai perlawanan sehari-hari. Saya kira itu tema yang penting sekali untuk kita di sini. Dan kita harus memikirkan soal itu. Mubarak Awad belum bicara banyak karena waktu terbatas, mengenai aktivitas organisasi dia, Non-Violence International. Tapi ada flyer ini di depan sini. Mungkin kita bisa bicara lebih banyak tentang organisasi dia. Ada pertanyaan? Pasti ada banyak, tapi kalian masih malu-malu… [tertawa]

Razif

Saya hanya mau tahu bagaimana gerakan non-violence di Palestina sekarang dan berapa jumlah penduduk Palestina. Sebab gerakan non-violence ini sangat erat kaitannya dengan massa yang terorganisasi secara baik. Yang kedua, saya ingin tahu pada tahun 1982 dikatakan gerakan non-violence ini baru dimulai di Palestina, tapi pada saat itu banyak pemimpin PLO yang sangat setuju dengan PLO, salah satunya yang saya ingat Edward Said. Tapi entah kenapa, saya nggak tahu, setelah perjanjian Oslo, Edward Said mengecam PLO dan Yasser Arafat. Saya minta penjelasan lebih jauh dari Mubarak Awad.

Mubarak

Penduduk Palestina itu jumlahnya sekitar enam juta jiwa, dan tiga setengah juta di antaranya, hidup di luar Palestina sebagai pengungsi. Sebenarnya semakin banyak jumlah penduduk, semakin baik itu untuk gerakan non-kekerasan. Tapi bukan berarti bahwa dengan penduduk kecil kita tidak dapat melakukan perlawanan. Setiap orang punya hak untuk melawan, bahkan anak-anak punya hak untuk melawan orang tua mereka, jika orang tua itu melanggar hak-haknya.

Mengenai Edward Said, dia memang pendukung perjuangan Palestina, tapi dia merasa bahwa kesepakatan Oslo tempo hari tidak adil bagi orang Palestina, dan bahwa dalam perundingan para pemimpin Palestina sudah terlalu banyak memberi, tapi menerima terlalu sedikit dari Israel. Edward Said itu teman saya, dia seorang yang sangat tegar, dan dia merasa bahwa orang Palestina dengan perjuangannya seharusnya mendapat lebih banyak daripada yang diberikan kesepakatan Oslo.

Irwan

Saya ingin tahu tentang perkembangan terakhir setelah pertemuan kedua di Camp David. Sangat mengkhawatirkan bahwa kebanyakan kaum muda Palestina di daerah pendudukan mulai melatih diri menggunakan senjata. Semua itu hanya menciptakan masalah. Tapi agaknya sampai saat ini di Yerusalem, Tel Aviv dan juga Tepi Barat, suasananya masih tenang. Nah, bagaimana perasaan anda setelah bekerja dua dekade melatih orang tentang non-kekerasan, melihat kaum muda pendukung Al-Fatah melatih diri menggunakan senjata?

Soal kedua, setelah perundingan kedua di Camp David, kabarnya Arafat akan memproklamirkan kemerdekaan Palestina pada tanggal 13 September. Apakah ini memang akan terjadi, dan apa dampaknya bagi gerakan anda, bagi kaum muda yang mulai menggunakan senjata dan juga bagi anak-anak yang hidup di kamp pengungsian?

Mubarak

Saya mulai dari pertanyaan pertama tentang kaum muda. Memang sangat menyedihkan bahwa Otoritas Palestina yang awalnya begitu menentang negosiasi dan metode non-kekerasan, sekarang juga menggunakan metode-metode itu, sebaliknya kaum muda yang awalnya menggunakan metode non-kekerasan justru mulai angkat senjata. Saya pikir ini terjadi karena kaum muda merasa frustrasi. Mereka tidak punya pekerjaan dan merasa bahwa masa depan mereka tengah dirampas sekarang. Tapi tidak semua kaum muda seperti itu. Memang ada beberapa yang mulai angkat senjata dan menjadi masalah besar baik bagi orang Palestina maupun Israel, begitu pula untuk proses perdamaian ke depan.

