Presentasi R. Diyah Larasati

Diskusi Bulan Purnama
Garuda, 13 Desember 2006


Selamat Malam.

Nama saya Diyah Larasati,

[thanks to Gung Ayu yang telah mengundang saya dan mempertemukan saya dengan komunitas ini.]

Pada kesempatan ini saya ingin membagi apa yang telah saya dapatkan dari proses pembelajaran saya sebagai seorang penari di Indonesia yang menyandang status pegawai negeri, dengan segala peraturan dan tugas terhadap negara/state. Yang tentu saja, saya juga mengenyam berbagai kemudahan karena menjadi bagian dari sistem kekuasaan yang telah menandai kehidupan bernegara di negeri ini.


Pada malam hari ini, saya akan membagi pembicaraan dalam tiga bagian:

1. Prelude:

Pada awalnya saya kurang mengetahui secara jelas apa yang mendasari kasus-kasus kekerasan di tahun 1965 dan tahun-tahun berikutnya dalam masa peralihan kekuasaan di negeri ini. Kekerasan yang banyak dialami oleh saudara-saudara kita, orang tua, teman atau kolega, bahkan mungkin kita sendiri, sering menjadi kabur dan tak bermakna karena terlalu banyaknya permasalahan yang dihadapi di negeri ini.

Walaupun kasus 65, yang juga sering mengakibatkan kasus “penyendirian”/stigma dan atau exclusion – di dalam wacana sosial – dalam keseharian sangatlah mendominasi ingatan dan pengalaman banyak keluarga, tapi toh ternyata selama ini banyak dikaburkan oleh wacana-wacana seperti “menjaga keamanan atau stabilitas national”. Banyak dari kita yang takut dan enggan mempertanyakan kondisi-kondisi ini.

Hal ini tentu saja disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah rasa takut, atau juga kehendak/wacana tentang batin manusia, yang juga suka mengambil keuntungan dari kondisi-kondisi seperti itu, sehingga “diam” bisa dianggap penyelamatan, penghapusan atau bahkan dipandang sebagai sebuah strategi atau akses ke kekuasaan.

Diam dalam wacana sosial di negeri ini bisa menjadi pilihan atau bisa jadi hasil sebuah paksaan. Banyak kebisuan atau pendiaman karena terpaksa atau, sebaliknya, bisa juga volunteer action karena keinginan menjadi bagian dari sistem kekuasaan itu.

2. Refleksi di dalam kehidupan saya sebagai seorang penari/praktisi kesenian:

Sebagai seorang anak yang lahir dan besar di Jawa Timur, saya banyak melihat keganjilan, kekerasan di seputar kehidupan masa kanak-kanak saya. Tetapi apa yang saya dapat di sekolah tidak mampu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan akan keganjilan itu. Salah satunya yang sejak saya kecil dan masih ingat sampai sekarang adalah banyak terjadinya pembunuhan, orang hilang atau dipenjara tanpa peradilan di sekitar kehidupan saya.

Dan tentu saja saya yakin banyak hadirin di sini yang mengalami hal serupa dengan pengalaman saya itu, bahkan mengalami sendiri pemenjaraan itu.

Maka untuk melatarbelakangi pembicaraan malam ini, akan saya mulai dengan membicarakan masalah “ingatan pribadi”. Yang paling menonjol dalam ingatan saya adalah, misalnya, banyaknya perempuan (jumlahnya) di seputar saya dibanding laki-laki; banyak anggota keluarga dari para tetangga yang hilang dan tak pernah kembali. Lebih jauh lagi, para perempuan yang tinggal di rumah satu persatu pergi, atau waktu saya kecil sampai SMP-SMA, setiap dua minggu para perempuan itu berdandan rapi menuju kantor militer. Berangkat pagi, pulang sore atau hampir malam.

