KRISIS PENGUNGSIAN DI INDONESIA & POLITIK BANTUAN

diskusibulanpurnama. [Dbp.]

25 Agustus 2000

KRISIS PENGUNGSIAN DI INDONESIA & POLITIK BANTUAN
Nara Sumber: Abdul Gaffar, Moderator: Alit Ambara

Moderator

Kita mulai saja. Dalam diskusi kali ini kita beruntung dapat narasumber dari Palu yaitu Bung Gaffar, yang nanti akan memperkenalkan diri sendiri. Tema kita malam ini adalah "Krisis pengungsian di Indonesia dan politik bantuan", khususnya berdasar pengalaman di Palu. Di samping itu juga ada Fay di sini yang akan menyinggung masalah politik bantuan. Mungkin kita sudah tahu bahwa gelombang pengungsian di Indonesia demikian besarnya sampai pemerintah sendiri kewalahan atau angkat tangan dan kemudian hanya mengharap bantuan dari luar negeri. Nah, hal ini yang membuat banyak organisasi internasional datang berlomba-lomba dengan konsep dan kepentingannya sendiri-sendiri. Pengalaman di lapangan mencatat bahwa kehadiran organisasi semacam ini justru menciptakan krisis dan konflik baru. Baik konflik di antara organisasi-organisasi itu sendiri maupun juga konflik di kalangan pengungsi, karena ada gejala bantuan justru menjadi dukungan logistik bagi mereka yang bertikai. Bantuan itu selanjutnya juga memperpanjang rantai kemiskinan dan melemahkan masyarakat menghadapi krisis. Saya pikir itu saja pengantarnya, dan kita langsung ke Bung Gaffar.

Abdul Gaffar

Terima kasih. Sebelumnya saya memperkenalkan diri. Nama saya Abdul Gaffar Karim, asal Palu. Saya dari sebuah kelompok swadaya lokal di Palu yang menangani pengungsi asal Poso. Kita tahu bahwa pada awal Mei 2000 terjadi kerusuhan di sana dan masyarakatnya eksodus ke berbagai tempat. Di hampir seluruh Sulawesi sekarang ada pengungsi dari Poso, termasuk di Sulawesi Tengah. Untuk kotamadya Palu dan kabupaten Donggala, jumlah pengungsinya sekitar 10.000 jiwa. Mereka ditangani oleh pemerintah, tapi ada juga yang ditangani oleh masyarakat sendiri. Kalau yang ditangani pemerintah tempatnya ada dua, di gedung olahraga dan stadion Sulawesi Tengah. Sementara yang ditangani masyarakat tersebar di empat kecamatan kotamadya Palu. Kalau di kecamatan Palu Barat, jumlahnya ada sekitar 18 kelurahan.

Yang bisa saya sampaikan kepada bapak dan ibu di sini adalah penanganan pengungsi oleh masyarakat di kelurahan Nunu. Di sana ada sekitar 320 pengungsi dewasa, anak-anak dan perempuan. Latar belakang penanganan swadaya ini adalah petaka kemanusiaan di kabupaten Poso yang telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kemanusiaan kita. Masyarakat secara spontan ikut berperan menangani pengungsi. Masyarakat Nunu sendiri beranggapan bahwa pengungsi adalah tamu yang perlu mendapat bantuan moral dan spiritual. Semua elemen masyarakat terlibat di sini. Sebelum ada eksodur besar-besaran, kami dari warga kelurahan Nunu sudah sepakat untuk menanggulangi. Pikirannya, jangan sampai kerusuhan ini merebak ke kotamadya Palu. Kita coba mempelajari sebab terjadinya kerusuhan dan kesimpulan pertemuan-pertemuan kami bahwa sebenarnya kerusuhan Poso ini bukan masalah SARA atau agama, tapi perebutan kekuasaan. Jadi ada elite sipil dan militer yang bermain di sini. Dengan latar belakang ini kami mulai membentuk panitia, disebut Panitia Peduli Pasca Kerusuhan.

Gelombang pengungsi pertama datang awal Juni 2000. Kita mulai dengan pertemuan-pertemuan kecil di lingkup RT masing-masing, di setiap kelurahan. Di kelurahan Nunu ada sekitar 27 RT dan enam RW. Nah, tokoh dari masing-masing RT, maksudnya ketua RT dan para pembantunya serta tokoh masyarakat, tokoh agama dan perempuan kita undang untuk membicarakan masalah pengungsi ini. Diskusi berkembang menjawab pertanyaan bagaimana mengatasi pengungsi yang ada di sini. Dari mana kita mulai, bagaimana caranya? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang harus kita jawab. Kita juga berusaha menepis issue yang kencang beredar di Palu sendiri, seperti selebaran gelap dan sebagainya. Ada selebaran yang katanya diterbitkan di Salatiga. Kalau selebaran di kalangan Islam isinya menjelek-jelekkan orang Kristen. Lalu di kelurahan Mahesa yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, dibuang selebaran yang menjelek-jelekkan orang Islam. Tapi syukurlah, warga kelihatannya mulai sadar dan tidak terpancing dengan issue murahan yang dibuang oleh orang-orang tidak bertanggungjawab.

Dalam kepengurusan juga ada beberapa pembina dari tokoh masyarakat. Di Palu kami melibatkan bupati Donggala. Beliau ini berasal dari kelurahan Nunu, jadi kami angkat sebagai pembina tapi dalam kapasitas sebagai tokoh masyarakat. Lalu ada imam masjid di kelurahan, Pak Kamaluddin, yang kami angkat sebagai penasehat. Ada teman-teman yang beragama Buddha, Pak Rudi Chandra, lalu dari kalangan Kristen ada John Mela. Semuanya kita angkat sebagai pembina. Kami juga libatkan tokoh perempuan dalam kepengurusan.

Kemudian ada peran keluarga-keluarga di sini. Setelah rapat disepakati bahwa warga wajib menyumbang satu liter beras setiap minggu dan uang tunai Rp 500 setiap bulan. Itu sumbangan wajib. Sumbangan sukarela bisa berupa beras, susu untuk balita, dan pakaian yang masih layak. Itu yang kemudian dikumpulkan di satu posko yang sudah diatur sebelumnya. Setelah terkumpul ada divisi yang bertugas mendistribusikan, namanya divisi distribusi. Ada juga semacam tim relawan yang terdiri dari ibu-ibu di setiap RT. Jadi di setiap RT itu ada lima relawan perempuan, tinggal dikalikan 27 jadinya ada 135 relawan ibu-ibu yang setiap minggu membagikan bantuan warga ke pengungsi. Itu berlangsung selama satu bulan. Selanjutnya adalah langkah pemberdayaan pengungsi itu.

Setelah kami data ternyata pengungsi itu kebanyakan petani. Kaum ibu juga punya keahlian menjahit dan membuat kerajinan tangan bola takraw. Ada juga yang membuat kerajinan dari kayu ebony atau kayu hitam. Petani kami bantu agar bisa menanam sayur, dan ada yang bekerjasama dengan warga mengolah kebun sayur, menanam tanaman jangka pendek atau holtikultura. Perempuan yang punya keahlian menjahit kemudian diberi tempat strategis yang mudah dijangkau konsumen. Kalau di Palu itu kita tempat di Pasar Inpres Manonda, sebenarnya pasar terbesar di Palu Barat. Di situlah mereka bekerja menjahit. Para petani biasanya disebar di setiap RT yang warganya juga petani sayur. Di situlah kita mulai membuat kripik pisang, ubi dan lain-lain. Kalau ada yang sakit kita coba lobby ke rumah sakit dan memasukkan mereka ke sana.

