LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT (LEKRA)

diskusibulanpurnama. [Dbp.]

18 Januari 2002

LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT (LEKRA)
Narasumber: Stephen Miller, Moderator: Hilmar Farid

Moderator

Stephen Miller mengajar bahasa Indonesia di University of New England. Beberapa tahun lalu ia mulai melakukan riset tentang LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dalam rangka membuat tesis doktoral di Australian National University. Riset ini sepanjang pengetahuan saya – maklum sudah agak lama mengenal Stephen, jadi bolehlah mewakili dia membicarakan risetnya – antara lain dipicu oleh banyak salah paham tentang LEKRA yang berkembang saat ini. Di satu pihak ada semacam upaya demonisasi, katakanlah menganggap LEKRA ini semacam hantu. Mereka dibilang melakukan bermacam kekejaman di masa lalu. Tapi di sisi lain Stephen juga kritis terhadap segala upaya yang melihat LEKRA ini sepenuhnya benar. Mungkin pertanyaan yang tepat di sini, bukan tentang baik-buruknya LEKRA tapi apa yang sesungguhnya dilakukan LEKRA di masa lalu. Karena itu Stephen lebih banyak meneliti tentang kegiatan yang berlangsung dan apa yang dilakukan LEKRA di bawah. Selama ini kita hanya mendengar nama-nama besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Joebaar Ajoeb dan seterusnya. Tapi sedikit yang kita ketahui tentang apa yang sesungguhnya dilakukan LEKRA di tingkat bawah atau basis. Nah, saya pikir langsung saja Stephen menjelaskan pandangannya mengenai LEKRA dan kita akan sambung dengan diskusi seperti biasa. Silakan, Steph.

Stephen

Pertama saya berterima kasih kepada kawan-kawan JKB yang mengadakan diskusi malam ini. Saya minta maaf atas kekurangan saya dalam menyampaikan ceramah ini. Harap maklum saya tidak sempat membawa bahan ke sini dan sudah dua tahun saya tidak sempat menyentuh riset saya tentang LEKRA. Sebenarnya saya datang ke sini dalam rangka liburan saja.

LEKRA sebenarnya sebuah fenomena luar biasa dalam sejarah Indonesia. Saya kira sulit bagi kita yang tidak berpengalaman langsung sekarang ini membayangkan betapa besar, betapa canggih dan besar pengaruh LEKRA pada tahun 1950-an dan 1960-an. Pada tahun 1963 Pramoedya Ananta Toer pernah melaporkan bahwa keanggotaan LEKRA sudah melebihi seratus ribu orang. Seratus ribu pekerja kebudayaan. Bisa saja klaim ini berlebihan apalagi setahu saya LEKRA tidak pernah mengembangkan keanggotaan resmi. Tetapi jelas bahwa pada waktu itu pengikut LEKRA sudah mencapai puluhan ribu orang. Sebelum kemerdekaan Indonesia dan sejak naiknya Jenderal Soeharto menjadi presiden, tidak ada organisasi kebudayaan yang mendekati skala massal ini. Pengaruh LEKRA pada tahun 1950-an dan 1960-an sangat luas. Tidak hanya di bidang seni modern seperti seni rupa dan sastra, tapi juga sampai cabang-cabang seni rakyat seperti ketoprak, tari tradisional, pesindenan, pedalangan dan seni batik.

Kalau LEKRA merupakan fenomena yang unik dalam sejarah nasional Indonesia, begitu pula halnya dalam sejarah internasional. Tentu saja ada organisasi kebudayaan di negara-negara lain di luar Indonesia. Tetapi organisasi yang massal dan luas hanya ada di negara-negara sosialis, dan organisasi itu bagian dari aparatus negara dan kebanyakan anggotanya merasa wajib ikut. Juga pernah ada kebudayaan kiri yang tidak menjadi bagian apartus negara, misalnya gerakan kebudayaan kiri pada masa Weimar di Jerman. Tetapi tingkat pengorganisasiannya sangat rendah dan informal dibandingkan LEKRA.