Pertanyaan kedua mengenai Camp David. Saya pikir Arafat sudah benar dengan tidak mau menyerahkan sebagian dari Yerusalem, khususnya bagian Arab dari Yerusalem. Yerusalem memang bagian dari perjuangan Palestina, tapi dia juga merasa bahwa itu pada saat bersamaan adalah perjuangan rakyat Arab dan dunia Islam, sehingga tidak bisa mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan kedua pihak itu. Tentang negosiasi yang lain-lain, saya pikir dia cukup berhasil khususnya soal pengungsi, air, batas-batas wilayah dan tentang pemukiman Israel.

Tentang memproklamirkan Palestina sebagai negara merdeka. Saya tentu akan mendukung proklamasi itu tapi juga sadar bahwa akan banyak kesulitan sesudah itu. Orang Palestina tahu bahwa selama ini dunia Arab dan dunia Islam hanya memberikan lip-service saja. Mereka sama sekali tidak memberi service yang lain dalam perjuangan ini. Jadi kalau negara Palestina diproklamirkan, maka kedua belah pihak akan frustasi, maksudnya di pihak Palestina maupun Israel. Dan kita tidak tahu kartu apa yang akan dimainkan oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat memang penting dalam masalah Timur Tengah. Sekitar 80% pejabat pemerintah Amerika Serikat ada di pihak Israel. Jadi kalau Amerika Serikat bilang "jangan bikin proklamasi", maka kita tahu bahwa dalam proklamasi itu juga akan menghadapi Amerika Serikat.

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dari Amerika Serikat. Sekarang istri Clinton, Hillary maju dalam pemilihan senat di New York. Ia memerlukan dukungan dari masyarakat Yahudi di sana. Clinton tidak akan kehilangan apa pun seandainya dia mendukung Israel 100% dan melawan orang Palestina. Sekarang ini ada ancaman dari Amerika Serikat yang akan memindahkan kedutaan besar untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Itu semacam pernyataan kepada dunia bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel, dan menuntut negara-negara lain mengikuti mereka. Jadi kalau Arafat mengatakan bahwa kita akan memproklamirkan negara Palestina, saya yakin 90% penduduk dunia akan setuju dengan kami. Tapi yang kami perlu justru 10% sisanya itu, yakni Amerika Serikat.

John

Di sini ada Lennox Hinds juga dari Rutgers University. Ia seorang dosen hukum dan punya pengalaman luas di Afrika Selatan. Saya akan memintanya untuk memberi komentar tentang gerakan non-kekerasan. Apa saja pengalamannya dengan gerakan itu dan bagaimana pandangannya. Seperti kita tahu di Namibia dan Afrika Selatan ada gerakan bersenjata, begitu juga di tempat-tempat lain. Nah, apa pentingnya gerakan non-kekerasan ini? Apa konteks yang membuatnya muncul?

Lennox

Terima kasih banyak. Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih atas kesempatan ini karena bisa bertemu dengan Mubarak yang pernah saya jumpai limabelas tahun lalu. Saat itu saya sedang berkeliling di daerah pendudukan dan Israel. Waktu itu kepala saya masih banyak rambutnya dan tidak pakai anting-anting, jadi mungkin dia sudah tidak kenal lagi. Tapi saya terus mengikuti karya-karyanya dan sangat menghormati kegiatannya, khususnya kegiatan di Palestina. Waktu saya bertemu dengannya gerakan Intifada sedang berkembang pesat.

