SUMPAH PEMUDA

diskusibulanpurnama. [Dbp.] 

26 Juli 2000

SUMPAH PEMUDA
Nara Sumber: Keith Foulcher

Keith Foulcher: Selama dua atau tiga tahun terakhir saya melakukan penelitian tentang sejarah Sumpah Pemuda, dan hasil penelitian tersebut sebentar lagi akan diterbitkan dalam bentuk artikel di Australia. Ada dua pokok permasalahan yang menarik perhatian saya dalam penelitian Sumpah Pemuda. Banyak yang saya temukan saat mencari sumber sejarah untuk memahami Sumpah Pemuda: yaitu dari konteks mana asalnya dan pada konteks mana berkembangnya.

Saya pikir masalah pembentukan negara dan kebudayaan nasional Indonesia ini menarik sekali dan perlu diketahui, baik oleh orang Indonesia maupun orang asing yang tertarik akan sejarah Indonesia. Sumpah Pemuda adalah salah satu kunci untuk memahami beberapa gejala dalam sejarah Indonesia, tentunya bukan dalam arti sempit. Ada beberapa tema di sini. Pertama, situasi politik pasca 1928. Kebetulan saya membaca majalah Jong Batak tahun 1928 tentang Kongres Pemuda Indonesia atau yang dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Saat itu istilah Sumpah Pemuda tidak dipakai. Saya pikir setelah Indonesia merdeka istilah itu dipakai.

Perhatian saya bangkit pada saat membaca laporan tentang kongres itu karena tiga hal. Pertama, laporan kongres itu ditulis dalam bahasa Belanda, dan laporan yang menyampaikan keputusan kongres itu ditulis dalam bahasa Indonesia, atau bahasa Melayu. Kedua, saya menemukan bentuk asli Sumpah Pemuda dari laporan itu dengan rumusan seperti ini:

Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia megaku berbangsa satu bangsa Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu bahasa Indonesia.

Saya sudah membaca naskah Sumpah Pemuda itu sebelumnya, tetapi baru kali itu saya memperhatikan bentuk dan rumusannya, dan saya sadar bahwa ada beberapa perbedaan dengan apa yang kita ketahui kemudian. Ketiga, penulis laporan itu memberi komentar dan mengatakan bahwa kongres itu penting karena menunjukkan sebuah tahap menuju persatuan yang akan dicapai. Dan hal itu memang benar, dua tahun kemudian terbentuk organisasi Pemuda Indonesia. Jadi jelas, pada zamannya, kongres itu dilihat sebagai sebuah tahap saja, bukan tujuan. Ini berbeda dari apa yang kemudian dimengerti sebagai Sumpah Pemuda dalam penulisan sejarah sekarang.

Dengan bantuan teman saya di Australia, Iskandar Nugroho, saya sempat memperhatikan laporan dari pihak Belanda, yaitu pengamat dan pengawas yang mengikuti kongres tersebut. Lalu saya juga membaca berita-berita suratkabar semasa tentang konferensi itu. Dari sumber-sumber itu ada beberapa gejala yang menarik. Konferensi itu adalah konferensi pemuda pertama yang menggunakan bahasa Melayu-Indonesia sebagai bahasa pengantar. Pada kongres pemuda sebelumnya, selalu memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Dan jelas kalau kita baca laporan dari zaman itu bahwa penggunaan bahasa Indonesia justru menyebabkan terjadinya kesalahpahaman di antara peserta kongres. Bahkan, pengamat Belanda yang hadir dengan angkuh mengungkapkan bahwa ketua kongres Sugondo Djojopuspito tidak memadai sebagai ketua dan sangat tidak berwibawa karena kemampuan bahasa Melayu-nya sangat lemah. Beberapa kali terjadi kesalahpahaman antara ketua dan peserta karena menggunakan bahasa yang sesungguhnya bagi mereka masih merupakan bahasa asing. Dalam laporan suratkabar juga dimuat pidato-pidato yang disampaikan dalam bahasa Belanda, tapi kemudian diterjemahkan dalam bahasa Melayu.