Kenangan-kenangan itu mendasari saya untuk mencari jawab melalui penelitian yang saya lakukan ini. (Kata kenangan saya pilih tidak untuk meromantisir ingatan akan kekerasan, tetapi saya ingin menunjukkan bahwa pada masa kanak-kanak itu kadang-kadang ingatan selalu diwarnai oleh kegembiraan, terkenang akan sesuatu momen, walaupun ingatan-ingatan itu termanipulasi oleh representasi sekitar). Dan kenangan seorang anak kecil, sebetulnya ini tidak terlalu jauh dengan kita, para hadirin di sini, sekarang ini, terutama jika mengambil contoh bagaimana kita mempersepsikan seorang manusia dalam memandang seni pertunjukan, tarian atau musik, di mana kemegahan, keindahan, kesantunan di panggung membuat kita terbawa ke sebuah dunia lain.

Kita akan lupa kekerasan yang ada di dalam sejarah mewujudnya/terciptanya sebuah karya seni. Sebuah eksistensi karya seni atau kegiatan berkesenian sebagai sebuah elemen budaya atau kebudayaan itu sendiri. Tubuh penari, keindahan musik dan alunan bunyi membuat ritme yang sering mengajak kita berfikir bahwa ekspresi itu seolah jauh dari sentuhan wacana kekerasan. Tarian, yang sering didengungkan sebagai garis kuat sebuah budaya, seolah terpisah dari kesejarahan dan politik sosial karena wujudnya yang mendasar pada keindahan. Dan itu membuat kita “lupa”. Ini saya sebut sebagai politik ingatan dan kebudayaan untuk menciptakan sebuah “amnesia”.

Di negeri ini, kalau mau jujur, kita memiliki garis sejarah yang menyatukan keindahan dengan darah dan kekerasan. Tarian-tarian yang kita lihat, yang sering dipentaskan di dunia internasional maupun di tingkat nasional, misalnya yang menggambarkan keindahan Bali atau adiluhung-nya Indonesia, elegan-nya Jawa, ternyata banyak yang sangat lekat dengan dunia kekerasan itu sendiri.

3. Politik Amnesia:

Untuk mencari jawaban atas semua itu, melalui penelitian dan penulisan disertasi, saya mencoba menelusuri fakta kekerasan itu. Karena juga ingatan dan kenangan-kenangan itu membuat saya bertanya-tanya sejak lama, kenapa misalnya (izinkan saya meminjam nama) Ibu Sriatun, kenapa Ibu Sis, kenapa Ibu Imir atau ibu-ibu yang lain tidak mau menari lagi atau bahkan sangat ketakutan ketika mendengarkan musik, gendhing-gendhing [musik Jawa, ed.] atau nyanyian? Atau bahkan, mereka tidak bisa dan tidak mau menjawab ketika saya tanya, ke mana ibunya Poniti atau kakaknya Siti pergi? Ke mana mereka para perempuan itu? Kenapa anak-anak ditinggal sendiri dan tidak ada yang mengurusi? Ke mana perginya penari-penari itu yang dulu telah mengajari anak-anak di kampung-kampung bernyanyi dan menari?

Atau kalau kita menengok dunia pariwisata sebagai salah satu contoh konkret sistem pelupaan masyarakat kita -- dalam fenomena Bali -- kenapa pentas Sahadewa selalu mempertunjukkan perempuan yang diikat, dikejar-kejar dan pengikutnya dibantai? Kenapa pertunjukan itu tidak pernah mengajari kita untuk tidak melakukan kekerasan? Justru banyak dari pertunjukan itu yang merangkum kekerasan dalam bingkai keindahan sebuah seni. Bukankah Bali banyak memiliki korban tahun-tahun itu? Kenapa kita tidak pernah memberi penghargaan pada para penari atau keluarga yang dibunuh dan tariannya kita pakai untuk pariwisata itu?