Saya juga mau berterima kasih kepada Dolorosa karena mengundang saya ke sini. Semalam saya hadir di pamerannya dan sangat terkesan oleh karya-karyanya. Karya yang lain juga menarik, tapi yang sangat mengesankan itu karya-karya tentang pembebasan perempuan. Ada tiga karya. Satu figur perempuan yang berdiri menantang dengan tangan terlipat, lalu ada lima figur perempuan yang lain. Dan ada patung tujuh perempuan berbaris. Satu di antaranya jelas sedang hamil, dan wajah mereka penuh penderitaan, tapi anda bisa melihat ada semangat solidaritas dan pemberdayaan di sana. Kehadiran saya di Indonesia, di samping karena Julia, juga karena Pramoedya. Saya pernah berjumpa dengannya saat ia berkunjung ke New York menerima sejumlah penghargaan. Saya sangat terkesan padanya, dan saya bertemu dengannya sebagai wakil tetap di PBB dari Perhimpunan Internasional Pengacara Demokratik. Sebagai seorang pengacara internasional, kami berupaya mendirikan pengadilan internasional bagi Soeharto.

Dengan pembukaan seperti itu saya mau menanggapi sedikit masalah yang dibicarakan malam ini. Di samping mengajar hukum saya juga seorang pengacara praktek. Saya punya pengalaman langsung, setidaknya interaksi dan berpartisipasi dengan gerakan perlawanan pasif tanpa kekerasan dalam gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Saya bukan seorang pembela atau pun pemimpin gerakan perlawanan pasif. Selama era perjuangan hak-hak sipil saya bekerja dengan Kongres untuk kesetaraan ras, dan itu semua adalah perlawanan pasif tanpa kekerasan. Tapi saya dengan cepat pindah ke posisi pengacara untuk mendampingi orang-orang yang didakwa melakukan kekerasan untuk perubahan sosial. Saya tidak bermaksud menyangkal teori dan praktek non-kekerasan, tapi sekadar menjelaskan hubungan saya dengan bermacam-macam gerakan ini. Dalam tigapuluh tahun terakhir saya menjadi pembela orang-orang yang didakwa melakukan konspirasi menggulingkan pemerintah Amerika Serikat dengan gerakan bersenjata. Salah satu klien saya adalah Angela Davis dan ada beberapa lainnya. Salah satunya menjadi pelarian di Kuba. Saya pernah membawa petisi ke PBB dari tahanan politik di Amerika Serikat. Mereka ini mantan anggota Black Panthers. Saat bertemu Mubarak tahun 1985, saya baru memenangkan kasus membela delapan orang muda yang dituduh berkonspirasi menggulingkan pemerintah Amerika Serikat. Begitulah, sepanjang karir sebagai pengacara saya selalu membela orang-orang yang menggunakan kekerasan untuk tujuan politik mereka.

Jadi awalnya saya terlibat dalam gerakan non-kekerasan merebut hak-hak sipil tapi dalam tigapuluh tahun terakhir banyak mendampingi elemen-elemen paling radikal dalam masyarakat. Di dunia internasional saya bekerja untuk MPLA, SWAPO dan ANC. Saya mendukung PLO dan lebih penting lagi mendukung hak memberontak dalam hukum internasional. Memberontak terhadap penindasan bukan hanya hak tapi kewajiban. Tanpa keadilan tidak mungkin ada perdamaian. Saya mendukung garis itu, membelanya, menulis tentang itu, dan akibatnya nama saya masuk dalam file FBI dengan lima kategori: Pertama, ekstrimis hitam – saya tidak tahu apakah saya ini ekstrimis atau bukan, tapi saya pikir ini karena mereka menyamakan saya dengan orang-orang yang saya bela. Jadi ekstrimis, radikal hitam, komunis, simpatisan merah, dan sebagainya. Semacam indeks keamanan internasional. Jadi kalau anda kebetulan melihat dokumennya, maka terlihat kategorinya seperti itu. Dan setiap kali saya berbicara di sebuah tempat, file itu akan ada tambahannya. Dan saya yakin setelah malam ini pun akan ada halaman baru di file mereka (tertawa). Saya bukan mau menakut-nakuti, tapi sebagai seorang pengacara, anda tahu kerja dinas intelijen. Anda bertemu orang banyak dan berpikir mereka semua mendukung. Tapi tiba-tiba anda akan bertemu salah satu pendukung itu di ruang sidang memberi kesaksian yang memberatkan. Paling anda cuma bisa bilang, "Ya, ampun… saya kira…" Nah, begitulah pengalaman saya sebagai pengacara, sebagai aktivis, dan seringkali batas-batas ini menjadi kabur. Maaf kalau saya bicara terlalu panjang.