Ini menarik bagi saya, karena memberitahu bahwa semua peserta kongres mengerti bahasa Belanda. Tidak dapat disangkal bahwa mereka semua mengerti bahasa Belanda. Tapi setelah pidato disampaikan dalam bahasa Belanda, mereka mengulanginya dalam bahasa Melayu. Ini adalah semacam simbol tentang apa yang akan dicapai oleh mereka kemudian.

Ada juga laporan yang sangat menyentuh hati, ketika ada beberapa peserta yang mengajukan pertanyaan dalam bahasa Belanda karena belum bisa berbahasa Indonesia. Dan kelihatannya ada seorang peserta yang sebelum menyampaikan pertanyaan, meminta maaf terlebih dulu. Minta maaf karena sebagai anak Indonesia yang tinggal di pulau Jawa dia merasa belum bisa berbicara dengan menggunakan bahasanya sendiri. Pilihan katanya sangat mengharukan, "belum bisa bahasanya sendiri". Padahal dia bisa bahasanya sendiri, bahasa Jawa, tetapi di hadapan kongres "bahasanya sendiri" adalah bahasa Melayu.

Sumber-sumber itu sepertinya menentukan bahwa kongres 1928 adalah fenomena yang tiada taranya dalam dunia kolonial: bahwa pemuda yang menguasai bahasa kolonial dan menggunakannya dalam pergaulan sehari-hari, mengambil sikap memisahkan antara dunia privat dan dunia publik dalam konteks nasionalisme Indonesia. Dalam dunia privat-nya mereka tetap menggunakan bahasa Belanda, tapi dalam dunia publik mereka memilih menterjemahkan segala sesuatunya dalam bahasa Melayu. Dari kenyataan itu dapat dikatakan bahwa bagi mayoritas tokoh pemuda Indonesia saat itu dunia publik merupakan wacana terjemahan.

Saya sendiri tidak mengerti sepenuhnya implikasi dari masalah wacana terjemahan itu sebagai sebuah fenomena. Apakah itu berarti bahwa nasionalisme Indonesia dengan bahasa baru, berhasil membebaskan diri dari wacana kolonial karena keberaniannya untuk menempuh jalan baru dengan bahasa itu? Atau, apakah pemakaian bahasa Indonesia waktu itu justru menutupi kelangsungan wacana kolonial, walaupun dalam bentuk terjemahan? Kalau kita telusuri, nasionalisme di negeri bekas jajahan yang lain, kita selalu melihat fenomena kaum nasionalis menghadapi warisan wacana kolonial dalam bahasa mereka sendiri. Seperti di India sebagai bekas jajahan Inggris, kaum terdidiknya setelah kemerdekaan tetap memakai bahasa kolonial. Dan dengan sendirinya seperti dihadapkan pada sebuah masalah.

Di Indonesia masalah itu tidak pernah terjadi, dan orang selalu mengatakan bahwa Indonesia memang lain karena berhasil membebaskan diri dari bahasa kolonial. Dalam hal tertentu pernyataan itu benar, tapi dalam hal lain kita juga bertanya apakah bahasa Indonesia pada waktu itu merupakan cara untuk menyembunyikan persoalan dalam sejarah nasionalisme Indonesia?

Tema kedua yang menarik perhatian saya adalah proses sejarah yang mengubah rumusan kata-kata tahun 1928 itu menjadi Sumpah Pemuda yang kita kenal sekarang. Juga tentang bagaimana kongres pemuda 1930 diganti oleh kongres 1928 sebagai tonggak sejarah Indonesia. Jelas kalau kita meneliti sumber-sumber sezaman, kongres 1928 itu jauh kurang penting dibandingkan dengan pembentukan Indonesia Muda pada tahun 1930. Dalam konteks ini menarik dicatat rumusan Sumpah Pemuda yang asli, dan sangat tidak simetris. Pertama dikatakan mengaku bertumpah darah satu, mengaku bertanah air satu, tapi akhirnya menjunjung bahasa persatuan. Ini menarik karena waktu itu tidak mungkin diklaim bahwa semua orang berbahasa satu, bahasa Indonesia. Mereka masih memilih kata-kata yang menunjukkan bahwa bahasa persatuan itu masih merupakan cita-cita yang ingin dicapai, jadi "menjunjung bahasa persatuan".