Tentu saja dalam kesadaran umum di Indonesia sekarang LEKRA tidak dikenal sebagai suatu fenomena unik dalam sejarah seperti saya gambarkan tadi. LEKRA paling hanya dikenal sebagai organisasi yang konon terlibat dalam G-30-S/PKI. Jadi LEKRA dianggap sebagai organisasi penjahat. Tapi tidak seorang pun dari organisasi itu dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan peranan LEKRA dalam G 30 S/PKI atau kejahatan yang lain. Tentu saja ini karena represi Orde Baru tidak berdasarkan hukum melainkan berdasarkan kepentingan politik. LEKRA dianggap sealiran dengan musuh politik Soeharto dan pendukungnya dan oleh karena itu mesti dihancurkan. Dari akhir tahun 1965 sampai permulaan tahun 1967 ribuan anggota LEKRA ditahan tanpa hukuman pidana dan ribuan lagi dibantai begitu saja. Represi massal ini tidak bisa dijalankan tanpa pembenaraan ideologis. Masalahnya represi itu merupakan trauma bukan hanya untuk orang yang menjadi korban tapi juga pelaku represi dan masyarakat umum.

Pembenaran ideologis ini mulai dikembangkan dari akhir tahun 1965 di koran dan majalah yang masih boleh diterbitkan. Tujuan utamanya menggambarkan LEKRA sebagai alat PKI di bidang kebudayaan. Harus dicatat di sini bahwa kejahatan PKI sudah dianggap terbukti walau pun tidak ada seorang pimpinan yang dibawa ke pengadilan dalam bentuk apa pun. Dan penghancuran PKI sudah berjalan dengan cara pembantaian massal. Gambaran LEKRA sebagai alat PKI ini dikembangkan dan dipertahankan terus selama masa Orde Baru dan dikembangkan oleh sejumlah budayawan terkemuka juga. Beberapa buku serta puluhan artikel dan esai menekankan argumentasi semacam itu. Penulis yang paling menonjol dalam hal ini mungkin Wiratmo Soekito dan Taufiq Ismail. Tulisan-tulisan mereka ini sebagian besar merupakan polemik politik saja bukan penelitian sejarah. Tulisan dari orang yang bekas anti LEKRA yang bisa digolongkan penelitian sejarah seingat saya hanya tulisan Goenawan Mohamad pada akhir tahun 1980-an. Dan itu dijadikan selingan di majalah Tempo.

Kalau LEKRA memang alat PKI, mengapa begitu banyak orang bergabung dengannya? Mengapa LEKRA bisa berkembang selama 15 tahun? Apakah rakyat Indonesia dan begitu banyak seniman hebat pada waktu itu memang luar biasa kompleks? Penggambaran LEKRA sebagai alat sama sekali realistis, seakan-akan ada jalur komando yang berasal langsung dari Moskow dan Beijing melalui Politbiro PKI, lalu ke pimpinan pusat LEKRA sampai ke akar rumputnya. Gambaran semacam ini tidak mungkin terjadi dalam sebuah organisasi sukarela seperti LEKRA. Walaupun begitu konsepsi LEKRA PKI itu menjadi semacam sejarah versi resmi selama mantan presiden Soeharto berkuasa. Dari permulaan tahun 1980-an mulai terdengar suara-suara dari bekas orang LEKRA, walaupun mereka masih sangat disingkirkan dalam sistem politik Orde Baru. Pada tahun 1985 buku Keith Foulcher, Social Commitment in Literature and the Arts, terbit di Australia. Keith kembali membaca sumber asli LEKRA dan sempat berdiskusi dengan beberapa tokoh LEKRA seperti mantan sekjen LEKRA Joebaar Ajoeb almarhum. Dalam tulisannya Keith mengikuti argumentasi banyak veteran LEKRA dalam menegaskan bahwa LEKRA bukan alatnya PKI, melainkan sealiran politik dengan PKI. Fokus karya Keith adalah ideologi seni dan sebagian bukunya juga memuat antologi karya sastra LEKRA. Jadi dia tidak memberi gambaran konkret tentang kondisi sealiran itu.