John

Baiklah, ada lagi yang akan memberi komentar? Kalau belum saya coba lanjutkan dulu. Kalau melihat kasus Timor Lorosae, ada gerakan bersenjata di sana yang melawan pendudukan, tapi pada saat bersamaan ada gerakan rakyat yang juga melakukan perlawanan sehari-hari. Ada banyak bentuk perlawanan non-kekerasan, sama seperti yang dilakukan Mubarak di Palestina. Nah, apakah anda melihat non-kekerasan ini sebagai strategi yang berguna dalam konteks tertentu atau memang sebuah filsafat yang tidak bisa ditawar lagi? Saya hanya ingin tahu, apakah non-kekerasan itu sebuah strategi yang tepat untuk konteks tertentu, dan apakah kekerasan bisa dibenarkan dalam konteks yang lain? Atau apakah anda percaya bahwa non-kekerasan itu satu-satunya metode yang tepat?

Mubarak

Saya pikir ada banyak orang yang yakin bahwa kekerasan akan membawa keadilan dengan cepat. Dan kalau ada kelompok yang saling bertikai seperti di Birma misalnya, atau ada penguasa militer atau kediktatoran yang menindas rakyatnya sendiri, kerusakan, pembunuhan, kematian dan bencana ekonomi yang ditimbulkan tidak hanya berlangsung setahun, tapi kadang-kadang bisa sampai lima tahun, sepuluh tahun, bahkan limabelas tahun. Lalu orang akan mengatakan, "untuk apa semua ini?" Orang Palestina juga berpikiran seperti itu. Gerakan baru kaum muda di Palestina sekarang, merasa bahwa orang Israel tidak akan mundur dari Lebanon selatan, karena Hizbullah melakukan perjuangan bersenjata dan kekerasan. Lalu mereka mulai menghitung berapa orang Israel yang sudah mati, dan akhirnya memutuskan tidak ada gunanya bertahan di sana. Mereka pergi. Nah, banyak orang Palestina mengatakan, kalau Hizbullah di Lebanon bisa bersikap seperti itu, mestinya kita juga bisa berhasil. Jadi semua ini menjadi bagian dari strategi kekerasan. Tapi menurut saya dalam jangka panjang, jika tidak ada pertumpahan darah kita selalu bisa mendatangi musuh dan berjabatan tangan tanpa harus menunggu terlalu lama. Itulah strategi non-kekerasan.

John

Okay, ada pertanyaan lagi atau komentar? Saya mau minta kita berpikir tentang gerakan non-kekerasan di sini, di Indonesia. Kalau gerakan itu bisa dibangun, bentuknya kira-kira apa ? Kita harus memikirkan tentang konteks Indonesia. Saya minta orang untuk memberi komentar mengenai itu. Bukan hanya bertanya sama Mubarak Awad mengenai Palestina, tapi juga memberi komentar. Pendapat kalian mengenai kekerasan atau non-kekerasan, bagaimana? Ada orang di sini yang suka kekerasan. Kita lihat film-film banyak penuh kekerasan. Ada enjoyment di situ, ya. Benar atau tidak? Ini memancing pendapat, ya. Atau non-kekerasan itu bagaimana?

Mubarak

Mungkin ada baiknya Nancy berbicara tentang beberapa buku yang kami bawa, dan juga tentang apa yang kami lakukan di seluruh dunia dengan program-program kami. Mungkin teman-teman di sini tertarik dan mau bekerjasama dengan kami.

