GEGENJEKAN DI BALI DAN PENDEKATAN ANTROPOLOGI

diskusibulanpurnama. [Dbp.]

14 Agustus 2000

GEGENJEKAN DI BALI DAN PENDEKATAN ANTROPOLOGI
Nara Sumber: John MacDougall, Moderator: Alit Ambara


Moderator

John adalah kandidat doktor Antropologi dari Princetion University, yang sekarang tinggal di Bali. Beberapa waktu lalu bersama Alex Edmonds pernah membuat video dokumenter dengan judul "Satan in Paradise" tentang turisme, kelompok-kelompok musik death metal dan gegenjekan dan black magic di Bali. Malam ini dia akan berbicara tentang gegenjekan yang sangat populer di Bali. Silakan, John.

John MacDougall
Sejak tahun 1995 saya mulai meneliti gegenjekan sebagai sebuah tradisi, walau tiga tahun terakhir saya lebih banyak bekerja di Lombok. Sebenarnya tidak terlalu tepat jika gegenjekan disebut tradisi lisan, dan saya agak kesulitan juga menjelaskan istilah itu. Jadi, mari kita diskusi untuk sama-sama mencari definisi yang lebih mewakili. Mohon maaf kalau bahasa Indonesia saya kurang fasih. Saya akan berusaha menerjemahkan pikiran-pikiran yang agak kacau ke dalam bahasa Indonesia yang lebih bersih dan mudah dimengerti.

Semuanya dimulai dari populisme pemuda Bali pada akhir 1990-an. Hingga sekarang belum ada pendekatan teoretik, fenomenologi atau wacana yang bisa menangkap kesinambungan antara aneka ragam peristiwa budaya dan politik yang memaksa masyarakat Bali, masyarakat Indonesia untuk saling berhadapan. Dibandingkan dengan masa sebelumnya, di tahun-tahun ini kita menyaksikan pesatnya perkembangan politik antar partai, mobilitas preman, kehadiran pengungsi di kampung halaman orang atau kepenuhan panca indera akibat media massa. Semua ini telah menarik massa "bersih politik" Bali ke dalam keterpecah-belahan yang sangat sulit dipahami atau pun diteliti. Sayangnya penelitian standar mengenai Indonesia belum memberi kita bantuan yang berarti. Selama literatur tentang kehidupan di Bali memaksa kita untuk menghadapi suara sunyi kebudayaan, sejarah Orde Baru dan penelitian yang dilahirkannya. Banyak suara sunyi ini dilestarikan oleh para peneliti agar dapat melanjutkan studinya dan karirnya di Indonesia.

Seperti kita ketahui, pembicaraan tentang kasta atau pembantaian G-30-S/PKI sering dihadapi dengan muka seram, kebungkaman atau perubahan topik secara mendadak. Penelitian yang sanggup mengungkap kekerasan G 30 S PKI atau kekerasan militer Orde Baru menempatkan peneliti pada posisi yang sulit pula. Dia harus memilih untuk mengekspos atau menutupi kelakuan mayoritas orang Bali dan generasi yang berkuasa hingga kini. Orang-orang ini bukan hanya menjadi pegawai negeri, tapi juga kelian banjar, hansip dan kadang kala kawan. Jadi, kalangan kritis banyak yang mencari ruang sah untuk melemparkan kritik melalui topik "modifikasi budaya Bali". Kami bersandar dengan enak pada kritik dari aliran politik Marxis.

Pada waktu itu kajian sosial mengenai struktur kemiskinan atau mengenai kriminalitas tidak muncul karena topik itu terlalu berbau empirisisme, berbau politik praktis yang naif, jargon-jargon keaslian, mengenai politik yang asli dan ritual yang asli, politik yang asli bla-bla-bla mensahkan partisipasi oleh semua kalangan, termasuk pemerintah. Namun harus diakui fungsi politik keaslian dirumitkan oleh benturan ekonomi ritual yang mungkin unik di Bali. Kapitalisme pariwisata Bali ikut menggiatkan ekonomi pertukaran yang ada dalam ritual Bali, dan dengan cara itu menciptakan "prestasi total", maksudnya pengeluaran uang secara habis-habisan tapi sekaligus penumbalan dan komoditas, ungkapan sosial dan pentas: suatu karnaval pengungkapan keakraban dan pengasingan makna sosial pada hal yang sama. Ritual megah menjadi trendy dan dilaksanakan tiap tahun dan dikaji baik oleh orang Bali maupun orang asing. Ada juga pemberdayaan philantropic yang menaruh perhatian pada seniman tua seperti Ida Bagus Made Poleng. Made sebagai pakar pelestarian seni membelokkan perhatian peneliti dari apa yang sedang dibelokkan oleh orang Bali. Jika dia membahas konflik kekerasan, ingatannya dan peristiwa-peristiwa politik yang hadir justru tak nampak

Beberapa peneliti mencoba membicarakan makna kebisuan secara budaya politik dan cara pengutusan kebisuan itu pada hubungan orang Bali dengan rezim wacana negara dan wakil lokalnya. Makalahnya Hendrik Gates "Teater Kekejian" dan essay-nya Degung Santikarma "Koh Ngomong" adalah dua contoh yang baik, tulisan tersebut membahas sikap populer orang Bali terhadap kekuasaan dan politik dalam era sejarah yang sangat berbeda. Makalah Gates menjelaskan penyiksaan pada sekelompok orang politik pada awal tahun 1950-an oleh kelompok politik dominan, yaitu bangsawan dominan di salah satu desa di Bali Tengah. Degung Santikarma menjelaskan koh ngomong, suatu ungkapan populer anak muda di Bali. Koh berarti suatu kelesuan dan ngomong berarti bicara, seperti dalam bahasa Indonesia. Tapi koh ngomong itu kemudian menjadi jawaban terhadap wacana-wacana negara. Misalnya begini. Tanah bapak diambil. Lalu saya datang dan bilang, "Bagaimana, saya mau beli tanahmu Rp 100 ribu per are." Lawan bicara menjawab, "Koh ngomong," artinya "lesu hati saya bicara", tapi maksud sesungguhnya "untuk apa saya bicara dengan kamu". Jadi, diusir begitu saja. Dan itu menurut Degung adalah kebisuan sebagai kekuatan perlawanan. Kedua makalah ini menghindari pendekatan konvensional, dan mencari gema-gema sosial yang ada dalam bahasa populer, dengan meneliti ungkapan agama, politik ritual dan psikologis dalam sebuah peristiwa atau masa.

