Peluncuran dan Diskusi Buku

Diskusibulanpurnama.[Dbp.], Hasta Mitra dan Lingkar Tutur Perempuan/Institut Sejarah Sosial Indonesia

Sabtu, 15 Maret 2008 | 10:00 WIB - selesai
di GARUDA: Jl. Raya Pondok Gede 40, Persimpangan TMII-Pondok Gede, Jakarta Timur.
Tel. 8009213

Peluncuran dan Diskusi Buku
“Hidup Bagaikan Mengalirnya Sungai”
Perempuan dalam Perjuangan Antikolonial Malaya
Sejarah Lisan yang disusun Agnes Khoo

Penerbit HASTA MITRA
Alih Bahasa dan Editor: Oey H Djoen

Narasumber:
Kamala Chandrakirana (Ketua Komisioner Komnas Perempuan)
Loly Suhenty (Aktivis perempuan dan pengurusan Koalisi Perempuan Indonesia)
Moderator:
Nancy Soenarno (Aktivis perempuan dan pengurusan People's Empowerment Center)

Apa yang tidak diketahui tentang sejarah kemerdekaan Malaysia dan Singapore? Ternyata tentang para perempuan yang mempersembahkan empatpuluh tahun lebih hidupnya untuk bergerilya di dalam hutan Malaya melawan kolonial Inggris. Namun, para pejuang itu telah diusir oleh penguasa negeri yang dimerdekakannya. Sedangkan perjuangannya tidak ada dalam buku teks sejarah sekolah rendah di kedua negeri itu.

Mengapa? Karena, menurut penelitian Agnes Khoo sosiolog dari Singapore, buku teks sejarah di sekolah sana menyatakan bila kemerdekaan negeri-negeri itu diperoleh secara damai, berkat perundingan yang pandai dan ketrampilan diplomatik politisi, serta kemurahan hati penguasa kolonial Inggris. Malahan Agnes Khoo dan generasinya diajari untuk berterimakasih pada penguasa kolonial Inggris. Pun dibangun kebanggaan atas cara pemerintahnya memperoleh kemerdekaan tanpa melepas sebutir peluru atau meneteskan setitik darah pun. Sedangkan para perempuan yang diusir itu adalah anggota Partai Komunis Malaya (PKM) yang melepas butir peluru dan meneteskan banyak darah untuk memerdekakan negeri itu dari kolonial Inggris. Buku teks sejarah di sana malahan mengajari anak segenerasi Agnes Khoo membenci kaum komunis. Dikatakan komunis itu teroris “bertanduk dua” atau “tikus hutan” perampas kekuasaan pemerintah yang sah. 

Dorongan untuk mencari sosok teroris “bertanduk dua” itu malah memperjumpakan ia dengan fakta yang sebaliknya. Mantan gerilyawan perempuan PKM yang dijumpai di desa Thailand bagian selatan itu malahan pejuang antikolonial. Agnes Khoo mewawancara sebanyak enambelas perempuan itu yang kini telah mendapat suaka politik dari Thailand. Kisah keenambelas pejuang itu disusun dalam bentuk profil dan dibukukan dengan judul “Hidup Bagaikan Mengalirnya Sungai”. 

Buku itu layak diterbitkan dalam edisi Indonesia karena kemiripan pengalaman, baik yang dialami oleh mantan gerilyawan perempuan maupun yang dirasakan oleh Agnes Khoo sebagai penyusun sejarah lisan mereka. Agnes Khoo, sebagaimana kita di Indonesia, telah dididik untuk meyakini sejarah yang diputarbalik. Melalui tutur para gerilyawan itu, ia memblejeti “kebanaran palsu” yang diyakininya selama ini.Sambil membuka ingatan terhadap Hari Perempuan Internasional, 8 Maret, layak dan sepantasnya pula, sejarah perempuan pejuang yang dienyahkan itu didiskusikan di sini. Perjuangan perempuan PKM itu kita dudukkan dalam sejarah perlawanan terhadap penguasa kolonial di muka bumi ini. Sebab, sejarah Indonesia juga memiliki para perempuan yang menitikkan banyak darah untuk pemerdekaan negeri ini dari kolonial. Tetapi yang antikolonialis itu kemudian dinyatakan sebagai pelacur komunis di buku teks sejarah Orde Baru.