Nancy

Selama ini saya terus bekerja dengan anak-anak. Sebagian besar ketika bekerja sebagai pegawai dan guru sekolah. Ketika Mubarak dan saya tinggal di Yerusalem, saya menjadi kepala sekolah untuk anak perempuan. Ada 550 anak perempuan, mulai dari taman kanak-kanak sampai kelas 12. Semuanya anak perempuan Palestina. Sekarang saya bekerja di Washington DC dan lebih banyak bekerja di belakang komputer, dan salah satu proyek organisasi yang saya kerjakan adalah menerbitkan serial booklet tentang kaum muda dan masalah kaum muda secara internasional. Kami sudah menerbitkan enam buku. Saya bagikan saja agar semuanya bisa melihat [membagikan buku kepada peserta]. Ada buku tentang serdadu anak, buruh anak, perdagangan seksual anak, tentang anak-anak yang dipenjara, dan kaum muda yang diburu dan dibunuh. Satu lagi buku tentang anak-anak dan HIV/AIDS, cerita tentang mereka yang sudah terjangkit dan terpengaruh, lalu anak-anak yang kehilangan orang tuanya karena AIDS. Buku terakhir dibuat untuk pertemuan Beijing +5 di PBB, mengenai diskriminasi anak perempuan, antara lain tentang perempuan yang disunat dan juga pembunuhan. Buku-buku ini saya tinggal di sini, tapi kalian juga bisa melihatnya melalui website. Kami mencoba mendidik masyarakat Amerika Serikat. Kebanyakan orang di sana hanya melihat masalah di lingkungannya sendiri, dan tidak melihat bahwa ada banyak masalah di seluruh dunia, dan bahwa ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari seluruh dunia. Jadi inilah usaha kami membuat penduduk Amerika Serikat menjadi bagian dari warga dunia.

Buku tentang serdadu anak sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, sementara perdagangan seksual anak sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina, dan booklet tentang HIV/AIDS diterjemahkan ke bahasa Vietnam. Ada satu lagi buku yang diterjemahkan ke bahasa Arab, tapi tidak saya bawa sekarang. Dan kami senang jika ada organisasi di sini yang mau menterjemahkan dan mendistribusikannya.

Nah, ini buku lain lagi. Mubarak selalu membawanya ke mana-mana karena ditulis oleh putrinya sendiri. Buku ini ditulis dan diberi ilustrasi khusus untuk anak-anak yang berbicara tentang hak-hak anak. Buku ini juga bisa dibacakan oleh orang tua untuk anak-anak mereka, tentang hak mempunyai nama, kebangsaan, hak atas pelayanan kesehatan, pendidikan dan seterusnya. Kami menerbitkan buku itu sebagai bagian dari perjuangan di Amerika Serikat. Kebanyakan orang di sana merasa bahwa anak-anak tidak punya hak. Jadi buku ini ditulis khusus untuk orang Amerika Serikat, tapi kelihatannya ada banyak orang di luar Amerika yang juga tertarik akan buku itu.

Ocip

Orde Baru itu dibangun oleh mekanisme kekerasan militer. Tapi setelah Orde Baru runtuh, ternyata kekerasan tidak berhenti. Hal ini mungkin sama seperti yang dikatakan oleh Mubarak mengenai intervensi Amerika, terutama dengan industri bantuannya yang beroperasi di Aceh dan juga beroperasi di Ambon. Industri bantuan ini kalau kita lihat semakin lama seperti bagian dari mekanisme kekerasan itu. Saya pikir itu komentar saya atas pancingan John.