Nah, coba kita lihat masa sekarang. Apa yang diciptakan oleh reformasi dan apa yang tersisa dari Orde Baru? Ini mungkin pertanyaan awal dan mungkin juga pertanyaan yang terlalu umum. Sekarang, pada awal era reformasi ini, kita dibekali gejala-gejala sosial baru tanpa ke-tunggal-an. Kekuasaan yang heterogen atau aneka ragam telah muncul dan membuat ruang dimensi sosial baru, mendorong praktek-praktek yang dulu berada di bawah tanah ke permukaan, dan sekaligus memperlihatkan praktek-praktek Orde Baru di balik layar bersama kekuasaan dan sarana untuk menyalurkannya. Bagaimanapun kemegahan negara imajiner Orde Baru, orang tetap mendengarnya dalam hubungan sosial, gaya bahasa dan wacana yang menandakan kemodern-an. Rezim wacana negara telah memasuki semua dimensi sosial kehidupan orang Bali, tapi dalam praktek sosial terucap cara yang tidak lazim, atau dalam bahasa jazz yang sengaja tak seirama.

Pada akhir masa Orde Baru mulai muncul gaya sosial tandingan di Bali, seperti kampanye politik, penentangan upacara-upacara besar yang dilakukan oleh kalangan bangsawan, munculnya pecalang – mungkin siskamling kalau di Jakarta – dan gegenjekan. Praktek-praktek ini menangkap dan menolak rayuan terselubung dalam wacana negara dengan gaya jago-jagoan dan ungkapan yang dirancang untuk mengasingkan kekuatan pengasingan Orde Baru. Jadi dia mengasingkan wacana Orde Baru yang mengasingkan dirinya. Alat atau wacananya kelihatan begitu dangkal dan dungu. Dengan gaya pentas seperti ini gegenjekan mengisahkan wacana Orde Baru sebagai sesuatu yang hampa, kekanak-kanakan tapi terlalu sungguh-sungguh. Orde Baru dan kecengengan kelas menengah Bali muncul pula dalam estetika "ketunggalan negara", dan di bawah sinar gerakan seperti genjek mulai tampak memuakkan. Mulai timbul rasa muak yang melegakan. Jadi, bagaimana kita melihat periode ini, di mana yang di bawah tanah berada di atas panggung, bayang-bayang telah berbentuk dan rahasia umum menjadi fakta dan bukti?

Gegenjekan berasal dari bahasa Bali, artinya kurang lebih parodi, tapi tidak ada padanan yang tepat. Genjek tidak ada miripnya dengan seni panggung Bali yang sudah distandarisasi untuk industri pariwisata atau pentas lainnya. Dari Karangasem, Jembrana, di pesisir Bali Utara, grup-grup gegenjekan berkumpul dan minum tuak, menyanyikan lagu-lagu yang mengisahkan putus cinta, gagal mencari pendidikan, reformasi dan harapan yang digugurkan penguasa . Penguasa ini bisa saja penguasa di Jakarta atau tetangganya sendiri, pendeknya siapa saja. Lagu-lagu itu kemudian ditarikan dan disambut yel-yel oleh kelompok laki-laki yang saling gesek dan sindir. Mereka melingkari ember tua, sambil menari memegang gelas dan bergilir dari satu penyanyi ke penyanyi lain mengisi panasnya persuasi dengan kanyaman tuak. Nyam itu berarti dingin tapi juga berarti gila. Itulah perasaan yang muncul pada waktu orang minum tuak, mungkin. Saya pernah menjadi nyam juga dan menari yang jauh dari halus. Tarian genjek ini lebih mirip ngibing-nya joged. Dengan gerakan dan yel-yel yang menghentak, genjek menangkap dan mengucapkan dadakan atau perasaan spontan dan cerdas. Perasaan dadakan ini menyalurkan ketegangan dalam persuasi yang digarap bersama teman-teman senasib, walaupun cuma sesaat.

Setelah bergaul dengan pemuda genjek yang gondrong dan bertato di pesisir Karangasem, saya dan beberapa teman Bali di Denpasar mencoba membuat film mengenai gegenjekan dan perlawanan populer pada musim kemarau tahun 1997. Tahun itu penting karena menunggangi momentum pasca-pemilu, Golput dan kekerasan khas Orde Baru, yang dimulai dari peristiwa 27 Juli 1996. Di Bali tahun 1996 tidak hanya ditandai munculnya teror baru, maraknya popularitas PDI-P, tapi juga membuka peluang populerisasi gerakan pemuda dengan yel-yel gaya baru, atau gegenjekan. Mulai November sampai Desember 1996, harian Bali Post penuh dengan polemik, di satu sisi elite budaya perkotaan Bali menentang pencemaran tradisi pasca-panen a la pedesaan, yaitu gegenjekan. Waktu itu Pak Wayan Bandem, ketua STSI menentangnya dan berharap anak-anak lebih banyak bermain saja. Seolah mengatakan, "kenapa kalian tidak ke mall saja seperti ABG lainnya?" Jawaban anak muda waktu itu setengah menyindir atau mengejek, "Kami sedang melestarikan budaya kita."

Gesek genjek menjadi semakin populer, dijual, diputar dan ditiru hampir di seluruh Karangasem, Buleleng, dan jalur wisata Bali dari Ubud sampai Kuta. Mereka menyanyikan genjek klasik seperti "Adi Yayu", lagu yang menyesali patah hati akibat kawin paksa, atau "Edi Bungsil" – sebenarnya yang dimaksud Eddy Tansil – ceni mapecik anak muda yang mau jadi wartawan. Ada genjek transmigrasi, dan ada juga genjek stress. Lagu-lagu seperti ini ditiru dan dipentaskan dengan gaya semi-jagoan baru Bali. Kadang ada improvisasi dengan adegan jorok-jorokan. Lagu-lagu dadakan ini juga disusupi gaya setempat. Saya pikir gaya setempat juga muncul sebagai jawaban terhadap tantangan bagi genjek untuk mencari yang spontan, dadakan, jadi tidak hanya asal tiru saja. Mungkin bagian teorinya bisa kita bahas nanti.