Dua gambaran yang kita dapat selama masa Orde Baru adalah LEKRA sebagai alat PKI di satu pihak, dan LEKRA sebagai organisasi kebudayaan yang sealiran dengan PKI. Kedua konsepsi ini sampai sekarang masih belum digambarkan secara konkret. Kalau mau mengerti hubungan antara PKI dengan LEKRA, Atau mau mengerti sejarah PKI pada umumnya tidak bisa dicapai gambaran itu. Pertanyaan seharusnya adalah bagaimana pengorganisasian LEKRA? Bagaimana LEKRA bisa berkembang? Tentu saja di sini saya hanya bisa menggambarkan sangat kasar tentang bentuk dan perkembangan organisasi LEKRA. Saya harap teman-teman veteran LEKRA yang hadir di sini mau menambahkan pengalaman mereka secara langsung.

Kalau kita ambil pendekatan sebagai alat PKI, LEKRA muncul begitu saja pada tanggal 17 Agustus 1950 atas inisiatif pimpinan PKI. Padahal banyak orang yang ikut LEKRA di masa awal sudah punya basis sebelumnya. Mereka sudah aktif di sanggar-sanggar seperti Sanggar Pelukis Rakyat dan Sanggar Seniman Indonesia Merdeka (SIM) atau di kelompok-kelompok yang lain, atau mereka punya kedudukan di dalam masyarakat. Organisasi-organisasi yang sudah ada dan kegiatan yang sudah jalan tidak dihentikan untuk ikut perintah LEKRA. Dalam hal ini LEKRA merupakan semacam badan koordinasi yang mengembangkan organisasi dan kegiatan yang sudah ada. Lokasi berkumpul juga penting sekali dalam pembangunan LEKRA. Ini bisa berupa kantor atau sanggar. Anggota LEKRA makan, mandi, nginap, nongkrong dan juga berkarya di situ.

Tentu saja daya tarik LEKRA meningkat karena tokoh-tokoh yang boleh dibilang karismatis ikut aktif dalam kegiatan LEKRA. Mereka biasanya sudah punya nama pada tingkat daerah atau nasional, dan seringkali meyakinkan pengikut atau temannya untuk ikut kegiatan-kegiatan LEKRA, atau aktif dalam LEKRA. Di tingkat lokal tampaknya guru-guru SMA seringkali memainkan peranan penting, contohnya Bakri Siregar di Medan pada permulaan tahun 1950-an. Peranan media juga jadi penting dengan memberikan tempat bagi LEKRA dalam kesadaran umum, menyebarluaskan kegiatan LEKRA atau kegiatan yang didukung oleh LEKRA, menemukan orang baru yang berbakat, dan mengembangkan ketrampilan anggota yang sudah ada. Setahu saya LEKRA hanya memiliki satu organ [penerbitan, ed] nasional yang resmi yaitu Zaman Baru. Selain itu tentu saja ada terbitan lokal dan terbitan resmi organisasi lainnya, termasuk buku dan dokumen. Tetapi di samping itu ada juga terbitan yang merupakan bagian jaringan dari LEKRA, bukan organisasi LEKRA secara formal, contohnya rubrik kebudayaan di Harian Rakyat atau Lentera di Bintang Timur. Orang-orang LEKRA juga sering dapat tempat di rubrik kebudayaan koran-koran daerah yang haus pada bahan, misalnya Waspada di Medan.

Organisasi LEKRA berkembang dan bekerja sama dengan organisasi lain, misalnya serikat-serikat buruh dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Semakin besar organisasi-organisasi kiri macam serikat buruh dan organisasi tani di Indonesia, semakin luas pengaruh dan daya tarik LEKRA. Selain itu LEKRA juga membangun organisasi-organisasi baru yang kemudian berkembang sealiran dengan LEKRA, misalnya badan nasional untuk pemain ketoprak, Sarbufis (Sarekat Buruh Film Indonesia). LEKRA juga dapat banyak perhatian dari lembaga-lembaga resmi negara, dan lembaga asing khususnya dari negara-negara sosialis.