Jadi, bentuk asli dari Sumpah Pemuda itu sangat tidak simetris. Waktu itu memang ada kepekaan terhadap masalah bahasa, sehingga saat Indonesia Muda dibentuk pada tahun 1930, mereka melontarkan gagasan serupa dengan tahun 1928 tapi dalam bentuk yang berbeda. Dalam Kongres Pemuda I tahun 1931 dikatakan, "hendak mempersatukan putra dan putri Indonesia yang berbangsa, bertumpah-darah dan bersemangat yang satu". Jadi jelas menghindari masalah bahasa. Artinya bahasa waktu itu adalah masalah yang peka. Kalau kita melihat laporan suratkabar jelas sering terjadi masalah bahasa. Konsep bahasa persatuan waktu itu dianggap sebagai sesuatu yang bisa meniadakan pentingnya bahasa daerah-daerah, sehingga selalu dihindari.

Baru-baru ini saya membaca suratkabar di Perpustakaan Nasional, bahwa sejak tahun 1930 ternyata rumusan "berbahasa satu, bahasa Indonesia" sudah digunakan. Ini terutama adalah pengaruh Muhammad Yamin yang sangat besar dan penting. Tapi dapat juga disimpulkan bahwa pada zaman perjuangan kemerdekaan 1930-an dan revolusi tahun 1940-an, rumusan "bahasa nasional, bahasa Indonesia" kadang terdengar walau belum dirayakan. Baru pada tahun 1950 masalah itu dirayakan besar-besaran. Kongres 1928 mulai diperingati di awal dekade 1950-an, dan mula-mula bukan Sumpah Pemuda-nya, tapi lagu Indonesia Raya yang dibawakan untuk pertama kalinya dalam kongres itu.

Sumpah Pemuda baru menjadi sesuatu yang penting pada tahun 1957, saat negara kesatuan terancam oleh Permesta. Pada tahun itu untuk pertama kalinya Sumpah Pemuda dirayakan besar-besaran oleh Soekarno sebagai presiden, hal itu dilakukan untuk mengancam golongan yang masih belum menganut paham kesatuan dan persatuan negara. Sumpah Pemuda kemudian menjadi semboyan dan senjata untuk mendukung ideologi negara. Kalau kita lihat dari sumber sejarahnya, pendapat itu memang bisa dipertahankan. Sumpah Pemuda itu memang ada, tapi bentuknya yang kita kenal sekarang dan penggunaannya untuk kepentingan politik yang terjadi di zaman pemerintahan Soekarno. Kalau kita meneliti lagi peringatan Sumpah Pemuda dari tahun ke tahun, misalnya antara zaman Soekarno ke zaman Soeharto, maka terlihat bahwa Sumpah Pemuda diperingati dengan gaya berbeda-beda. Di zaman Soeharto juga digunakan, tapi untuk kepentingan politik yang berbeda. Pada saat penelitian saya berakhir pada tahun 1999, saya melihat ada perbedaan besar ketika Habibie merayakan Sumpah Pemuda. Ia orang pertama yang mengatakan bahwa Sumpah Pemuda tidak dimaksudkan untuk meniadakan kemajemukan di Indonesia. Sebelumnya konteks kemajemukan itu belum pernah ditemukan dan bukan merupakan unsur yang perlu dihormati dan dirayakan pada peringatan Sumpah Pemuda. Itu sangat menarik. Dalam diskusi di Komunitas Bambu kemarin, saya bilang alangkah baiknya kalau kita amati peringatan di zaman Gus Dur sekarang. Boleh dikatakan era Gus Dur ini bukanlah era baru, tapi ada sejumlah kepentingan politik baru.

Dalam tulisan saya, juga dikatakan bahwa sejarah Sumpah Pemuda selama ini tidak lebih dari catatan kaki dalam sejarah Indonesia. Saya ingin membangkitkan kesadaran bahwa apa yang kita sampaikan sebagai fenomena atau fakta sejarah, seharusnya selalu kita teliti lebih dahulu. Seperti kita lihat, ternyata Sumpah Pemuda yang kita kenal sekarang dengan sebelumnya, sungguh berbeda. Sumpah Pemuda sekarang digunakan untuk kepentingan politik, di sini kita melihat dan menyadari hubungan sejarah dan politik. Sejarah juga bisa diciptakan, dan kita tidak harus menerima apa yang diberikan kepada kita sebagai "sejarah". Sebaliknya, kita harus mempelajari, dan bertanya "mana aslinya?", sebab semuanya bisa diubah-ubah sesuai perkembangan politik.