Dari pengamatan awal ini serta dengan melihat debat-debat di Bali Post dan pentas yang kami hadiri, ikut genjek serta wawancara dengan penyanyi genjek, banyak pertanyaan yang muncul dan hanya beberapa saja yang sanggup saya jawab. Dari semua pertanyaan ini yang paling saya pikirkan adalah: bagaimana gegenjekan yang merayakan kegagalan melalui stress dan cinta tidak terwujud atau mimpi menjadi orang kaya di kota itu, mengungkapkan dan menggerakkan birahi sosial-politik dan ketegangan yang dirasakan oleh pemuda-pemuda Bali pada akhir 1990-an. Gegenjekan sebagai sebuah performance atau gaya pentas adalah gerakan yang nikmat bagi yang menyanyikannya, seperti blues di Amerika. Lagu-lagunya menyanyikan kehampaan atau sesuatu yang tidak ia miliki. Kalau di Bali, mungkin karena kedudukannya dalam jajaran status masyarakat, penyanyi-penyanyi gegenjekan merindukan keberuntungan. Jadi seolah-olah genjek menjadi nyanyian terhadap kematian, keberhasilan dan pembangunan. Kehampaan ini mempunyai dimensi pula dan inilah yang akan saya jelaskan.

Saya menggunakan "dimensi" karena istilah seperti ini menceritakan ruang dan juga wacana yang bersifat emosional atau ideologis. Dimensi ini mencakup semua unsur. Tapi dalam gema keakraban antara dimensi emosi ruang dan politik penyanyi genjek, kita menemukan pencarian dan kepuasan, walaupun kepuasaan sesaat dari kehampaan itu. Jadi koordinat dari kehampaan ini ada dalam lagu-lagu genjek. Kekerasan dalam gerakan genjek khususnya bisa ditelusuri pada sejarah praktek-praktek sosial dan mobilitas masyarakat pekerja Bali yang berasal dari Karangasem dan Buleleng. Inilah yang menjelaskan mengapa munculnya pada akhir 1990-an. Sejak meletus Gunung Agung pada tahun 1993, penduduk dari wilayah Bali Utara bermigrasi atau pindah ke Bali Selatan mencari pekerjaan kasar, pendidikan atau kehidupan baru.

Sekarang pada tahun 1990-an kita masuk pasar, kebanyakan pedagangnya bukan dari Karangasem. Pada awal pembangunan besar-besaran Bali Selatan, hampir semua tenaga kerja kasar berasal dari Karangasem dan Buleleng, termasuk pembantu rumah tangga, buruh pasar yang berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan cari makan pada kelas menengah Bali yang muncul begitu subur pada tahun 1990-an. Dari sudut pandang pekerja Karangasem dan Buleleng, migrasi ke Bali Selatan, Denpasar atau Kuta adalah perjalanan jauh. Dalam perjalanan itu sudah terpahat sebuah dimensi ruang yang penuh birahi mendapat keberhasilan, dan juga kegagalan kalau akhirnya dia kembali ke desa. Jadi dimensi ini bisa kita lihat dalam wacana lagu-lagu mereka. Sejak tahun 1992 setiap malam Minggu grup-grup gegenjekan tidak hanya berkumpul di kampung halaman mereka, tapi juga Kuta, Sanur di mana mereka mencari buruh, atau di mana mereka mencari pedagang acung di pinggir pantai. Di sana mereka mengumpulkan uang dan pengalaman, lalu menemukan blues baru, suatu warna biru yang dimiliki oleh kebanyakan orang Bali yang tidak ikut menjadi kaya karena pariwisata. Saya akan bacakan teks sebuah lagu,

Tidak terfikir oleh kakak ingat akan diri adik sekarang
Sekarang kita saling ketemu kakak sama adik di pesisir
Baru kakak panggil adik datang sambil tersenyum manis
lalu sama-sama ngaku saling rindu lama tidak bertemu
Semoga saja bli ada jodoh dengan adik
Mari kawin sama kakak pada saat manis galungan
Adik, bingung sekali kakak saat ini
Kakak mendengar berita akan diminta lagi tiga hari
Yang meminang adalah sepupumu
Ke sanalah adik melangkah dan jangan lagi menoleh ke mana-mana
Baik-baik engkau melangkah
Lalu, lagu "Bli Bagus"
Janganlah kamu menyesali, karena sudah jalan saya dijodohkan bapak-ibu
Tidak ada hal yang perlu saya bicarakan padamu
Jangan kakak ngambek, saya bukan satu-satunya perempuan di sini
Masih banyak bintang di langit
Lalu, lagu "Sang Primadona", cerita tentang gadis cantik perawan desa yang punya cita-cita jadi sarjana.
Sebenarnya tidak punya ijazah,
pergi ke kota mencari kerja dan menjadi pelayan toko
Banyak orang-orang muda dan tua saling mendahului
tapi malang nasibnya terlunta-lunta lalu sekarang jadi primadona.