Nah, untuk anak-anak sekolah – mulai dari TK sampai SMA – kita menghubungi sekolah-sekolah terdekat dengan tempat pengungsian. Jadi mulai dari TK sampai SMA kita coba tangani ditambah pendidikan alternatif. Untuk ibu-ibu setiap malam Jumat – khususnya yang beragama Islam – ada ceramah agama, sementara yang Kristen kalau hari Minggu ada sekolah minggu.

Baik, mungkin itu dulu yang bisa sampaikan.

Moderator

Terima kasih. Kita bisa lanjutkan dengan diskusi yang intensif, karena sebelum acara dimulai sudah ada permintaan dari Manado agar hasilnya cepat-cepat dikirim.

Sentot

Saya pikir ada yang dilewatkan Pak Gaffar tadi soal kelurahan Nunu. Kelurahan ini kalau di Jakarta mungkin seperti Manggarai yang kerjanya berkelahi terus. Jadi kalau ada maling masuk ke daerah itu, polisi nggak berani masuk karena pasti akan dihajar habis-habisan. Jadi tidak ada istilah benar atau salah, pokoknya yang masuk ke sana akan dipertahankan. Nah, ketika meledak kerusuhan Poso, provokasi di sana juga luar biasa seperti terlihat dari cerita tentang selebaran itu. Para pemuda, sekalipun nggak taat-taat banget beragamanya, ketika diprovokasi langsung ambil pedang dan sebagainya.

Ada juga orang yang kemudian termakan provokasi, lalu bilang "oke, kita berangkat perang jihad." Tapi sebelum berangkat mereka mau latihan bela diri dulu. Jadi mereka kumpul dan dikatakan pendaftarannya ada di kelurahan Nunu. Jadi seluruh pemuda mendaftar ke sana. Dan ketika sampai di sana sudah ada satu-dua orang yang belajar senjata rakitan. Tapi ada juga yang memberikan informasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Poso sehingga akhirnya pemuda mulai berpikir. "Oh, berarti kita mati konyol kalau berangkat ke sana." Akhirnya semangat jihad tadi langsung dibelokkan oleh Pak Gaffar dan beberapa tokoh masyarakat, untuk mengurus pengungsi. Pak Gaffar sebagai ketua RT kemudian menggunakan posisinya untuk mengambil prakarsa tersebut. Dia menekan tokoh-tokoh masyarakat lain untuk membuat panitia itu. Saya pikir ini juga penting untuk ditambahkan, yakni bagaimana bersikap terhadap provokasi yang luar biasa. Bagaimana mengolah semangat kekerasan menjadi non-kekerasan.

Moderator

Saya kira perlu juga diceritakan tentang mekanisme RT. Terlihat dari uraian tadi bahwa pengorganisasian masyarakat sangat epnting. Tapi saya kurang tahu seperti apa sistem RT di sana, mungkin lebih kuat dari apa yang kita kenal di Jakarta ini. Atau memang ada sesuatu yang khas dari wilayah Nunu itu?

Abdul Gaffar

Kalau dibilang khas, mungkin pemilihan RT itulah. Di sana kita praktekkan demokrasi langsung. Jadi masyarakat memilih langsung ketua RT-nya. Orang menentukan kriterianya sendiri dan melihat calon-calonnya langsung. Kedua, soal kelurahan Nunu yang memang punya karakter berbeda. Masyarakat di sana sangat solider dari dulu sampai sekarang. Apa yang dikatakan Sentot memang benar adanya. Di zaman Permesta banyak orang Tionghoa yang mengungsi ke kelurahan kita. Dan kalau sudah mengungsi ke sana orang luar tidak akan pernah ganggu. Itu jelas aman. Di desa Nunu memang persatuannya kuat. Tidak peduli salah atau benar, dipertahankan dulu. Tidak sembarang orang bisa bikin keributan di sini. Jadi misalnya kalau ada orang Nunu yang keluar bikin ribut, orang luar jangan coba-coba langsung masuk ke Nunu. Warga pasti akan membela dulu. Maksudnya bukan membela yang salah tentunya, tapi jangan bikin ramai-ramai. Warga harus tamu kenapa orang kita sampai dicari-cari, begitulah.

Di kalangan perempuan pun begitu. Sayang sekali Erliny tidak ada malam ini, saya banyak keliling ke lapangan dengan dia. Untuk bikin pertemuan kita tidak perlu bikin surat, tapi cukup diumumkan lewat gereja atau vihara, kemudian masjid. Kita umumkan akan ada diskusi dengan Tim Relawan dari Jakarta, semua orang kumpul. Di sekolah-sekolah pun begitu. Ibu-ibu, bapak-bapak dan anak muda akan datang.

Moderator

Uraiannya menarik sekali, jadi ada kaitannya dengan demokrasi dan pengorganisasian masyarakat. Silakan kalau ada kawan yang punya pertanyaan. O ya, sebelum itu. Apakah dalam pengorganisasian itu, masyarakat Nunu pernah didatangi organisasi kemanusiaan dari luar yang misalnya menawarkan uang atau bagaimana?

Abdul Gaffar

Ya, ada juga yang datang dari Oxfam kalau tidak salah. Ada tiga orang yang datang, dua dari Jogja dan satunya lagi dari Bangladesh. Mereka tawarkan kepada panitia untuk kerjasama soal sanitasi. Tapi anehnya Oxfam ini malah meminta apa yang sudah dikerjakan masyarakat dengan swadaya lokal ini, harus dihentikan. Sebagai ketua panitia saya bilang, "kalau begitu, lebih baik nggak usah. Masyarakat masih bisa mengatasi ini." Sayang sekali kalau tatanan yang sudah bagus begini diubah lagi hanya karena mengikuti kemauan Oxfam. Saya sampaikan juga soal ini kepada warga, dan jelas-jelas ditolak. Ada juga partai politik yang masuk seperti Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan. Mereka datang untuk merekrut pasukan jihad katanya [tertawa]. Lho, ini lebih susah lagi. Kita saja sudah susah-payah meredam anak-anak muda yang punya semangat jihad, malah datang lagi orang menambah-nambah masalah. Saya secara tegas menolak permintaan itu. Lalu mereka datang lagi untuk minta data-data pengungsi. Saya tolak juga karena pengungsi di sana bukan hanya orang Islam tapi ada juga yang Kristen. Mungkin mereka mau minta data untuk bikin provokasi lagi, saya kurang tahu.

Moderator

Memang masalah pengungsi sekarang kelihatannya menjadi prioritas bagi banyak LSM internasional. Mereka terlibat mengurus pengungsi di Kosovo, Timor Lorosae dan tempat-tempat lain. Anehnya yang mereka buat itu semacam refugees haven yang malah mengisolasi pengungsi dari masyarakat sekitar, semacam kamp begitulah. Sehingga pengungsi kemudian lepas dari persoalan negara atau tempat asalnya. Ini kita lihat terjadi di Australia dan beberapa negeri maju lainnya. Apa yang diceritakan Bung Gaffar sangat menarik, karena pengungsi justru diurus oleh masyarakat sendiri. Di Jakarta juga ada "usaha masyarakat", misalnya pengumpulan dana melalui media massa, kantong kemanusiaan dan sebagainya. Tapi semua itu sebatas karitatif, tidak ada unsur pengorganisasian rakyat di sana.