Replika dan Mimesis

Pada tahun 1984, Presiden Suharto meresmikan sebuah institut seni di Yogyakarta, ISI [Institut Seni Indonesia, ed.]. Institut ini merupakan gabungan dari beberapa akademi. Kedatangan Presiden Suharto untuk meresmikan institut yang berfokus pada representasi dan pengajaran kesenian sebagai inti dari kebudayaan Indonesia di mata internasional, menandai sesuatu yang sangat penting bagi sejarah negeri ini, yaitu pelegitimasian rekonstruksi budaya melalui lembaga seni resmi, yang dipusatkan melalui mata ajar, kurikulum dan kebijakan-kebijakan Orde Baru. ISI sejak saat itu menjadi institut negeri, artinya di bawah perlindungan negara. Kemudian maraklah hampir di semua penjuru negeri ini lembaga-lembaga semacam itu. Bahkan Presiden Suharto di tingkat istana kepresidenan memiliki grup-grup sendiri. Dikirimlah kita, mahasiswa, dosen dan karyawan ke desa-desa, untuk melakukan penelitian dan “PEMBINAAN”. Dikirimlah kita ke negeri-negeri di Eropa dan Amerika untuk mempromosikan betapa adiluhung dan kayanya negeri kita ini dengan budaya tari dan seni. Lalu atas nama pembinaan atau bahkan dalam mata ajar lokal, juga dalam beberapa kesempatan, apa yang kita dapatkan dari desa-desa diperhalus, “diperbaiki” lalu menjadi bagian dari kurikulum ajaran tari di tingkat lokal dan nasional. Tari-tarian yang kita dapat itu diperpendek, diganti pakaian atau kostumnya, diubah susunannya, atau bahkan ada yang tetap gerakannya seperti sediakala hanya diboyong ke wacana pendidikan tinggi melalui pementasan dengan konteks yang berbeda.

Konsep pembinaan ke desa-desa, disertai dengan kewajiban penyuluhan P4 atau penanaman pemahaman bahwa seni harus mendistribusikan nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan “kepentingan bangsa”, stabilitas nasional dan “ pengamanan kehidupan bersosial”. Artinya, semua pendapat atau nilai dalam berkebudayaan harus melalui/sama dengan apa yang telah diputuskan oleh negara dengan alasan stabilitas/ keamanan nasional. Diciptakanlah lomba antar-desa, antar-kecamatan, antar-kabupaten. Diciptakanlah lomba-lomba identitas propinsi dan persaingan warisan budaya.

Suatu saat saya menjadi bagian dari Tim penyuluhan, pembinaan, atau apapun namanya dalam wacana kepegawai-negerian -- dan ini menjadi sebuah kewajiban karena sistem kepangkatan yang didasarkan pada partisipasi saya sebagai seorang penari/pegawai negeri. Ketika itu saya sering menemukan kasus-kasus di mana banyak penari yang sebetulnya tidak mau menari lagi, atau tariannya sudah diajarkan ke para “penyuluh”, pembina, perwakilan/utusan negara dalam skala kecil di tingkat lokal. Atau bahkan juga banyak dari keluarga-keluarga penari itu yang menghilang, dibunuh atau dipenjara di masa 1965 dan tahun-tahun berikutnya. Tetapi karena adanya lomba-lomba atau pengangkatan nama-nama daerah yang harus bercirikan suatu budaya tertentu, maka banyak budaya lokal yang ditoleh kembali. Ini termasuk beberapa kegiatan berkesenian yang anggotanya banyak dibunuh atau hilang, tetapi tariannya diminati.

Replika sebagai Hyper-reality?

Lalu muncullah para mediator, tim penyuluh itu, seniman-seniman yang pegawai negeri untuk menjembatani kepentingan ini melalui proses “reclaiming” -- pengakuan kembali kesenian daerah. Tetapi yang ada dalam pikir tim penyuluh hanyalah bentuk-bentuk seni itu saja tanpa adanya retribusi atau pikiran di mana dan bagaimana para penari yang dulunya memiliki bentuk seni tersebut survive/bertahan hidup.

Ketika tubuh-tubuh yang berhak dan memiliki wacana tentang nilai apa sebenarnya yang mewujud dalam kesenian itu, nilai yang berkait dengan kehidupan mereka, justru dihilangkan, dibunuh dan digantikan oleh tubuh-tubuh penyuluh/pembina, atau para utusan negara/pegawai negeri yang belajar ke daerah-daerah itu, maka dalam penelitian saya, dan dalam penulisan ini, jelaslah ini sebuah kekerasan di dalam rekonstruksi identitas budaya negeri ini.