Dalam lagu-lagu tadi saya tidak menjelaskan ada letupan-letupan suara yang justru menjadi jawaban dari dimensi-dimensi yang saya bahas tadi – yang dibicarakan. Banyak suara ini muncul dari peperangan antara Bali dan Lombok, pada waktu penjajahan Bali terhadap Lombok, di mana masyarakat miskin dari pegunungan dibawa ke Lombok, sebagai kawula atau budak, atau menjadi orang panggilan yang harus ikut perang dengan raja Karangasem pada waktu itu. Ini beberapa bekas dan gema yang ikut menyumbang makna pada ungkapan pemuda-pemuda Bali yang menyangikan genjek. Mirip seperti blues di mana laki-laki tidak bertempat tinggal atau tanpa kampung halaman mulai menyanyikan kehilangan ideal yang romantis. Lagu pertama mengungkapkan rasa rindu, sebuah dialog antara dua pekerja desa yang sama dan tidak bisa mengaktualisasikan cintanya karena mereka hanya bisa menikah kalau kembali ke desa mereka pada waktu Galungan, musim klasik untuk menikah bagi orang Bali. Namun masalahnya mereka tidak bisa membiayai upacara sebesar itu, jadi hanya membayangkan betapa indahnya kalau pulang kampung dan menikah. Lagu kedua mengisahkan kehilangan cinta karena keluarga perempuan mau menguatkan keturunannya dengan pernikahan dalam keluarga.

Kedua lagu tersebut lebih bisa dimengerti kalau kita tanya salah satu penyanyi yang tadi saya kutip, teman saya yang namanya Gede. Ia menjelaskan kalau ada orang meninggal di desanya, biasanya perempuan membawa beras dan bahan masakan dan laki-laki menyusul dengan tuak dan sate untuk makemit. Biasanya di Bali sebelum jenazah dibawa ke kuburan mereka harus berdiam semalam, begadang semalam untuk menjaga jenazah dari leak atau roh-roh yang bisa mengganggunya. Roh-roh ini hanya bisa mengganggu yang ada di sekitarnya dengan memasuki emosi orang yang menjaganya, dengan kemarahan atau rasa cepat tersinggung. Teman saya bilang waktu mereka begadang, mereka harus hati-hati agar tidak met. Met itu artinya malas atau bosan. Dan kalau ada orang yang bosan, orang bisa bicara apa saja. Misalnya, "Apa bukan kamu yang kemarin mengganggu kakak saya di sungai?" Nah, untuk menghindari argumen atau pertengkaran seperti itu kita menyanyikan genjek, dan saat itulah kita merasakan persuasi muncul, "saya tidak punya uang, tidak punya pekerjaan, tidak punya masa depan", dan kita meneriakkannya dalam lagu. Kalau orang yang punya massa di rumahnya, kita selalu bisa melihatnya genjek. Dia bernyanyi sekuat tenaga dan mencemplungkan diri ke dalam lagunya, ke dalam gerakan genjeknya seperti yang baru kita dengar. Mereka tidak menggunakan lagu atau lirik khusus.

Jawaban-jawaban Gede itu secara tidak langsung membantu kita melihat dimensi teoretik dari genjek, supaya kita tidak melihat genjek hanya sebagai satu fenomena sastra lisan yang muncul pada akhir Orde Baru. Tapi justru kita melihat bagaimana dia mengisahkan birahi-birahi baru yang muncul antara masyarakat yang sedang dimobilisasi untuk kebutuhan pasar. Genjek menjadi kebutuhan mereka yang tidak punya pendidikan, tidak punya pekerjaan. Birahi-birahi yang muncul pada tahun 1990-an, saat Bali begitu kaya sementara masih banyak orang miskin terutama di wilayah Karangasem dan Jembrana. Pendekatan-pendekatan yang saya gunakan adalah pendekatan psikologis yang lebih banyak melihat bagaimana birahi harus selalu mengambil obyek. Tapi birahi ini sedikit manja, tidak puas dengan obyek ini-itu dan bisa mengambil apa saja menjadi obyek dan kapan saja. Birahi itu seperti mengambil kepuasan sebentar dengan membahas apa yang tidak bisa diperoleh, menyanyikan yang tidak bisa diperoleh, seperti perempuan yang diambil dan seperti lagu yang baru saya ceritakan tadi.

Tapi sebaliknya juga kelihatan seperti mimpi buruk di mana birahi itu tidak dapat disentuh, tapi selalu dicari. Gegenjekan mengilustrasikan dimensi-dimensi birahi atau pinggiran-pusat, militer dan sipil, elite dengan kelas pekerja. Setelah tahun 1996-97 muncul lagu-lagu baru yang mengisahkan negara, militer, elite yang menolak terwujudnya birahi pemuda-pemuda yang mencari kerja dan identitas pada akhir 1990-an. Saya akan bacakan syair lagu "Uya Tibum":

Setiap sore I Galuh bergegas pergi menjajakan kue menyusuri trotoar
Berkeliling gendong anaknya yang masih kecil
Anaknya menangis melihat dagang mainan
Mau beli balon dengan boneka yang berbunyi
Sedang ramai orang berbelanja ada petugas yang datang
I Galuh lari anaknya nangis di jalan
Dagangannya bergeletakan kena tendang
Pedagang mainan bergenggong tanpa bisa berontak
Pandang-pandang meletus balon semua "dar!"
Lacur miskin anak ini, memang miskin
Kepung tibum dikejar tibum
Maaf demi keamanan, kenyamanan dan keindahan

Seperti kita sadari pada akhir 1990-an di Bali banyak pasar senggol atau pasar malam yang ditutup untuk mewujudkan "sapta pesona". Pasar-pasar itu dibersihkan untuk pariwisata supaya investor dengan modal besar bisa membuka "pesona" mereka kepada turis yang biasanya suka makan di senggol-senggol seperti itu dan berbelanja di pasar biasa. Jadi karena mereka tidak mendapatkan bisnis, mereka memaksa petugas untuk menutup pasar senggol dan pasar biasa. Saya pikir lagu ini cukup kaya menggambarkan bagaimana masuknya negara menyusup dalam kehidupan sehari-hari, pada pedagang biasa seperti I Galuh, yang mensimbolkan deflasi ekonominya. Juga deflasi balon yang ditaksir anaknya.