Peserta : Peran Muhamad Yamin itu dalam sumpah pemuda penting apa alasannya?

Keith : Sumber asli menunjukkan bahwa perumusan keputusan konggres lahir dari pena Muhamad Yamin pada waktu itu . Kemudian yang menarik dalam salah satu sumber saya baca minggu ini di perpus koran 1933. Disana ditulis Muhamad Yamin dengan semboyannya. Kami berbahasa satu bahasa Indonesia, dan lima tahun kemudian seolah-olah oleh penulis, keputusan atau semboyan itu hubungannya sangat erat dengan Muhamad Yamin. Sumpah Pemuda baru mulai dirayakan pada jaman Sukarno tepat pada waktu Muhamad Yamin jadi menteri penerangan. Dan dia seolah-olah menerangkan kembali bagaimana sejarah Sumpah Pemuda dalam sambutannya pada waktu itu, kira-kira tahun 1953. Dia seolah-olah memperkenalkan bahwa audiensnya pada waktu itu dapat dikatakan belum memahami arti sejarah sumpah pemuda, kemudia dia yang menjabarkannya kepada mereka . Dalam tulisan saya ada banyak sumber yang saya sampaikan yang juga harus digali lebih lanjut.

Hawe : Apa dasar anda untuk mengatakan bahwa 1930-an konsep bahasa persatuan ketika itu dianggap menghilangkan pentingnya bahasa daerah. Apakah kehawatiran itu di sebabkan oleh kenyataan bahwa peserta konggres mengatas-namakan pemuda dari berbagai daerah dan apakah di situ terjadi perdebatan dikalangan mereka untuk menjunjung tinggi konsep bahasa persatuan.

Keith : Yang saya lihat pada waktu itu tidak pernah dipermasalahkan atau di perdebatkan masalah berbagai bahasa daerah. Tetapi sering sekalli di temukan pemikiran atau rumusan seperti yang saya kemukakan tadi.

Bahwa dengan menjunjung bahasa persatuan tidak berarti meniadakan bahasa daerah. Ada suatu rumusan yang menyentuh hati dari seorang peminpin gerakan wanita Siti Sundari. Pada waktu itu, tahun1930 dia mengatakan "saya harus menjelaskan kenapa saya tidak memakai bahasa Belanda atau bahasa daerah. Saya akan berbahasa Indonesia tanpa mengurangi arti penting kedua bahasa itu. Peristiwa yang terjadi pada dua tahun yang lalu, saya sebagai anak Indonesia yang dilahirkan di pulau Jawa yang indah yang akan mementingkan unsur persatuan, oleh karena itu saya berani di depan anda dalam bahasa Indonesia", hal ini menarik karena Siti Sundari pada konggres 1928 dia memakai bahasa Belanda. Baru dua tahun kemudian dia memilih bahasa Indonesia dalam pidatonya sebagai bahasa persatuan. Mungkin dia memakai penterjemah karena dua tahun sebelumnya dia tidak bisa bahasa Indonesia. Pada tahun 1930-an dia meminta bantuan kepada penterjemah untuk menyampaikan pidatonya dalam bahasa Indonesia.

Siti Sundari pada waktu itu sudah tunangan dengan Muhamad Yamin kemudian jadi istrinya. Yang jelas tidak ada perdebatan masalah bahasa daerah. Yang paling penting disini adalah kenapa masalah bahasa tidak diangkat sama sekali.