Alit

Saya berkomentar atas pancingan John juga. Saya kira kekerasan yang terjadi di Indonesia selama ini telah diromantisasi. Orang berbicara tentang kekerasan selalu merujuk pada ekspresi kebudayaan yang seolah-olah memang penuh kekerasan, seperti permainan dan sebagainya. Nah, ketika gerakan non-kekerasan ditawarkan di sini, yang terjadi justru sebaliknya. Gerakan non-kekerasan cuma dilihat dari bentuknya saja, misalnya bagi-bagi bunga, tapi pemikirannya tidak. Memang penting bagi kita untuk belajar tentang mentalitas bangsa. Apa benar masyarakat ini keras, seperti digambarkan Clifford Geertz ketika bicara tentang Bali? Pemikiran ini rasanya sudah masuk ke dalam kesadaran, sehingga terlihat bahwa masyarakat memang suka kekerasan. Kembali ke gerakan non-kekerasan, saya pikir pemikirannya itulah yang paling penting disebarluaskan, agar kita tidak hanya mengambil bentuknya saja.

Mubarak

Biasanya kita berpikir tentang gerakan non-kekerasan kalau sedang menghadapi masalah. Sebenarnya sangat penting untuk mulai bekerja, membangun NGO, memperluas jaringan justru saat tidak ada masalah. Kita harus kenal polisi, angkatan bersenjata, orang pemerintah. Berkunjung ke tempat mereka, menulis surat, kenalan dengan anaknya, apa sajalah. Nah, kalau situasi atau masalah itu datang, kita sudah lebih siap karena kenal semua orang.

Ika

Saya hanya memberi komentar mengenai masalah gerakan anti-kekerasan ini. Kalau saya pikir di Indonesia sudah ada lembaga-lembaga hak asasi manusia. Tapi saya melihat badan itu tidak bergerak seperti yang kita inginkan. Seperti sekarang ini, mahasiswa sudah melakukan gerakan non-kekerasan, dengan memberikan bunga di jalan. Tapi saat mahasiswa melakukan itu ada juga yang memasuki gerakan itu dengan kekerasan. Jadi saya rasa susah untuk mulai melakukan gerakan anti-kekerasan itu. Maka untuk itu saya rasa kita harus mulai bersama-sama, karena dalam hal ini pemerintah sendiri sebenarnya tidak seluruhnya mendukung untuk mengatasi hal-hal semacam itu. Nah, pemerintah sendiri kayaknya diam saja, tidak memberikan sambutan yang baik untuk gerakan anti-kekerasan ini. Walaupun mereka tahu, mereka diam saja. Jadi bagaimanapun saya rasa agak sulit untuk mengatasi hal semacam itu.

Mubarak

Ini masalah menarik. Memang saat kita melancarkan gerakan non-kekerasan, kita berharap lawan kita tidak menggunakan kekerasan. Itu bagus saja, tapi tidak selamanya benar. Namun, kalau berbicara tentang pemerintah Indonesia sekarang, sebenarnya presiden itu [Gus Dur] orang yang tahu persis apa itu gerakan non-kekerasan. Ia tahu apa artinya, ia tahu apa kekuatannya, dan ia sering hadir dalam konperensi mengenai non-kekerasan. Dan bukan hanya dia. Waktu ada konperensi di Washington DC, saya pikir ada tiga menteri lain yang hadir dan bicara mengenai non-kekerasan. Jadi sebenarnya ada perhatian dari pihak mereka.

Hal lain yang menurut saya penting, kadang kala orang merasa tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa. Saya tidak setuju karena seseorang itu bisa melakukan banyak hal. Kalian mempunyai kekuatan di dalam diri untuk digunakan. Kalau bertemu mahasiswa, temui dan bicaralah. Kalau bertemu anak-anak, temui dan bicaralah. Lalu bikin aksi, sebanyak mungkin. Kalau bertemu orang miskin, sudah jelas mereka perlu bantuan. Kita perlu membentuk kelompok untuk memberikan bantuan. Non-kekerasan bukan hanya perjuangan melawan ketidakadilan politik, tapi juga ketidakadilan sosial. Dan dengan begitu kita akan mampu menggalang kekuatan. Pertemuan kita ini juga bagian dari aksi itu, sangat indah. Saya pikir akan baik sekali kalau kalian mulai berpikir tentang sesuatu yang dapat dikerjakan untuk masyarakat, di mana saja. Misalnya 50 orang berkumpul lalu memutuskan bahwa besok setiap orang akan menanam sepuluh pohon atau menanam bunga di pangkalan militer. Kita harus melakukan sesuatu, kita harus mau berkeringat, membuat tangan kotor. Dan itu semua bagian dari gerakan non-kekerasan menurut saya.