Jadi simbol-simbol seperti ini yang sering dinyanyikan dalam gegenjekan. Balon yang ditaksir oleh si anak mewakili pengempesan daya atau kemungkinan untuk berhasil para pedagang di Bali pada waktu itu. Setelah Suharto turun tahun 1998 gegenjekan mulai mengambil kelokan yang lebih radikal. Gegenjekan pindah dari Banjar ke posko PDI-P. Pada album "Genjek Direformasi, Hidup Mega!" kita mulai melihat kritik terselubung menjadi lebih jagoan, dalam bentuk pecalang atau pemuda banteng yang punya lawan. Dalam bahasa Bali, "acung" atau menyombongkan diri dengan sengaja, dengan tujuan tertentu dan obyek tertentu pula. Seperti lagu "Kali-kali zaman Orba":

Ini cerita waktu zaman Orba
bekas prajurit perang menjadi pejabat
pejabat tinggi punya gigi taring
punya gigi, garis tangannya sangatlah berarti
tanda tangan sekali hasilnya jutaan
orang punya uang teman berbisnis
dan dari kelas rendah sampai punya Bakrie
lupa akan sumpah jabatannya
penting uang sogokan
rambutnya semakin tipis, dompetnya semakin tebal.
Zamannya sekarang telah berubah
zaman reformasi sekarang zaman perubahan
salah tidak jujur sekarang dituntut mundur
selesai saja ditindih dengan jabatan
lebih baik pulang menghitung dosa
jangan lagi mengarang alasan
biarpun bagai mana semua tahu
jangan lagi mengulur-ulur waktu
diri sudah tidak laku lagi
serahkan jabatan fasilitasnya kembalikan
Saudara-saudara semua, rapatkan barisan
jangan satu langkah kalian mundur
pukul semua gendang untuk mengusir semua
butakala-butakala korupsi dan kolusi ini

Pemuda di Bali usia 17-20 tahun biasanya bertugas mengusir butakala-butakala dalam upacara, seperti mengorbankan hewan untuk memberi makan kepada budakala supaya bisa terusir. Dia tidak bisa diusir begitu saja, tapi harus diusir oleh gendang, dan anak muda yang bertato, kekar dan gondrong itu yang mengusirnya. Simbol budakala itu kemudian diganti dengan dimensi sosial politik yang sangat umum waktu itu. Tapi bagaimana kita mengkaji anak muda yang melagukan perasaan dan frustrasi yang mereka rasakan waktu itu? Mungkin ada beberapa tafsiran yang saya pikir membantu kita untuk mengerti apa yang terjadi waktu itu. Saya melihat ada pemisahan kelas, tapi ada juga masalah produksi dan konsumsi. Di Bali ada dua cara menyebut kotoran. Kata itu bisa berarti kotoran tapi bisa juga bunga dari uang. Jadi kalau gegenjekan, kalau ada teman membuat lingkaran dan menyanyikan genjek mereka mengganggap semuanya sama rata, walaupun ada yang dari kasta brahmana dan yang lain lebih rendah. Semuanya sama rata, tidak ada tinggi, tidak ada rendah, dan itu berarti sama-sama kotornya. Inilah cara untuk menunjukkan keakraban. Lalu, irama genjek itu datang dari mana sebenarnya? Kalau kita melihat laki-laki memotong daging di banjar, irama pukulan pisau mereka persis seperti gegenjekan, tidak berpatokan pada gamelan Bali. Justru lagu-lagu itu mereka ciptakan secara spontan untuk menghilangkah lelah ketika bekerja bersama-sama, atau istilah Bali-nya, ngayah.

Sebenarnya uraian saya belum habis, tapi waktunya sudah habis. Saya kembalikan saja kepada moderator.

Alit

Baik, tadi kita telah mendengar pengantar tentang gegenjekan dan juga mendengar beberapa contohnya. Latar belakang gegenjekan ini dijelaskan oleh John dari segi psikologi, sebagai usaha kalangan tertentu untuk mengekspresikan kejenuhan dan rasa frustrasi. Di samping itu gegenjekan digambarkan sebagai perlawanan terhadap apa yang disebut kebisuan, perlawanan terhadap wacana negara yang dipaksakan. Kita tahu bahwa Bali digembar-gemborkan begitu kaya, namun kenyataannya banyak sekali kemiskinan. Produk dari situasi ini salah satunya adalah gegenjekan. Kita mulai diskusi saja, bagi yang punya pertanyaan atau komentar, silakan saja.

Peserta

Saya ingin minta penjelasan lebih lanjut dari John tentang hubungan munculnya gegenjekan dengan politik pariwisata di Bali. Tadi sempat disinggung tapi belum terlalu jelas. Kedua, saya jadi ingin tahu karena John menyebut dua wilayah, Karangasem di Bali Utara dan Bali Timur, yang setahu saya memang daerah miskin. Di Karangasem banyak pura, tapi beda dengan pura di Bali Selatan. Kalau banyak pura di Karangasem yang jatuh miskin, apakah para pemuda yang lari ke Bali Selatan itu juga berasal dari kalangan anak agung atau orang pura? Lalu, apakah John melihat ada hubungan antara janger dengan gegenjekan?

John

Hubungan antara gegenjekan dan pariwisata sudah mulai ada. Ada grup gegenjekan yang mulai tampil di pentas dan digaji. Kedua, Bali Timur memang beda dengan Bali Utara, sejarahnya berbeda dan Bali-nya juga beda. Tapi soal kemiskinan di daerah itu, sulit kiranya dibedakan. Banyak orang dari timur pergi ke kota Denpasar dan mengundang keluarganya. Banyak yang juga pulang ke desa mereka, membangun pura dan rumah besar. Tapi kalau di Culik, sedikit sekali seperti itu. Jusrtu banyak yang menjadi buruh atau pembantu di Denpasar lalu kembali ke desa untuk menikah dan menetap di desanya. Biasanya ada proses seorang pemuda mencari uang supaya bisa pulang, membiayai pernikahan lalu menetap di desa.