Agung Putri

Saya ingin tahu rencana selanjutnya dari Bung Gaffar dan teman-teman di sana seperti apa? Apakah terbayang bahwa pengungsi akan tinggal lama di sana? Lalu, apakah ada masalah khusus yang muncul karena bagaimanapun orang-orang itu tercerabut dari tempat asalnya? Lalu, kira-kira antisipasinya seperti apa dan rencana ke depan seperti apa? Sekarang sudah berlangsung satu bulan dan mestinya Bung Gaffar sudah bikin semacam evaluasi atau refleksi atas kegiatannya selama ini. Saya ingin tahu bagaimana bayangan teman-teman di sana tentang hubungan pengungsi dan masyarakat selanjutnya.

Abdul Gaffar

Keadaan di Poso sekarang parah sekali. Semua infrastrukturnya hancur. Rumah-rumah habis dibakar dan tempat kerja seperti ladang dan sebagainya, tanamannya habis dibabat. Sebenarnya pengungsi ingin kembali tapi syaratnya Poso harus betul-betul aman dan infrastruktur harus dibangun kembali. Dengan keadaan Poso seperti itu mungkin waktu yang diperlukan agak lama. Memang ada efek negatif untuk warga sendiri, tapi banyak juga positifnya. Efek negatif misalnya cerita pengalaman pengungsi yang bisa membuat orang terhasut begitulah. Tapi kami dari panitia sudah bisa mengenali orang-orang yang sering membakar kemarahan seperti itu. Yang penting kita meyakinkan anak-anak muda di kampung yang bersemangat jihad untuk tidak melakukan kekerasan. Itulah masalahnya. Tapi secara umum saya pikir yang lebih kuat justru hubungan harmonis antara pengungsi dan warga. Misalnya pengungsi yang rata-rata berasal dari Jawa punya keahlian kemudian membantu warga dan sebaliknya. Jadi ada pertukaran ketrampilan begitulah.

Hal lain di kelurahan Nunu itu anak muda hidupnya "malam dijadikan siang, siang dijadikan malam". Nah, setelah ada pengungsi ada perubahan juga. Anak-anak muda melihat pengungsi rajin kerja semuanya dan juga banyak dapat duit. Pelan-pelan ada perubahan pola pikir di kalangan muda di sana. Begitu juga untuk ibu-ibunya. Ada banyak ketrampilan yang dimiliki dan terjadi saling tukar informasi. Mereka mulai tahu caranya bikin keripik buah, padahal tadinya hanya tahu bikin keripik dari ubi kayu. Jadi banyak ilmu baru yang mereka dapatkan dari hubungan itu.

Dari segi keamanan, pengungsi dengan sadar ikut dengan warga setempat melakukan ronda. Di setiap RT ada pos ronda simpatik yang tidak akan mengganggu orang-orang yang lewat. Kalau sudah lewat jam satu malam, kita pagari dan secara selektif kita tanyai tamu-tamu yang lewat. Masalahnya memang karena di Palu sudah banyak provokator yang jalan. Di Al-Khairat misalnya ada orang yang sengaja datang mengirim makanan yang dicampur racun. Untung saja satpam di situ teliti, kue itu dilemparkan ke ayam dan ternyata ayam itu mati semua. Itulah alasannya mengapa kami membuat ronda-ronda semacam itu. Di samping itu kita juga merahasiakan titik-titik pemukiman pengungsi di kelurahan agar tidak mudah diganggu oleh orang lain.

Oey Hay Djoen

Saya pikir ada baiknya kalau Gaffar ini bisa mengidentifikasi sumber konflik di Poso. Saya pikir itu perlu betul-betul dibuat sebab sampai sekarang tulisan yang ada tidak pernah bicara tentang sumber konfliknya. Jadi semua ini seakan-akan hanya "konflik horisontal", antara rakyat dengan rakyat. Padahal kalau dengar keterangan tadi kan, jelas sumbernya bukan rakyat dengan rakyat. Jadi supaya kita ini jelas bahwa yang terjadi sekarang bukanlah konflik horisontal. Dan kekuasaan ini senang sekali kalau kita berpikir ini konflik horisontal. Rakyat saling bunuh dan mereka bisa lolos. Kedua, saya pikir ada beberapa hal yang bisa dikembangkan di masa mendatang, misalnya untuk keamanan dan pembangunan ekonominya. Sekarang pengungsi sudah bersama penduduk sipil dan mengurus diri sendiri. Saya kira ini perlu betul-betul ditangani sehingga ketika pengungsi kembali juga bisa tetap mengurus diri-sendiri. Bukan hanya dalam bidang ekonomi ya, tapi juga sampai pada keamanan. Ini kan sebetulnya jawaban bagi masalah di negeri kita ini, yaitu rakyat mengurus dirinya sendiri. Dan itu harus direbut, tidak bisa kita tunggu jatuh dari atas. Nah, kalau bisa tolong disiapkan bahan lalu kita cari media yang bisa menjadikan pengalaman itu sebagai pengetahuan umum. Sederhana saja, tentang bagaimana penduduk Palu emmbantu pengungsi bukan hanya dengan semangat charity, tapi membuat pengungsi bisa mengurus diri sendiri. Saya kira ini penting sekali.

Abdul Gaffar

Ya, memang proses seperti itu, Pak. Dari 320 pengungsi sekarang ini hanya sisa 24 orang yang rutin dibantu pangan dan sandangnya. Masalahnya mereka ini adalah petani coklat yang tidak bisa menanam sayur setelah sampai di tempat pengungsian. Nah, untungnya tempat mereka tinggal sekarang ini adalah pengrajin bola takraw, jadi akhirnya mereka mulai belajar menganyam bola takraw. Kalau petani lainnya kita bantu membuat bedengan. Itu cuma soal waktu saja.

Soal identifikasi sumber konflik. Kami di sana bekerjasama dengan teman-teman LSM. Kebetulan ada LSM Bantaya yang kantornya di kelurahan Nunu. Mereka yang membantu warga mengidentifikasi sumber konflik tadi. Jadi ada yang menangani pengungsi, ada yang bikin investigasi tentang penyebab kerusuhan. Sudah ada pembagian tugas begitulah. Sebenarnya Bung Dedy yang juga diundang malam ini tapi tidak bisa datang yang menangani. Saya sendiri tahu juga sedikit-sedikit, dan kalau diperlukan saya bisa cerita juga.

Moderator

Kemarin saya dapat e-mail dari Manado yang minta hasil diskusi dikirim ke sana, karena kawan-kawan itu juga sedang kebanjiran pengungsi. Mereka juga tahu bahwa ini bisa jadi lahan atau proyek garapan banyak LSM serta pemerintah daerah. Nah, hasil diskusi malam ini akan kita kirim ke sana juga agar kawan-kawan itu bisa menyusun strategi lebih baik menghadapi masalah yang ada. Mungkin ada gunanya pengalaman di Palu diterapkan di Manado. Baiklah, saya persilakan teman-teman yang punya pertanyaan atau komentar.

Rusdi Marpaung

Saya hanya ingin tahu keadaan terakhir konflik di sana seperti apa?