Tubuh-tubuh penari itu tidak diinginkan karena alasan politik, tetapi bentuk tarinya, wacana adiluhung, nilai ketradisionalannya, tetap diinginkan oleh negara untuk menjadi landasan rekonstruksi identitas. Hal ini bisa kita lihat lebih jauh misalnya dari kasus misi-misi kesenian atau representasi kebudayaan Indonesia dalam wacana turisme atau keseharian. Misalnya dalam misi kesenian tahun 1994 ke Vietnam, ditampilkan tari Gandrung/Jejer Banyuwangi, atau dalam misi kesenian yang lain ditampilkan beberapa tari lain, seperti tari Janger, bahkan Reyog, dll. Atau bahkan beberapa waktu lalu kita menikmati tari Kecak massal, atau Janger untuk peserta rally mobil Honda di Bali. Kalau kita cermati, seperti Kecak misalnya, banyak sekali para penarinya yang tidak bisa menari lagi karena takut, karena Kecak mereka akan disebut Kecak Komunis atau Kecak Lekra, atau apapun namanya serta alasan-alasan penamaan itu. Banyak para penari Janger, jangankan menari untuk menghibur para tamu, menari di dapur mereka sendiri pun masih takut. Kenangan masa hitam berlanjut sampai sekarang karena tiadanya proses peradilan. Ini menjadi wacana yang utuh dan kuat di dalam tubuh dan ingatan para penari itu.

Kita telah mengetahui bahwa banyak dari saudara-saudara kita yang penari Gandrung dibunuh atau hilang pada masa 1965 dan tahun-tahun berikutnya. Dari penelitian saya, banyak saya temukan, baik di Lombok, Jawa Timur, dan Bali bahkan Madura, bahwa ibu-ibu penari itu banyak yang tidak bisa baca dan tulis. Memahami Marxisme sebagai discourse ideology sangatlah jauh dari jangkauan. Apa yang mungkin mereka sampaikan, rasakan, adalah wacana keseharian soal keadilan. Ketika pembunuhan atau pemberangusan terjadi, tubuh mereka terhapus. Lalu karena kita dan negara membutuhkan apa yang mereka punyai untuk menjadi dasar kekayaan negara ini, maka tubuh-tubuh yang terhapus tadi digantikan dengan tubuh-tubuh penari yang mengasosiasikan diri dengan kekuasaan negara. Inilah yang saya sebut proses REPLIKA (replika disini mengutip Taussig dan Adorno, sebuah imitasi tetapi dalam kasus ini ranah aslinya dibunuh, dihapus dan terlupakan). Sebuah hiper-reality yang berbeda dengan apa yang Baudrillard atau Gilles dan Deleuze sampaikan, karena misesis ini menghapus yang nyata, dengan berlandaskan hubungan sejarah melalui sejarah kekerasan.

Karena alasan inilah maka saya berpendapat bahwa tidak hanya kehidupan keseharian yang berlandaskan kekerasan di negeri ini, tetapi kebudayaan pun -- rekonstruksi identitas budaya negeri ini -- didapat dari proses kekerasan, pembunuhan dan kemudian karya-karya mereka kita pamerkan dan perebutkan. Pementasan-pementasan kembali keindahan-keindahan itu sebagai simbol kekayaan kita sebagai sebuah bangsa, adalah proses pelupaan yang menjauhkan kita dari pencarian keadilan di negeri ini. Kebudayaan, tarian, telah memediasi amnesia dan membuat kita diam, terhibur sejenak dan cenderung LUPA. Itulah kebudayaan kita, ter-rekonstruksi melalui darah dan kekerasan, yang tersampaikan melalui kemampuan tubuh dalam mengartikan budaya.

salam bulan purnama.
R. Diyah Larasati