Soal janger, saya kira memang ada hubungannya kalau melihat apa yang terjadi pada genjek ketika mulai diakui oleh kalangan elite Denpasar. Misalnya kemudian muncul lomba genjek, seperti lomba kesenian yang ada di mana-mana. Dan ini juga bagian dari pengkotakan gegenjekan. Sebelumnya tidak gegenjekan yang baku. Biasanya hanya ada penyanyi yang dianggap hebat karena improvisasi dan gaya spontannya yang luar biasa. Tapi dengan adanya lomba gegenjekan itu semua kelompok mulai dari Singaraja sampai Denpasar datang dan berlomba, tapi tidak boleh minum! Itu masalah. Jadi mulai jam enam sore sampai jam sembilan pagi. Lumayan kacau dan tidak terlalu rapi gerakannya. Mereka masuk ke ruangan pakai janger dengan gerakan monoton yang robotik, lalu duduk dalam lingkaran atau dua barisan. Jadi yang kita lihat adalah tarian janger yang buruk karena laki-laki ini tidak pernah belajar. Janger mulai diangkat lagi oleh Golkar lima tahun terakhir dan anehnya, hal itu dilakukan untuk kampanye partainya. Dulu ada perlombaan janger antara PNI dan PKI yang sama-sama menggunakan wacana kepartaian dan gerakan robotik. Ada satu kelompok genjek dari Singaraja yang hebat. Mereka berusaha masuk ke sekat-sekat yang sudah ditetapkan juri, padahal sekat-sekat itu sesungguhnya membungkam improvisasi mereka. Tapi mereka ikut dan taat pada syarat-syaratnya. Waktu masuk mereka pakai gerakan robot a la janger, gerak menghentak-hentak ke atas. Di satu sisi mengikuti gerakan baku tapi sekaligus menyindir dan mengasingkan pengasingan seperti kita bicarakan tadi. Mereka menertawakan juri dan jurinya juga ikut tertawa. Di Bali memang ada kebiasaan raja membayar orang-orang untuk mengejek dan dia harus ikut tertawa.

Nah soal puri-puri di Karangasem. Sebenarnya terdapat banyak puri di Bali, ada puri pusat kemudian puri yang digeser dan sejarahnya cukup rumit untuk dijelaskan di sini. Tapi kalau puri Karangasem, yang pasti kehilangan rajanya di Lombok. Karangasem menjadi lebih miskin dan ada sejumlah faktor sosial lain dan agak rumit. Misalnya kaum Brahmana di sana justru ikut partai-partai dari bawahannya. Selain itu ada banyak keganjilan lain yang tidak bisa ditemukan di Bali Selatan. Memang untuk mendapat jawaban yang lebih memuaskan perlu melihat penelitian lebih lanjut di Karangasem. Dan mengenai anak agung yang ikut genjek. Banyak juga, memang mereka itu suka minum dan nyanyi. Kehidupan sehari-hari pun tidak banyak aturan, brahmana harus duduk di sebelah utara atau timur. Mereka tidur bersama-sama yang lain, kecuali kalau upacara. Nah, itu lain lagi peraturan ruangnya. Mereka harus duduk sesuai dengan aturan yang mereka tentukan dan masyarakat sekitarnya.

Norman

Saya dulu juga menari Bali. Tadi John ceramah soal kegelisahan masyarakat Bali dalam tembang. Pertanyaan saya, apa yang menyebabkan kegelisahan ini? Apakah karena ada nilai-nilai yang hilang dalam masyarakat Bali? Apakah karena nilai budaya yang original sudah tidak bisa didapatkan, karena semua sudah diperjual-belikan? Seperti kita lihat ritual juga diperdagangkan dan menjadi obyek wisata. Nah, apakah John sudah melihat ke sana? Kalau penelitiannya hanya di tahun 1980-an saja, maka Bali-nya sudah tidak orisinal, tidak seperti Bali tahun 1965 ke bawah.

Lalu, apakah John pernah ke Lampung melihat orang-orang Bali yang merantau atau transmigrasi sebelum Orde Baru? Di Lampung ada yang namanya kampung Bali, dan kita bisa mencoba membandingkan kesenian tradisional Bali di sana dengan yang ada di wilayah lain. Semacam studi perbandingan.

John

Saya justru ingin mengurai rasa frustrasi dan kejenuhan, soal pemisahan antara kalangan, kelas elite atau kelas menengah dengan orang desa, padahal mereka berasal dari desa yang sama. Tapi ada yang bayar dengan uang, ada yang bayar dengan tenaga kerja. Saya pikir itu pemisahan yang sangat mendasar dan sangat masuk akal kalau melihat kesejajaran upacara dan pariwisata yang sama-sama punya ekonomi. Ada ekonomi ritual dan ada ekonomi berdasarkan pertukaran, pengorbanan dan tenaga kerja yang disumbangkan bersamaan. Pentas di panggung itu bukan wujud kesadaran mereka atas kewajiban atau kesadaran terhadap dewa-dewa dan banjar, tapi untuk mendapatkan uang. Uang itu memotong hubungan yang justru dirayakan kembali dalam gegenjekan. Kalau laki-laki yang ikut genjek pergi ke disko atau nyanyi lagu pop, atau ikut temannya ke tempat ABG kumpul, dia tidak akan diterima lagi oleh teman-temannya yang nyanyi genjek. Saya sempat bertanya kepada teman-teman di sana, "kenapa kamu segan meninggalkan genjek?" Jawabannya, "ya, karena kalau saya meninggalkan mereka, saya tidak punya apa-apa lagi." Padahal dari segi kasta, mereka ini berbeda. Jadi ada sebuah ikatan yang dibangun dan mengikat.

Soal nilai-nilai yang hilang. Keaslian atau originalitas itu saya pikir sesuatu yang baru. Konsep keaslian sendiri modern dan romantis. Adalah pariwisata yang memunculkan dan menggunakan kata tradisi dan keaslian untuk mengkotak-kotakkan bentuk kesenian atau gerak dalam seni. Memang ada tradisi lain yang hilang karena dilarang. Misalnya di abad ke-19 istri raja masih melompat ke perapian dalam upacara ngaben atau pelebon, tapi kemudian dilarang oleh Belanda waktu itu. Ini sejarahnya panjang dan ceritanya jauh ke belakang, dan saya pikir mungkin ada lagu gegenjekan yang merindukan praktek sosial semacam itu.