Abdul Gaffar

Di Poso masih terus ada pertikaian dan masyarakat masih mengungsi. Di sana ada kelompok merah dan kelompok putih. Belakangan saya dengar keadaannya mulai tenang, tapi saya pikir itu ketenangan yang semu. Maksudnya semu karena sementara ini ada aparat TNI dan Polri di sana. Mungkin jumlah aparat ini lebih banyak daripada orang yang sebenarnya bertikai. Sebelum berangkat ke sini saya dengar bahwa masyarakat asal Poso mulai dipaksa kembali, karena katanya sudah ada TNI dan Polri. Sayangnya saya belum sempat diskusikan masalah tersebut dengan warga Nunu.

Fay

Ya, saya tidak bicara tentang Palu, tapi soal krisis pengungsi secara umum yang terjadi di seluruh Nusantara. Pengungsian itu sebenarnya salah satu cara penduduk menghindari masalah. Kalau ada keributan orang cepat berkesimpulan, "lebih baik mengungsi dan menunggu keadaan aman". Orang yang bersikap begini semakin banyak jumlahnya, dan kita nggak bisa bicara pengungsi seperti misalnya dalam bencana alam. Diurus sebulan, daerahnya tenang, lalu kembali lagi. Kita lihat sekarang kekerasan terus-menerus terjadi dan orang juga terus-menerus mengungsi. Hal ini antara lain karena seperti yang diceritakan tadi, pengungsi juga didatangi partai dan organisasi yang mau memperluas konflik.

Dari catatan-catatan tentang Palu ini, kebetulan saya baca juga soal Aceh dan lihat sendiri pengalaman Timor Lorosae, nampaknya ada kaitan antara krisis pengungsian ini dengan krisis yang lebih luas. Tapi orang cenderung ambil jalan pintas untuk mencari penyelesaian. Saya ingat persis waktu Mei 1998 di Jakarta, orang bereaksi membentuk pertahanan swadaya seperti yang dibuat Bung Gaffar dan teman-teman di Palu. Tapi ada juga yang cari gampang, misalnya dengan menyewa marinir, Kostrad dan aparat lainnya. Sepertinya nggak ada inisiatif dari warga untuk bikin sesuatu. Nah, itu bukan jalan keluar.

Kembali soal krisis pengungsian dan krisis yang lebih luas. Saya pikir karena kondisi ekonomi yang buruk, semakin banyak orang yang akan terseret dalam kekerasan berkelanjutan ini. Di Maluku misalnya kekerasan menciptakan persoalan luar biasa dalam kehidupan ekonomi. Orang tidak mudah menyelesaikan masalahnya dengan damai-damai begitu saja. Dan akibatnya akan banyak orang yang terpaksa masuk dalam konflik. Mereka yang punya duit cukup katakanlah, mungkin bisa menghindar dan menunggu situasi reda. Mereka baru ribut kalau kekerasan sudah masuk pekarangannya sendiri. Nah, sekarang ini dalam situasi krisis ekonomi banyak orang yang sudah nggak punya pekarangan lagi. Artinya setiap konflik akan langsung terasa di badan dan memaksa dia untuk terlibat. Tidak ada lagi "zona aman" tempat dia bisa berlindung. Kalau kita percaya data statistik bahwa 40 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan, maka inilah jumlah orang yang potensial terlibat dalam konflik. Sedikit saja gangguan, bisa meledak. Sikap kelas menengah "ya, terserahlah mau bunuh-bunuhan, asal jangan di daerah gue", nggak berlaku buat mereka. Karena mereka nggak punya daerah. Jarak antara badan dan masalah itu begitu tipis.

Hal lain yang menurut saya penting adalah apa yang terjadi setelah orang mengungsi. Apa yang terjadi misalnya pada pemilikan tanah di Poso setelah ditinggalkan sebagian besar penduduknya? Saya ingin dengar cerita soal ini dari Bung Gaffar. Perubahan semacam apa yang terjadi setelah orang itu pergi dan apa yang akan terjadi kalau mereka kembali. Di Timor Lorosae ini perkara besar. Kita ingat ada sekitar 200.000 orang yang mengungsi. Sebagian sudah kembali dan mulai timbul soal dalam penguasaan tanah. Orang yang pro-kemerdekaan pulang mengklaim tanah milik keluarga yang dicurigai pro-integrasi. Padahal tanah orang pro-integrasi itu sudah dititipkan ke keluarga lain yang pro-kemerdekaan. Akhirnya ribut satu sama lain. Dan ini adalah sumber konflik baru.

Menurut saya kita perlu lihat proses lebih besar yang menata kembali susunan masyarakat setelah konflik. Pertanyaannya tentu saja, siapa yang melakukan penataan? Jawaban gampangnya, ya tentu saja mereka yang punya kemampuan menata semua itu, alias modal. Di Maluku ini sudah terjadi. Bank Dunia sudah bikin rencana untuk menata kembali Maluku yang hancur-hancuran. Rencana kerjanya sangat lengkap. Di Timor Lorosae begitu juga adanya. Ada banyak proyek pembangunan infrastruktur yang disub-kontrakkan ke perusahaan-perusahaan. Ini bukan sesuatu yang khas atau unik. Pembangunan kembali Kosovo dan Bosnia waktu itu juga diperebutkan perusahaan-perusahaan Inggris dan Jerman. Perusahaan Jerman ngotot sekali karena kalah tender sewaktu membangun kembali kawasan Teluk yang porak-poranda akibat perang. Semua proyek rekonstruksi dipegang oleh perusahaan Inggris dan Amerika.

Dalam konteks itu, bantuan justru bersifat mematikan. Apa yang dikerjakan oleh Bung Gaffar dan diharapkan oleh Oom Oey justru dirusak dengan proyek-proyek bantuan yang bekerjasama dengan industri rekonstruksi tadi. Pola pikir proyek bantuan itu sederhana saja. Ada orang lapar, kasih beras. Ada orang sakit, kasih obat. Setahun saja orang hidup seperti itu tentu akan jadi tergantung. Dan itulah kuncinya, menciptakan ketergantungan baru. Kita bisa lihat ini terjadi sampai hal-hal yang sangat teknis. Memang sulit posisi kita kadang-kadang. Tidak mau membantu dianggap keterlaluan, tapi kalau membantu malah menciptakan ketergantungan. Tapi mau tidak mau kita harus kritis. Timor Lorosae dari segi pertanian menurut saya sudah dijajah kembali. Republik belum berdiri tapi penjajahan kembali di bidang pertanian sudah dimulai. Selama berbulan-bulan rakyat diberi bibit-bibit sekali tanam. Sama sekali tidak ada usaha mengembalikan kekuatan menciptakan bibit lokal. Artinya apa? Untuk selanjutnya petani akan terus mengimpor bibit baru karena hasil panen tidak akan menghasilkan bibit baru. Jadi, bayangan tentang pertanian mandiri itu sudah hapus. Mereka akan tergantung terus pada modal yang memberikan bibit-bibit sekali tanam itu.

Di Maluku situasinya sama saja, begitu juga di Aceh. Proyek-proyek bantuan ini semacam Kuda Troya bagi industri rekonstruksi dan juga perusahaan multinasional lainnya untuk menguasai kembali daerah-daerah yang mereka "bantu". Contoh obat mungkin paling mudah dilihat. Pengungsi ditaruh di kamp dan terus makan obat yang disediakan proyek bantuan. Di satu sisi memang membantu orang sakit, tapi di sisi lain ini bisnis luar biasa gede untuk industri obat. Kalau kita hitunglah pengungsi di Indonesia sekarang – kalau kita percaya hitung-hitungan yang dibuat UNHCR – ada sekitar 500.000 orang. Hitung saja setiap kepala perlu aspirin satu per minggu. Artinya setengah juta tablet aspirin per minggu. Itu baru sakit pusing, belum diare dan lainnya. Silakan dihitung sendiri.