Di dalam negeri salah satu akibatnya adalah makin banyak perhatian dari tokoh-tokoh terkemuka, termasuk Presiden Soekarno. Soekarno sering datang ketika ada pameran LEKRA, dan juga pernah datang membuka acara-acara resmi LEKRA seperti konperensi. Seniman dan sanggar LEKRA juga sempat memenangkan kontrak-kontrak seni dari negara seperti patung-patung. Ini membantu perkembangan finansial lembaga-lembaga LEKRA seperti sanggar seni rupa. Pemerintah-pemerintah dan organisasi asing juga ikut membantu LEKRA. Bantuan utama berupa pengiriman rombongan ke negara-negara itu, khususnya ke negara sosialis. Kesempatan untuk melanjutkan sekolah di negara-negara ini juga cukup sering terjadi. Pada waktu itu negara-negara sosialis sedang berjaya. Rusia dua puluh tahun sebelumnya merupakan negara termiskin dan terbelakang, tapi waktu itu sudah menjadi negara adikuasa yang bersaing dengan Amerika Serikat. Tapi saya berpendapat bahwa peran dukungan asing tidak terlalu menentukan. Pengaruhnya hanya pada segelintir orang yang sempat ke luar negeri. Pengaruh dari luar yang paling penting adalah semaraknya gerakan kiri internasional, yang anti-kolonial atau sekaligus komunis. Ini menggairahkan dan memberi bahan dan ilham pada gerakan di Indonesia.

Walaupun gambaran saya ini sangat kasar saya harap sudah mulai memperlihatkan LEKRA sebagai sebuah organisasi massal, yang canggih dan yang sangat luas.

Keberhasilannya sebagai lembaga dibuktikan dengan munculnya organisasi baru yang menirunya pada tahun 1950-an dan permulaan 1960-an, misalnya LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin) dan LESBI dan lain-lain. Pada umumnya cara pembangunan organisasi LEKRA sangat organik, tidak memakai patokan dari luar, tapi mengikuti pola lembaga yang sudah ada seperti sanggar-sanggar. Cara-cara yang dipilih sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Tidak begitu sulitkiranya menjelaskan mengapa LEKRA begitu unik dalam sejarah internasional. Pengaruh dari luar yang paling penting adalah gerakan anti-kolonial. Dan bukan hanya LEKRA yang terpengaruh, tapi juga gerakan nasionalis Indonesia pada umumnya, termasuk presiden Soekarno.

Dalam ceramah pendek ini saya berusaha menguraikan dua hal. Pertama, yang sudah lama menjadi kontroversi, yakni hubungan antara LEKRA dengan komunisme. Kedua, keunikan dan relevansi sejarah LEKRA dalam sejarah nasional dan sejarah dunia. Saya kira sudah jelas bahwa saya tidak bisa menerima gambaran LEKRA sebagai alat PKI, seperti yang ditulis sejarah resmi selama Orde Baru. Pertama karena hubungan antara gerakan komunis dan LEKRA tidak mungkin jalan seperti yang digambarkan selama ini. Kalau kita menerima gambaran LEKRA-PKI seperti ini, artinya LEKRA sebagai onderbouw mutlak dari PKI, maka sulit dimengerti mengapa dalam empat tahun saja LEKRA bisa begitu mapan, bisa berkembang sehingga memainkan peran dalam kampanye pemilu 1955. Bahwa ada orang PKI yang belakangan mau menjadikan LEKRA sebagai onderbouw, itu masalah lain lagi. Kita bisa membahas masalah pe-merah-an organisasi kiri pada pertengahan tahun 1960-an dalam diskusi nanti. Kedua, gambaran LEKRA-PKI itu memang berdasarkan konsep sejarah PKI sendiri yang tidak ilmiah. Pada umumnya PKI digambarkan sebagai fenomena yang asing dan buatan. Padahal tidak mungkin gerakan komunis berkembang begitu pesat di Indonesia kalau cara-caranya tidak pas bagi orang Indonesia dan kalau tidak berakar pada lembaga-lembaga sosial di Indonesia yang sudah mapan atau sudah mulai mapan. Dalam hal ini gambaran LEKRA sendiri sebagai fenomena asing dan buatan, lebih tidak masuk akal lagi. Seperti saya katakan tadi, LEKRA adalah fenomena unik dalam sejarah dunia. Menurut saya, berdasarkan penelitian saya, cukup jelas bahwa LEKRA berkembang karena cara membangunnya sangat organik dan sesuai kondisi lokal.