Kalau soal Lampung, saya pikir ada banyak orang yang keluar dari Bali, dari daerah asli mereka, dan menjadi lebih Bali di sana ketimbang waktu masih tinggal di kampung halaman. Saya misalnya di Amerika tidak pernah makan hamburger, tapi di sini saya selalu mencari hamburger di mana-mana. Orang yang pergi dari kampung halamannya seringkali punya kerinduan seperti itu dan banyak citra yang membuat dia berpegang teguh pada kebiasaan keluarganya – sebenarnya kebiasaan keluarga yang dibayangkannya, belum tentu kebiasaan yang nyata ada. Itu terjadi di mana-mana, termasuk di Amerika. Kalau di Indonesia saya tidak tahu persis, tapi saya harap suatu saat bisa pergi ke Lampung untuk menguji pikiran ini.

Peserta

Pariwisata sekarang tampaknya menjadi jawaban banyak negara mengatasi krisis, antara lain karena didorong oleh lembaga-lembaga dunia seperti World Bank dan IMF. Bali adalah contoh yang menarik, dan saya pikir wilayah-wilayah pariwisata akan mengikuti jejak Bali ini. Dan kekuatan pariwisata ini besar. Seperti ditunjukkan John tadi, gegenjekan tidak muncul dari pariwisata tapi akhirnya dilibas juga. Nah, akar gegenjekan ini sesungguhnya apa? Apakah karena ada pemuda Bali yang terasing oleh kemajuan ekonomi luar biasa yang dimotori pariwisata ini kemudian mendorong munculnya gegenjekan?

Sebenarnya menarik juga kita diskusi tentang Indonesia yang sudah dibuat sedemikian romantis oleh pandangan-pandangan antropologi seperti ini. Berbicara tentang keaslian, identitas dan pandangan antropologis. Saya mau tanya ke John, apakah pandangan antropologi terhadap gegenjekan atau ekspresi budaya seperti itu bisa menjadi acuan untuk program konservasi atau malah berkaitan dengan pengembangan pariwisata. Saya ingin John menjelaskan persoalan itu. Apakah gegenjekan yang nyleneh bisa juga jadi paket pariwisata?

John

Sekarang ini banyak kelompok genjek yang pentas untuk Golkar atau PDI-P. Terutama setelah gegenjekan dilombakan, dibakukan dan dibuat standar-standarnya. Siapa pun sekarang bisa mengolahnya asal punya uang, atau memanipulasi kecintaan pada partai. Kalau Bank Dunia itu mau melestarikan gegenjekan mereka akan pusing karena sifat spontannya. Dengan gaya dadakan dan gerak serta irama yang tidak layak disuarakan apalagi direkam, genjek memang lebih cocok dan bergema pada kaum pekerja kalau mereka berkumpul di banjar. Itu musik yang punya suasana sendiri, seperti penyanyi yang saling menirukan, saling tantang di antara mereka yang punya suara bagus, interaksi dalam dialog, mengaktualisasikan perasaan dalam gerakan. Misalnya sekarang saya menggerak-gerakkan tangan seperti genjek, orang tidak tahu maksudnya apa. Tapi dalam suasana genjek, orang bisa tahu bahwa ini gerakan orang marah, karena kita seperti larut dalam frustrasi.

Sinal

Saya tertarik dengan cerita tentang gegenjekan yang bisa mempersatukan kasta-kasta di Bali, paling tidak bersatu untuk menari. Kemudian saya melihat genjek ini bisa menggambarkan penindasan dan juga tentang pencarian yang begitu jauh. Nah, saya mau tanya. Di tingkatan seperti apa perlawanan terhadap penindasan yang dialami oleh masyarakat Bali di bawah kapitalisme itu terjadi? Bagaimana orang dari berbagai kasta itu bersatu melawan sistem yang sangat menindas mereka. Saya bukan seorang antropolog, jadi melihatnya lebih dari sisi perlawanan yang muncul.

John

Awalnya saya berpikiran seperti Anda, bahwa gegenjekan ini adalah perlawanan terhadap negara, terhadap bermacam wacana dominan. Jadi mirip dengan apa yang dikatakan James Scott mengenai weapons of the weak, perangkat kaum lemah untuk menyiasati sistem. Rakyat punya prosedur atau cara untuk menghindari kekuasaan, menertawakan kekuasaan dan membuat kekuasaan kelihatan konyol dan rendah. Gegenjekan biasa melakukan itu tapi tujuannya bukan untuk perlawanan semacam itu. Mereka tidak melawan seseorang atau melawan tibum yang menggusur tempat pedagang kakilima. Yang mereka sesali misalnya balon meletus yang membuat anak kecil menangis, jadi soal mencari sesuatu yang hilang. Lalu cerita tentang orang bekerja di Denpasar tapi sebelum mendapat uang dia sakit dan harus pulang, atau cerita tentang orang beli tanah yang akhirnya diserobot investor sehingga terpaksa transmigrasi. Menurut saya ini bukan suatu perlawanan, tapi lebih sebuah ungkapan untuk menampung perasaan masing-masing untuk sementara dalam rasa pusing, mabuk atau senang dan bahagia. Setelah itu mereka tetap kembali seperti semula.

Soal perbedaan kelas, saya pikir hal itu tidak gamblang tampak di Bali. Kita tidak bisa membuat pembedaan antara kelas menindas dan kelas yang ditindas dengan mudah. Tidak bisa misalnya dengan memisahkan kelas yang bekerja di banjar dan yang tidak kerja di banjar. Dan saya pikir banyak orang yang tinggal di kota dan jadi pembesar tidak berpikir bahwa mereka itu menindas dan memang mungkin tidak menindas. Di sinilah uang menjadi penting. Uang itu dipakai untuk memisahkan hubungan antara diri mereka dengan kelompok yang mengikat. Dan itu dilakukan bukan dengan sengaja. "Saya memakai uang ini untuk memotong hubungan, lalu menjadi penindas," bukan begitu pola pikirnya. Banyak orang yang mengirim uang ke desa, memotong hubungan itu, justru karena mereka tidak mampu. Ada yang karena memang statusnya sudah merasa tinggi, ada juga yang gengsi untuk kembali. Nah, dalam konteks gengsi dan status ini memang ada unsur kesengajaan memotong hubungan dengan desa. Tapi itu akibat dari akumulasi uang yang memisahkan orang dari tenaga kerja yang mesti dilakukan di banjar. Soal perlawanan, saya kadang berpikir bahwa perlawanan itu kadang-kadang hanya membuat yang dilawan itu kelihatan makin hebat, padahal sesungguhnya hanya orang biasa. Kalau kita menganggap gegenjekan ini perlawanan, maka negara ini tampaknya seolah-olah begitu hebat, dan setelah dilawan dengan genjek malah semakin hebat. Saya pikir itu tidak terjadi. Orang genjek melakukannya bersama-sama, dan tidak perlu negara untuk menjadi lebih kuat.