Tapi logika ini jangan kita balik dan bilang bahwa konflik sengaja diciptakan karena ada kepentingan modal. Tidak instrumentalistik seperti itu, saya kira. Tapi yang jelas dominasi modal dalam kehidupan kita sudah luar biasa sehingga tidak bisa mengatasi krisis apa pun sendirian. Kurang lebih begitulah. Apalagi kalau proses rekonstruksinya dikuasai oleh modal. Jelas mereka tidak akan membiarkan masyarakat merekonstruksi kekuatannya sendiri yang bisa menjadi lawan di masa mendatang. Pasti rekonstruksi disesuaikan dengan keperluan jangka panjang dari modal.

Nah, kalau bicara tentang apa alternatifnya, saya pikir apa yang dikerjakan Bung Gaffar sudah merupakan jawaban yang tepat. Artinya, bagaimana masyarakat mampu mengurus diri sendiri. Dan kuncinya memang pengorganisasian serta keputusan yang dibuat secara demokratik dalam masyarakat. Hanya dengan begitu orang akan merasa bahwa ini memang tugas atau kewajiban bersama, bukan semata-mata karena kasihan melihat pengungsi. Warga kelurahan Nunu sudah melampaui kerangka charity atau sinterklas-isme. Sudah jauh melampaui itu, dari praktek bertolak ke perumusan. Cerita pengalaman itu menurut saya sudah merupakan pelajaran berharga buat teman-teman yang menangani pengungsi.

Terakhir soal media. Saya pikir kita mesti hati-hati. Kelas menengah ini kan cepat sekali merasa kasihan. "Wah, kasihan pengungsinya banyak sekali. Ayo kita tolong". Mereka lupa bahwa rasa kasihan ini dibuat oleh media. Media menciptakan gambaran horor luar biasa, sementara di tempat pengungsiannya biasa-biasa saja. Saya juga pernah tinggal di tempat pengungsian dan tahu bahwa situasinya tidaklah seburuk yang diceritakan. Ya memang orang susah makan tapi bukan tidak berdaya sama sekali. Gambaran horor sering membuat orang berpikir bahwa rakyat pengungsi itu tidak berdaya dan harus ditolong. Padahal yang diperlukan pengungsi itu sekadar pertolongan agar mereka bisa bangkit mengurus diri sendiri. Coba bayangkan kalau pengungsi ditaruh di kamp militer, dijaga Brimob dan sebagainya, keluar-masuk harus izin, makan selalu disuapi, sakit langsung disuntik. Itu kan jadinya seperti ternak saja. Dan memang ada juga orang atau lembaga yang menjadikan pengungsi seperti ternak miliknya, yang dibawa ke pasar proyek bantuan. Jelas dalam situasi seperti itu pengungsi yang tadinya punya kekuatan jadi amblas semuanya.

Bagi saya sederhana saja, hentikan konfliknya, pastikan keamanan – artinya militer dan polisi yang bikin gara-gara harus ditangkap atau ditarik – maka penanganan pengungsi akan jauh lebih mudah. Kita lihat penjelasan Bung Gaffar tadi soal keamanan. Ternyata rakyat mampu bikin keamanan swadaya. Ini inspirasi bagi kita sebetulnya, dan menjadi bentuk kongkret dari tuntutan menghapus struktur teritorial Kodam sampai Koramil. Selama ini kan tuntutan "cabut Dwifungsi" itu abstrak, nggak jelas maunya apa. Nah, inilah yang saya pikir menjadi bentuk kongkretnya, keamanan swadaya dari masyarakat sendiri. Inilah bukti bahwa rakyat sebenarnya bisa, nggak perlu panggil tentara kalau cuma urusan berkelahi di kampung. Jadi semacam bukti nyata dari tuntutan menghapus militerisme.

Dolorosa Sinaga

Saya hanya ingin menyambung pertanyaan Agung Putri soal antisipasi itu. Kalau kita lihat masalah pengungsi muncul karena ada konflik. Tapi konflik sudah berkembang sedemikian rupa, dan seperti diceritakan Bung Fay, orang semakin mudah terseret ke dalamnya. Rekonstruksi dan penanganan justru menciptakan ketergantungan, dan konflik akan terus berlanjut. Nah, bagaimana kira-kira caranya menghentikan konflik itu? Apakah memang semua pertikaian bisa diselesaikan sendiri oleh masyarakat tanpa campur tangan pihak lain, atau bagaimana?

Abdul Gaffar

Ya, dan sebenarnya masyarakat memang sedang menuju ke sana. Kerusuhan Poso misalnya, bisa disebut kerusuhan dadakan. Tidak jelas ujung-pangkalnya tapi menimbulkan eksodus besar-besaran. Infrastruktur rusak dan sebagainya. Nah, pengungsi yang datang kita tanya "apa yang sebenarnya menjadi penyebab kerusuhan?" Rata-rata menjawab tidak tahu apa persoalannya. Tiba-tiba saja mereka diserang orang dengan pakaian ninja begitu. Sementara itu pemerintah terus bilang, "Poso itu aman. Ibu-ibu, bapak-bapak, nggak usah ngungsi". Tapi malam harinya diserang dan tidak tahu siapa pelakunya. Setelah keluar rumah mereka dibakar dan banyak juga yang mati dibantai. Nah, ini menimbulkan tekanan psikologis. Kalau kita mulai dengan menyelesaikan konfliknya lebih dulu, mungkin agak susah. Rakyat saja tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, apalagi kita dari luar? Saya pikir yang paling penting menciptakan ketenangan bagi orang, membuat mereka bisa berpikir jernih, lalu mengambil langkah selanjutnya. Dari situlah kita bisa bicara soal kembali ke tempat asal dan penanggulangan masalah pengungsi baik dari segi ekonomi maupun kejiwaan.

Moderator

Ada hal menarik, soal apa yang terjadi dan dilakukan setelah pengungsian. Fay tadi bicara tentang rekonstruksi dan modal. Bahwa bantuan justru mematikan pemberdayaan. Pengalaman yang disampaikan Bung Gaffar menjadi menarik, bahwa masyarakat ternyata mampu memberdayakan diri sendiri. Dalam konteks pengungsi, penanganan seperti itu jauh lebih baik daripada menaruh pengungsi di kamp-kamp. Kita bisa juga diskusikan soal lain, seperti masalah media, lembaga bantuan yang masuk ke daerah konflik.

Abdul Gaffar

Memang banyak lembaga bantuan yang masuk ke Palu. Mereka kerjasama dengan pemerintah daerah, dan sudah perjanjian yang kalau tidak salah ditandatangani empat gubernur se-Sulawesi di Manado. Tapi kami nggak pusing. Kita tahu bahwa mereka cuma bikin proyek dengan alasan kemanusiaan tapi duitnya masuk kantong semua. Bagi saya sederhana saja. Saya ini warga dan bekerja membantu warga yang lain. Kita sendiri bisa mengatasi masalah yang dihadapi. Kalau ada lembaga lain, silakan, selama tidak mengganggu kerjasama yang ada. Nah, tadi saya sebutkan kalau di Nunu sempat ada lembaga Oxfam itu. Tapi kita tolak. Begitu juga dengan partai-partai, karena visi dan misinya berbeda.