John

Saya kira dari penjelasan mengenai gerakan non-kekerasan seperti itu, jelas sudah ada gerakan non-kekerasan di sini. Ada SIP (Suara Ibu Peduli), ada gerakan petani untuk mengambil tanah, dan banyak orang di Indonesia tidak menggunakan kekerasan untuk minta keadilan. Mungkin kita harus pikir lebih mendalam bagaimana kita bisa membangunkan apa yang sudah ada di Indonesia, supaya itu bisa lebih canggih. Kita bisa melihat apa yang sudah ada di sini, supaya kita bisa bikin gerakan dan ideologi gerakan, strategi gerakan yang lebih developed. Itu komentar saya. Ada komentar lain?

Emigo

Pertanyaan saya singkat saja. Apa yang Mubarak ketahui tentang kekerasan di Indonesia, dan kalau teori anda mau diterapkan di sini, dari mana harus mulai?

Mubarak

Saya tidak tahu banyak tentang Indonesia maupun kekerasan yang terjadi di sini. Tapi sebenarnya orang Indonesia itu tidak jauh berbeda dengan orang Palestina. Kita semua manusia. Kalau kita berpegang pada prinsip itu, artinya tidak ada orang yang sejak lahir sudah senang kekerasan. Kekerasan biasanya datang pada kita, kita belajar kekerasan dari orang tua, atau masyarakat di sekeliling kita. Tapi sebagai manusia, kita bukan mahluk penuh kekerasan. Jadi tidak peduli kebangsaan atau agamanya. Hal penting menurut saya bagi Indonesia adalah perlunya indidivu berhak untuk memerintah dirinya, dan juga punya suara dalam pemerintahan. Dan kalau ini dirampas, maka hasilnya adalah kekerasan di mana-mana. Kita harus mulai dari mana, itu pertanyaan kedua. Pertama, kita punya semua deklarasi hak asasi manusia. Sederhana saja. Lalu kita harus memahami konsep kekuasaan, karena kalau orang sudah berkuasa maka biasanya jadi serakah, korup, menganggap dirinya dewa, memberi perintah seenaknya tapi tidak mau dengar orang lain. Itu bukan hanya di sini. Di mana-mana kita melihat itu. Yang perlu kita tangani adalah memastikan bahwa mereka yang bekerja dalam pemerintah memang melayani rakyat, bukan berkuasa atas rakyat.

John

Saya pikir sudah waktunya mengakhiri diskusi. Saya pikir komentar terakhir dari Mubarak dengan abstraksi filosofis demikian, sudah merangkum segalanya, dan memberi perspektif yang jelas bagi diskusi kita malam ini. Kita masih bisa terus ngobrol seperti biasa. Saya berterima kasih kepada Mubarak Awad dan Nancy yang hadir di tengah kita malam ini, yang sudah berjuang – tanpa kekerasan – untuk bisa datang ke sini [tertawa]. Dan saya juga berterima kasih kepada kalian, kepada Nancy dan karyanya di tengah anak-anak untuk membuat dunia ini menjadi lebih baik. Dan juga kepada Mubarak Awad dan pekerjaannya di Non-Violence International. Kalau masih ada yang mau tanya, bisa langsung ke Mubarak. Lennox juga masih ada di sini.

Alit

Terima kasih kepada Mubarak, Nancy dan Lennox. Juga kepada Fay yang berjuang menerjemahkan dan kepada Gung Ayu yang mengatur kedatangan Mubarak ke sini.

[tepuk tangan meriah]