Peserta : Saya akan memberi komentar lucu mudah-mudahan ketawa. Kalau kita ikuti saudara pembicara, pada sidang konggres itu bahasa melayu tidak mempersatukan pikiran malah menimbulkan kekacauan. Jangankan 1928 sekarang pun begitu.Kalau Keith pergi ke Medan disana kata bujang kalau di Jawa mengandung arti lain kata butuh di ambin akan lain artinya dalam bahasa Jawa. Kalu dikait kan dengan konggres apalagi itu adalah konggres yang pertama. Mungkin akan menarik kalau saudara Keith mengkaitkan tapi saya tidak mengecilkan usaha baik anda, tapi saya ingin tahu apakah benar bahwa bahasa Indonesia itu sendiri sudah digunakan secara resmi sejak awal 1920-an. Misalnya partai komunis yang memakai bahasa Indonesia pertama kali dalam politiknya. Sebagai WN yang sedang kacau kita memerlukan sesuatu yang menyatukan apapun bentuknya, atau dulu suatu yang menyesatkan tapi sekarang mempersatukan. Dekat Istana Negara ada Gedung Pemuda oleh Orde Baru di hancurkan jadi Pertamina. Di Jl Surabaya ada Ayam Pemuda kemudian orang bilang itu pak Gafur punya karena menteri pemuda. Saya tidak heran kalau bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dalam konggres itu mengacaukan suasana. Dan sekarang pun kalau kita lihat kalangan tertentu banyak sekali kosa kata asing yang digunakan dari pada bahasa Indonesia itu sendiri.

Gung Tri : Saya ingin sekali penjelasan Keiht tentang konteks di seputar Sumpah Pemuda itu, karena saya agak bingung. Kalau saya membaca buku Takashi Siraishi tentang Reise in Motion, disitu terlihat sekali pemakaian bahasa Melayu yang dipakai sebagai pengantar pergerakan sebelum 1926, bahkan simbol dari pergerakan itu dia menggunakan bahasa Indonesia. Kemudian kalau di interpretasi bahwa Sumpah Pemuda itu mencerminkan bahasa sebagai rumusannya. Kenapa begitu? toh itu sebagai bahasa spirit pergerakan. Apakah hal ini tidak dihubungkan dengan kompleksitas kehidupan priyayi dari pada hal lain.

Peserta : Hampir sama dengan yang diungkapkan oleh Gung Tri tetapi yang membuat saya heran adalah sejak awal 1920-an bahasa Melayu sudah mulai menjadi bahasa persatuan dan tidak munculnya tokoh yang sudah terkenal sebelumnya, kenapa menemukan tokoh Muhamad Yamin dalam tokoh Sumpah Pemuda itu.

Perserta : Saya menjadi percaya bahwa Keith sangat menjunjung tinggi Sumpah Pemuda. Sebelumnya juga sudah ada macam-macam. Antara lain penerjemahan Injil kedalam bahasa Melayu. Bagaimana Keith melihat Sastra Melayu yang sudah ada sebelum orang berkumpul membuat Sumpah Pemuda. Saya juga menanggapi saudara Martin yang semangat persatuannya tinggi. Agar Keith tahu disini ada beberapa pikiran. Kalau persatuan, apapun bentuknya itu bagus, tapi kalau fasisme bahaya . Kalau saya tidak perlu bersatu yang penting adalah baik-baik terutama untuk rakyat

Fay : Saya akan komentar mengenai konteks Sumpah Pemuda yang di buat 1928. Kira-kira nyaris dua tahun setelah ada pemberontakan besar yang oleh PKI disebut front pemberontakan pertama. Saya pikir kaitannya dengan awal masa orade baru bahwa 1928 tidak ada apa-apa. Bahwa 1300 aktivis dibuang ke Nengung, 11 orang digantung mati di Banten, manyak labi di tembak di Serungkang, yang tersisa dalam konteks pergerakan 1928 tentulah seperti Muhamad Yamin, Sukarno dan Hatta, yang sebelum 19 28 tidak mempunyai peran begitu penting. Soal bahasa saya membedakan bahasa Indonesia yang digunakan dalam Sumpah Pemuda. Memang bahasa Indonesia yang dipakai dalam Sumpah Pemuda kemudian di tahbiskan sebagai bahasa Indonesia secara resmi dan kemudian mempunyai nilai tinggi terhadap bahasa Melayu, tinggi yang buat oleh Belanda lengkap dengan gramatika sebagai bahasa yang bisa dipelajari melalui pola pikir kolonial. Kaitannya dengan kolonialisme tadi saya lebih setuju kalau dia menutup ketimbang membuka yang dilakukan Vanon dalam bahasa Perancis. Mereka Justru mengikuti, karena Sumpah pemuda itu sendiri ; nusa, bangsa, bahasa. Jadi jelas sekali paralel itu dengan ide tentang nasionalisme yang berkembang di Eropa sesuatu yang berbeda dengan nasionalisme yang sangat dominan sebelum 1926.