Soal media. Ada beberapa media yang mengangkat yang kita kerjakan di Nunu. Paling intensif itu suratkabar Tadulako. Ini suratkabar kampus. Kalau suratkabar lain seperti Mercusuar itu juga bicara tentang korban, tapi kayaknya tidak netral juga. Mercusuar ini diterbitkan oleh yayasan milik Muhammadiyah, artinya pendirinya kebanyakan orang Muhammadiyah. Nah, mereka lebih banyak ekspos korban-korban yang Muslim. Kita pikir ini nggak imbang. Sebenarnya ada banyak orang Kristen yang jadi korban tapi tidak diberitakan. Di samping itu ada beberapa teman dari WALHI di sana yang banyak memberikan informasi mengenai korban di Poso. Kita juga dapat data dari pengungsi.

Moderator

Jadi media ini bisa jadi alat untuk mengatasi krisis tapi sekaligus juga untuk mendorong konflik. Ada juga yang menjadikannya lahan seperti diceritakan Bung Gaffar tadi. Apa ada pertanyaan lain di sekitar itu?

Fay

Sebelum ke sana saya nyambung sedikit tentang apakah konflik harus diselesaikan dulu sebelum kita menangani pengungsi. Saya pikir penanganan pengungsi menjadi penting. Kita mesti ingat bahwa orang yang mengungsi itu tiba-tiba saja berubah statusnya. Apa pun yang dia kerjakan sebelumnya, petani, guru, pengusaha atau apalah, kalau sudah masuk ke kamp pengungsian statusnya sama saja, tidak punya pekerjaan. Di samping itu mereka juga tidak pernah tahu pasti kapan bisa kembali. Jadi ada situasi vakum begitulah. Nah, kalau nggak dikasih pekerjaan, nggak ada kegiatan apa pun, tentu mudah sekali diajak atau dihasut untuk masuk lebih jauh dalam konflik. Maluku saya pikir adalah contoh yang jelas. Konflik berkembang begitu cepat karena ada situasi vakum. Jadi saya pikir memang betul kalau pengungsi harus ditangani dulu karena bagaimanapun tempat pengungsian itu menjadi lahan meluas dan berkembangnya konflik.

Kalau soal penyelesaian konflik, ya jelas harus diselesaikan. Cuma masalahnya kita harus tahu bentuk konfliknya seperti apa. Jangan-jangan yang dimengerti masyarakat sebagai konflik dan konflik sesungguhnya itu lain. Di Palu kita lihat ada persoalan bupati. Nah, buat saya kalau calon-calon bupati itu mau pukul-pukulan berebut jabatan, silakan saja. Selesaikanlah sana, tapi jangan seret masyarakat. Persoalannya konflik elite ini kadang dibungus sedemikian rupa sehingga yang keluar itu seolah-olah konflik horisontal. Saya pikir jawaban atas soal ini adalah mengorganisir pengungsi dan masyarakat yang terkena dampak konflik untuk suatu saat sama-sama bilang kepada para petinggi yang celaka itu, "kalau kalian mau ribut, ributlah! Tapi jangan bawa perkara Islam-Kristen, asli-pendatang dan sebagainya!" Mungkin selanjutnya bisa sampai menghapus jabatan yang diributkan, karena toh masyarakat bisa mengurus diri sendiri. Jadi jawabannya menurut saya akan datang dari masyarakat sendiri, dari warga sendiri.

Memang ada konflik yang tidak dapat diselesaikan tanpa perubahan mendasar. Dan itu menurut saya tidak perlu dihindari, tapi justru menjadi tantangan bagi kita untuk membangun institusi demokratik di mana konflik semacam itu dapat ditangani. Ini yang sekarang nggak ada. Sehingga konflik apa pun tidak ada penyelesaiannya. Tidak ada lembaga yang mampu. Pengadilan jelas nggak mampu, kita semua tahu kualitasnya seperti apa, sampai ke Mahkamah Agung sekalipun. Sementara ini belum ada lembaga yang mampu memberi jawaban. Kelanjutan dari apa yang dikerjakan kawan-kawan di Palu menurut saya akan sampai ke sana, memikirkan lembaga-lembaga demokratik baru yang bisa menangani masalah tanah misalnya. Di Timor Lorosae sekarang mulai tumbuh. Ini luar biasa sebenarnya, tapi PBB tidak mendukung. Pikirannya memang nggak sampai ke sana. Pikirannya seperti Orde Baru saja, ada poteni sekian kerahkan tenaga sekian, modal sekian, jadi proyek. Nanti setelah beberapa tahun akan take-off. Nggak ada bedanya dari rezim Soeharto, Gus Dur dan lain-lainya. Pikirannya lurus begitu saja. Tidak ada diskusi warga tentang bagaimana sebaiknya menata kembali masyarakat yang porak-poranda. Padahal yang penting justru melibatkan semua orang, perempuan, Islam-Kristen, guru-murid, terserah mau dilihat dari segi apa pun, yang penting penataan kembali itu memang menjamin keamanan dan kelangsungan hidup yang lebih baik.

Rekonstruksi yang ada sekarang praktis lebih banyak menciptakan kemungkinan konflik atau kekerasan baru. Banyak dana yang disediakan untuk beras tapi nggak ada langkah untuk mengontrol senjata misalnya. Padahal itu yang jadi soal. Peluru, senjata, mobilisasi kekerasan dibiarkan berlanjut terus. Semuanya dibiarkan lepas tapi makanan dipasok terus. Itu sama saja dengan memberi logistik kepada orang yang mau tempur. Dan inilah yang terjadi di Maluku menurut saya. Beras disalurkan melalui kekuatan-kekuatan yang ada, entah Laskar Jihad, Laskar Kristus, dan sebagainya. Nah, itu kan kembali ke situasi perang zaman dulu. Siapa yang pegang logistik banyak dialah yang bisa bertahan perang. Dan memang itu yang terjadi. Orang mengambil jatah beras kan sama saja seperti prajurit antre makanan. Dengan mudah pimpinan laskar itu bilang, "kami bisa dapat beras lima liter, tapi harus ikut latihan. Sepuluh liter kalau bisa ajak sepupu dan seterusnya." Jadi nggak heran kalau konflik terus berlanjut.

Saya pikir di tengah kesulitan seperti sekarang kita mesti mulai bekerja dari pinggir-pinggir persoalan lalu bergerak ke tengah. Saya tidak tahu juga apa dengan begini masalahnya bisa selesai. Tapi paling tidak kalau melihat pengalaman Palu, rasanya lebih menjanjikan ketimbang datang ke tengah situasi konflik, kumpulkan laskar-laskar terus bicara tentang resolusi konflik. Apalagi pakai pendekatan dialog antar agama, sudah terbukti nggak jalan itu. Wong masalahnya bukan agama, disuruh dialog antar agama.