Peserta

Menurut John gegenjekan itu bukan perlawanan tapi semacam pelarian dari kehidupan sehari-hari. Semacam gerakan meninggalkan dominasi negara, dengan kata lain negara dicuekin. Makanya pakai mabuk segala sehingga gegenjekan sifatnya sementara saja.

Peserta

Saya belum mengerti betul tentang gegenjekan ini, tapi hanya bereaksi terhadap musik yang diperdengarkan tadi. Menurut saya musik ini kalau ditata akan bagus dan sangat komersial. Kalau dibuat video-clip mungkin akan jadi komoditi yang laku. Saya ingat ketika Bill Frederick membuat sebuah penelitian tentang dangdut tahun 1982. Kebetulan saya sedang bikin filmnya Rhoma Irama, "Satria Bergitar". Di situ diperlihatkan bahwa dangdut memang musik pinggiran, tidak mungkin masuk televisi apalagi hotel. Orang dangdut merasa tersisih dan berusaha melawan orang pop dan rock. Tapi sekarang terbalik, semua televisi maunya dangdut dan prosedur kaset bilang yang untung hanya musik dangdut. Kalau Bill Frederick membuat penelitian lagi sekarang maka tentu kesimpulannya akan berubah. Dangdut bukan lagi musik pinggiran tapi sudah menjadi musik yang in. Acara "Joget" di RCTI mengemas dangdut sekarang seperti orkestra.

Saya kembali kepada gegenjekan. Katanya orang PDI-P di banjar-banjar juga banyak yang menyanyikannya waktu itu. Memang waktu itu PDI-P dikejar-kejar, tapi sekarang PDI-P sudah memerintah, berarti menjadi penguasa. Bukan sebagai korban yang menderita, tapi malah menciptakan penderitaan bagi orang lain. Jadi saya pikir gegenjekan itu juga akan berubah, apalagi kalau ada yang mengelola promosinya. Mungkin John yang akan promosi sampai ke Amerika. Anda sebenarnya harus membuat perhitungan juga bahwa lima tahun lagi mungkin analisis itu sudah tidak sahih lagi. Mungkin genjek yang tadinya pakai tuak, lima tahun lagi sudah pakai Johnnie Walker.

John

Ini pertanyaan menarik sekali. Waktu kami membuat film, sebenarnya bukan hanya gegenjekan yang disorot tapi juga musik underground dan death metal. Keduanya jauh sekali dari gegenjekan. Di sana yang paling penting adalah indylabel, artinya tidak diterbitkan oleh produser besar tapi membuat label sendiri dan menjualnya melalui pasar bawah tanah. Dan menariknya mereka ini kadang menyanjung setan. Lalu saya bilang, "kalian ini pemuja setan". Tapi mereka menjawab: "Tidak, kami masih sembahyang." Jadi bukan pemuja setan lokal tapi setan global. Mereka memotong kelinci waktu pertunjukan, tapi bukan untuk setan. Itu adalah tanda penghormatan terhadap grup yang sama di Finlandia yang mereka ikuti lewat internet.

Soal PDI-P, saya pikir memang menarik seperti yang Anda sebutkan tadi. Bagi saya gegenjekan itu bukanlah sebuah perlawanan terhadap orang-orang yang membuat masalah di negeri ini, tapi jika ditinjau dari sudut politik mungkin lebih semacam konsolidasi masyarakat Bali. Jadi terdapat unsur penyadarannya juga. Kalau kita lihat teksnya, jelas ada perlawanan terhadap politik praktis di Jakarta: lupa sumpah jabatan, pentingnya uang sogokan, rambut semakin tipis dompet semakin tebal. Lalu ada bekas prajurit yang jadi pejabat. Itu jelas perlawanan terhadap negara, lebih tepatnya kebudayaan negara.

Gegenjekan bagi banyak antropolog yang memfokuskan perhatiannya pada komodifikasi budaya, sering lupa pada mobilisasi masyarakat yang terjadi dalam masyarakat. Lupa pada apa yang mereka rasakan dan bagaimana cara mengungkapkannya dalam bentuk sehari-hari. Dari pendekatan teoretik yang mengikuti perkembangan postmodernism, semua image itu didekonstruksi dan lupa bahwa di baliknya ada semacam gerakan juga. Banyak antropolog hanya melihat perlawanan-perlawanan terhadap komodifikasi. Di sini saya tidak menyindir perlawanan tapi justru menyindir para peneliti yang terlalu mencari-cari perlawanan itu, dengan melihat apa yang paling sederhana yaitu apa yang dilakukan orang genjek, apa yang mereka sindir dan apa yang mereka tidak puas, dan dari mana mereka mencari penghidupan, bagaimana penghidupan itu membentuk pengungkapan, bahasa. Gerakan tubuh juga menjadi penting. Memang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kelihatannya dangkal, dan hanya berlaku untuk orang setempat. Tapi saya sendiri belum puas dengan pemahaman sejauh ini.

Alit

Baik, karena waktunya sudah habis dan uraiannya juga sudah ditutup dengan sangat jelas oleh John, maka saya akhiri diskusi ini. Hal menarik tadi adalah cara pandang John tentang antropologi yang melihat ekspresi budaya di Bali. John sadar betul bahwa Indonesia, dan khususnya Bali, sudah diromantisasi oleh antropologi, dan berusaha untuk menyiasatinya.