Kalau kita membaca koran yang terbit di daerah Bandung dan Surabaya di tahun 1930-an yang dibikin oleh PNI itu menyala luar biasa. Pada 1933 dia menulis artikel tentang sifat-sifat nasionalisme yang membedakannya atas beberapa jenis nasionalisme. Dan Muhamad Yamin digolongkan sebagai nasionalisme kemenyan. Kemudian dia coba tarik dan kembali ke Borobudur dan lain sebagainya. Saya tidak tahu penulisnya tapi yang dia katakan dan perlu bagi kita adalah nasionalisme kerakyatan yang menggabungkan orang-orang pada 1920-an yang mereka sebut dengan rakyat tertindas. Dari segi solidentitas , kalau kita buat seperti Sumpah Pemuda kita hadapkan dengan dunia kolonial kita dapatkan bentuk yang lain. Yaitu orang pribumi yang mencoba berbuat sesuatu. Tapi pembacaan saya disamping membenturkan wacana kolonial saya benturkan juga dengan wacana pergerakan yang lain yang ada pada waktu itu. Mugkin menarik kalau bisa dapatkan teks bagaimana orang berbicara dalam gerakan bawah tanah saat itu. Yang muncul pada saat itu adalah Amir Syarifudin dan kawan-kawan. Mungkin akan dapat hasil yang lain dari apa yang didapatkan dari Sumpah Pemuda. Karena seperti yang diungkapkan oleh Amnul Zain, ditempatkan pada posisi tingi karena dari segi wacana kolonial. Tapi kalau kita membawa pada wacana yang lain atau konteks silang yaitu dalam dunia pergerakan yang sangat tajam dan jauh lebih radikal dari apa yang disebut dengan pergerakan Sumpah Pemuda. Dan terbukti pada 1940-an dan 1950-an posisi-posisi yang berbeda itu nampak.

Peserta : Bahwa Sumpah Pemuda 1928 lahir dari konteks nasionalisme konservatif, yang berbeda dengan nasionalisme sebelumnya (1926). Dan ini juga mengandung pelajaran yang sangat berharga untuk kita berkomentar untuk saling megingatkan. Kita tidak bisa bicara nasionalisme Indonesia tanpa melihat sudut mana nasionalisme itu. Kalau bicara Sumpah Pemuda, maka kita juga membicarakan perkembangan pergerakan nasionalisme orang-orang daerah ( pemuda ) yang terdiri dari golongan masyarakat ningrat/atas. Golongan ningrat mereka yang mampu menyekolahkan anaknya ke pulau Jawa untuk mengenyam pendidikan Belanda, karena itu dia berbahasa Belanda yang tidak mencerminkan wajah nasionalisme Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya. Dan ini adalah hal yang sangat spesifik yaitu tentang nasionalisme konservatif.

Kemudian dijadikan simbol pada umumnya dari gerakan yang tidak benar. Bahwa Sumpah Pemuda 1928 itu tidak mencerminkan pergerakan nasionalisme. Kita diingatkan ketika dua tahun kemudian ada sifat nasionalisme yang berbeda dan radikal dari pada 1928. Kesalah pahaman bukan hal yang baru dan tidak bisa kita hindari. Dalam konteks Sumpah pemuda 1928 itu anak-anak dibawah umur 20 tahun mereka sudah mempunyai bahasa persatuan yaitu bahasa Belanda. Seolah-olah ada yang aneh karena mereka memilih bahasa Belanda dalam konggres 1928 (Sumpah Pemuda).

Peserta : Sumpah Pemuda kenapa dapat diselenggarakan dengan tiba-tiba dan terputus dengan sejarah pergerakan yang terjadi. Kenapa tokoh pergerakan organisasi sebelumnya tidak ada yang disebut sama sekali dalam Sumpah Pemuda.

[tidak lengkap]