Sentot

Saya tertarik pertanyaan dari Dolorosa tadi. Mana yang lebih penting, mengurus pengungsi atau menyelesaikan konflik. Saya mulai dari pengalaman jalan ke Manado beberapa waktu lalu. Ternyata pengungsi, baik yang datang dari Ternate atau Maluku, itu seperti bom waktu. Artinya potensial untuk meledak menyebarkan konflik lebih luas. Di pelabuhan Bitung sekarang ada sekitar 16.000 pengungsi. Dalam konteks ekonomi setempat, itu artinya buruh murah. Kesempatan orang bekerja di sana semakin sulit. Pemerintah daerah ketemu dengan Kedubes Amerika, British Council dan nggak tahu siapa lagi, bikin agreement. Pengungsi dibikin jadi proyek baru. Orang lagi nongkrong tiba-tiba petugas bantuan datang, "mau kerja, ya?" Kasih duit tiga juta. Sementara orang setempat nggak pernah dapat kesempatan seperti itu. Akhirnya muncul kecemburuan antara penduduk lokal dengan pengungsi.

Lalu persoalan bantuan. Manado itu kalau nggak salah sudah berhasil mencapai swasembada beras. Ada Amurang, Tondano dan Tanawangko. Tapi anehnya beras untuk pengungsi datangnya dari luar Manado. Bisa dibayangkan, ada sekitar 30.000 pengungsi yang dapat beras, berlebihan malah. Akhirnya dijual lagi oleh mereka dengan harga murah agar bisa membeli keperluan lain seperti pakaian, uang sekolah dan sebagainya. Nah, efeknya harga beras kemudian jatuh dan petani terpaksa jual beras murah. Anak-anak pengungsi juga dipekerjakan di toko-toko yang jual cengkeh karena upahnya lebih murah. Mereka yang semula kerja di sana akhirnya nganggur. Jadi kecemberuan seperti ini – saya tidak mengatakan ini sengaja direkayasa atau bagaimana – tapi jelas merupakan bom waktu. Kedatangan pengungsi ini jadi masalah tersendiri lepas dari konspirasi atau apalah yang menjadi latar belakang konflik semula. Jadi soal mana yang harus diselesaikan lebih dulu, memang sulit dijawab. Tapi yang pasti kita perlu pertimbangkan situasi kongkret yang ada sekarang.

Agung Putri
Saya hanya mau share sedikit saja. Tadi sore saya sempat ngobrol agak panjang dengan teman yang aktif mengorganisir petani di Padang. Ceritanya sangat menarik. Awalnya saya tanya, "kenapa di Padang tidak ada gerakan mahasiswa yang kuat?" Aktivitas hak asasi manusia dan demokratisasi juga tidak besar seperti di Aceh misalnya. Dari pertanyaan itu kita ngobrol soal kehidupan masyarakat pada umumnya di Sumatera Barat. Menurut dia di Padang itu konflik tanah sebetulnya sangat banyak. Tapi masyarakat di sana, terutama elite dan aparatnya, pandai sekali menyelesaikan dengan cara negosiasi dan surat-menyurat. Nyaris tidak ada konflik yang keras sampai harus pukul-pukulan, merampas tanah dan sebagainya. Akhirnya aktivis di sana juga bilang kepada petani agar jangan sampai negosiasi karena pasti kalah. Begitu pandainya kalangan elite dan aparat bicara, menggunakan tradisi musyawarah, sehingga selalu menang. Itu menarik karena sebenarnya ada konflik mendalam tapi selalu diselesaikan dengan negosiasi. Jadi semua dibuat hitam di atas putih. Jadi petani, entah di tingkat nagari atau mana saja, punya surat. Entah adil atau tidak, tapi semuanya hitam di atas putih. Saya pikir kok ini advanced sekali, ya. Jadi penguasa punya bermacam-macam cara mengontrol kekuasaannya. Tidak selalu harus dengan kekerasan.

Itu contoh dari Padang, dan bisa menjelaskan mengapa tidak muncul gerakan mahasiswa atau gerakan demokrasi seperti di tempat lain. Tidak ada ruang untuk kampanye-kampanye atau aksi pembelaan petani. Buat mereka berpolitik artinya masuk partai. Dan memang kesulitan mengorganisir petani secara independen. Ada petani pintar sedikit langsung diambil oleh partai-partai. Mereka sebelumnya dilatih oleh LSM tapi akhirnya milih masuk partai karena dianggap kemajuan. Sementara buat LSM-nya, "wah, kamu kok meninggalkan masyarakat". Tapi itulah, menurut petani berpolitik itu harus masuk partai. Jadi ada model-model penyelesaian dari atas yang ternyata berpengaruh terhadap cara orang membangun kekuatan di bawah.

Saya nggak tahu soal Palu, tapi mungkin Bung Gaffar bisa cerita soal membangun kekuatan bersama rakyat. Apakah itu respons terhadap cara penguasa menangani masalah selama ini atau bagaimana? Apakah teman-teman mulai bergerak setelah melihat penguasa tidak menangani masalah dengan benar, sehingga melihat perlunya cara-cara lain?

Abdul Gaffar

Saya pikir ada benarnya. Kita memang kecewa dengan apa yang dilakukan Pemda di sana. Bisa dibayangkan tempat penampungan pengungsi pemerintah itu kecil sekali tapi harus menampung banyak sekali orang. Petani yang mengungsi ke sana hanya hidup dari bantuan beras dan lauk. Padahal mereka perlu lahan untuk bekerja. Nah, ini salah satu faktor yang membuat warga berpikir bagaimana caranya mengeluarkan petani dari sana sehingga bisa kembali bekerja. Kemudian masalah perempuan dan anak-anak sama saja. Anak-anak yang ditampung di sana tidak bisa sekolah karena jaraknya snagat jauh. Setiap hari mereka cuma dapat uang Rp 1.500 untuk semua keperluan, jadi jelas tidak bisa bersekolah. Jadi akhirnya kita duduk bareng dengan pengungsi dan bicara. Kita kembalikan kepada sesama warga dan bicara tentang jalan keluar. Akhirnya ada pemikiran yang muncul dan ramai-ramai kita kerjakan.

Kalau soal tanah situasinya agak lain. Di kelurahan Nunu masih banyak lahan yang kosong, atau istilahnya, lahan tidur. Ya, daripada tidur terus lebih baik dibangunkan, dan yang bertugas membangunkan ya pengungsi itu. Dan ini semua disepakati warga. Ada juga warga yang menyerahkan lahannya cuma-cuma kepada pengungsi selama tinggal di sana untuk digarap.

Dedi

Saya ingin tanya sejauh mana pengungsi di tempat Bung Gaffar tahu tentang situasi daerah asalnya. Artinya informasi yang obyektif tentu saja. Misalnya kalau tentara dan polisi bilang "aman", apakah langsung percaya atau ada informasi lain yang mereka baca?

Abdul Gaffar

Sebenarnya ada banyak sumber informasi, dan menariknya pengungsi bisa membedakan mana yang benar dan mana yang tidak. Misalnya koran Mercusuar itu bikin laporan tentang desa Tokorondo. Setelah baca mereka bilang, "wah, ini nggak benar." Kalau soal media dari kita sendiri, saya pikir perlu tapi bukan dalam bentuk tulisan. Yang penting adalah bagaimana pengungsi itu bisa berhubungan dengan warga. Jadi setiap bulan kita sepakati bikin pertemuan warga. Jadi masyarakat punya dua akses. Pertama membaca suratkabar atau media lokal tapi juga pertemuan untuk sharing. Nah, ini berjalan seiring. Jadi ada hubungan timbal-balik yang saling mendukung, kita bisa menekan gejolak-gejolak yang timbul dan kadang ditimbul-timbulkan oleh media.

Peserta

Dari keterangan tadi kelihatannya bahwa pengungsi itu bukan hanya orang Islam, tapi juga ada Kristen. Dan mereka mendapat pelayanan yang sama di tempat pengungsian. Lalu bagaimana sikap pengungsi itu sendiri? Tadi kan dikatakan mereka tidak apa yang sesungguhnya menjadi sumber konflik. Mereka cuma korban yang kemudian mengungsi. Nah, sekarang ada pengungsi yang Kristen, dan ada yang Islam. Bagaimana sikap mereka satu sama lain? Dan bagaimana cara berkembangnya kesadaran padahal provokasi masih jalan terus melalui koran dan sebagainya.

Abdul Gaffar

Soal kesadaran itu kita tangani lewat pertemuan-pertemuan rutin. Bukan cuma warga yang hadir tapi pengungsi juga. Kita tidak tahu agama yang mereka anut, tapi yang penting dikumpulkan. Lalu ada teman-teman, seperti Bung Hedar dari Bantaya, memberikan semacam pencerahan, penjelasan tentang kondisi kerusuhan dan sebab-sebabnya. Kemudian tokoh-tokoh mengambil kesimpulan sendiri. Memang ada juga yang terjebak ke arah lain. Mereka bilang bahwa di Islam juga banyak orang kafir, di Kristen dan Buddha juga ada orang kafir, sehingga kesimpulannya orang kafir inilah yang berbuat. Tapi paling tidak pengungsi menyadari bahwa mereka ini korban dan bahwa agama yang mereka anut tidak pernah mengajarkan kekerasan. Apalagi terhadap manusia. Dalam pertemuan itu juga hadir tokoh Buddha dan Hindu setempat, walau tidak banyak bicara. Tapi mereka memberikan pandangan tentang keyakinan yang dianut. Itu sejauh ini yang saya pikir cara paling tepat untuk menghindari konflik.

Amiruddin

Saya kebetulan pernah beberapa kali ke Aceh. Di sana pengungsian agak lain masalahnya. Tidak terbuka seperti di tempat lain. Dan ada masalah serius. Misalnya orang dari Aceh Utara masuk ke Tenggara, dari Barat masuk ke Selatan. Orang yang wilayahnya didatangi biasanya marah, "kalian yang bikin konflik kenapa datang ke sini." Nah, jadi mulai bertengkar di situ. Ada daerah yang bahkan menolak datangnya pengungsi. Sehingga ribut di antara warga sendiri. Ada juga yang mulai berpikir bahwa masalah ini sebenarnya antara orang Lhokseumawe, Pidie dan Aceh Besar. Tapi bagi orang Gayo di Tenggara dan Selatan, itu bukan masalah. Mereka nggak mau merdeka, jadi menolak berurusan dengan pengungsi. Saya pikir cara-cara dari Bung Gaffar sangat penting untuk menangani masalah pengungsi di Aceh.

Masalah bantuan-bantuan itu juga. Saya bertemu teman-teman dari Maluku Utara. Mereka cerita bantuan itu banyak sekali waktu itu. Dari Saudi Arabia saja kirim duit ke Al-Fatah dalam jumlah banyak. Akhirnya jatuh ke tangan Laskar Jihad. Di sisi lain ada uang dari Belanda yang dikirim ke gereja Maranatha. Akhirnya jadi bekal untuk perang-perangan. Saya juga sempat bilang, "lebih baik tidak dikasih bantuan saja. Kalau nggak ada bantuan kan nggak jadi perang." Tapi teman-teman itu malah marah. Saya ccoba jelaskan bahwa bantuan itu ternyata hanya memperpanjang energi orang untuk perang. Dan orang saling bertikai karena memang bantuannya ada terus. Sekarang malah ada spesialis yang kerjanya cari bantuan ke mana-mana. Mereka datang ke kedutaan, ke mana-mana sajlaah. Ini juga perlu kita pelajari betul sehingga tidak terjebak ke dalam bantaun yang katanya untuk kemanusiaan, tapi buntutnya malah melahirkan soal. Di Maluku saya lihat seperti itu.

Di Aceh bantuan juga bisa membuat orang saling bertengkar. Contohnya ketika Gus Dur kasih duit ke Aceh. Untuk menampung duit dibuat yayasan namanya Aswajana. Kalau orang Aceh bilangnya, "asli Jawa". Pimpinannya itu jadi semacam boss kecil di Aceh. Kalau ada orang datang minta duit dia bilang, "perlu berapa?" Tinggal bikin proposal atau bicara saja dikasih duit ratusan ribu sampai sejuta. Semua dikasih. Akhirnya bertengkar sendiri dan dia dipanggil DPR. Dia cuma bilang, "lho yang pakai duitnya kalian semua, kok jadinya malah ribut?" Nah, inilah masalah di Aceh. Pengungsi akhirnya dikonsentrasikan di satu tempat dan jadi lahan tawar-menawar dengan Jakarta untuk dapat uang. Memang luar biasa. Saya sendiri terima banyak sekali surat tentang persoalan seperti ini.

Ada juga lembaga di Aceh yang hanya mau bantu perempuan. Pengungsi begitu banyak dia nggak mau, kecuali kalau ada kaitannya dengan perempuan. Akhirnya teman-teman ada juga yang terpaksa bikin proyek khusus soal itu. Akhirnya bertengkar lagi. Jadi saya pikir yang disampaikan Bung Gaffar itu penting sekali, masukan yang baik sekali bagi kita. Nanti kalau ketemu teman-teman dari Aceh atau Ambon saya bisa ngobrol soal ini.

Moderator

Apa ada komentar lain? Atau Bung Gaffat sendiri mau tambahkan sesuatu? Kalau tidak ada mike akan saya matikan seperti biasa… oh, ada satu lagi.

Peserta

Apakah dalam penyelesaian konflik di Palu masyarakat adat dilibatkan?

Abdul Gaffar

Kalau penanganan adat secara langsung tidak. Tapi kebetulan YBH Bantaya yang membantu kita banyak berkiprah di bidang masyarakat adat. Kita juga mendengar uraian dari Bung Hedar tentang bagaimana masyarakat adat menyelesaikan persoalan mereka. Jadi tidak secara langsung tapi peranannya ada. Lebih banyak karena YBH Bantaya bekerja pendampingan masyarakat adat dan direkturnya juga bicara banyak soal itu dalam penanganan kasus tanah dan sebagainya.

Moderator

Baik, saya tidak akan merangkum tapi menyinggung apa-apa yang telah kita diskusikan malam ini. Pertama, bahwa krisis pengungsian di Indonesia ini bukan sekadar cerita tentang eksodus orang atau berpindahnya orang dari tempat asalnya, tapi ada banyak masalah baru yang terkait. Kawan-kawan di Palu sudah cukup efektif menjawab masalah pengungsian ini melalui pengorganisasian masyarakat, dan saya kira hasil diskusinya juga bisa segera dikirim ke Manado. Mudah-mudahan kawan di Manado bisa mengikuti apa yang sudah dilakukan Bung Gaffar, dan kita bisa bergerak lebih jauh bukan hanya mengurus pengungsian tapi sampai pada fase masyarakat mengurus diri sendiri. Terima kasih kepada Bung Gaffar dan Fay, dan karena desakan Wanjakti, DBP kali ini mendatangkan notulen. Terima kasih. Semoga mau terus jadi notulen di masa mendatang.

Saya kira itu saja. Terima kasih [tepuk tangan].