Kembali ke soal hubungan komunisme dan LEKRA yang menjadi issue panas di Indonesia. Memang masalah itu saya singgung juga dalam riset saya, tapi pendekatan issue itu tidak produktif sebenarnya. Tidak ada issue konkret yang diangkat dan hanya berputar pada salah-benarnya LEKRA, dan tidak menghasilkan penulisan sejarah yang ilmiah. Saya kira lebih bagus kalau kita mulai dengan kesadaran bahwa LEKRA itu unik dalam sejarah nasional dan juga sejarah dunia. Lebih baik kita bertanya mengapa suatu fenomena seperti LEKRA bisa muncul di Indonesia pada tahun 1950-an dan 1960-an, tapi di tidak di lain tempat dan di lain waktu.

Saya sudah cukup lama bicara dan sebaiknya mengakhiri dengan beberapa pertanyaan untuk diskusi. Pertama, selama Orde Baru, rezim Soeharto berusaha menghapus LEKRA dari sejarah nasional. Sejauh mana usaha ini berhasil. Kalau berhasil atau tidak, kenapa? Kedua, dalam ceramah saya sama sekali tidak bicarakan praktek-praktek seniman LEKRA. Apa masih ada pengaruh praktek mereka di zaman sekarang? Apakah masih produktif atau relevan untuk seniman-seniman sekarang? Ketiga, apakah sejarah LEKRA itu masih relevan sebagai sejarah? Apa yang bisa kita ambil dan pelajari dari sejarah LEKRA? Dan yang terakhir, apa yang perlu kita teliti atau bahas lebih lanjut?

Moderator

Terima kasih, Steph. Ganti dia yang mengambil tugas saya… Harusnya saya yang memberikan pertanyaan-pertanyaan itu. Oke, saya persilahkan langsung kalau ada yang mau nyambung…

Reinhard

Saya dari LMND. Saya mau menanggapi statementnya Steph soal LEKRA bukan PKI, tapi hanya ada kesamaan ide di antara keduanya. Menurut saya pandangan itu naif. Saya tidak bisa bayangkan LEKRA akan besar kalau PKI tidak ada. Kalau Steph bicara LEKRA berkembang pesat dalam empat tahun saya juga bisa mengatakan PKI berkembang pesat dalam tujuh tahun dan dia menjadi pemenang pemilu nomer empat tahun 1955. Kenyataan ini bertentangan dengan pembahasan Steph bahwa LEKRA berkembang karena punya hubungan dengan BTI (Barisan Tani Indonesia) atau sektor-sektor lainnya. Artinya kan organisasi kebudayaan berkembang dan diterima di kalangan massa ketika organisasi massa sektoral juga berkembang. Menurut saya ini kontradiktif. Lalu, aku pikir beberapa kawan di sini mengerti soal struktur organisasi, maksudnya tentang bagaimana satu sel dibangun dengan yang lain. Menurutku, hubungan antara PKI dan LEKRA seperti itu. Mungkin benar bahwa tidak semua anggota LEKRA adalah PKI dan juga bukan onderbouw, tapi menempatkan tokoh besar PKI, "brother number two" seperti Nyoto, bukan langkah begitu saja dari Politbiro PKI tapi ada pertimbangan politik bahwa sektor kebudayaan itu penting untuk dikuasai dan dikontrol.

Kebetulan aku lagi membaca apa yang terjadi di masa itu, dan memang ada perdebatan besar antara Nyoto dan Aidit tentang apakah LEKRA harus di-onderbouw-kan atau tidak. Aku pikir saat itu Nyoto saat itu mengatakan LEKRA nggak bisa dijadikan onderbouw atau di-PKI-kan, karena terlalu banyak unsur yang terlalu bebas, dan menurut dia LEKRA juga masih sulit ditentukan saat itu. Artinya ada pertimbangan-pertimbangan politik. Jadi menurut saya yang ada di era itu bukan sesuatu yang terputus, atau tidak dikontrol oleh PKI. Menurut saya LEKRA itu dikontrol. Pengiriman ke Beijing, negara sosialis dan sebagainya terjadi dalam kerangka itu. Mungkin pengakuan Utuy Tatang Sontani terakhir ini juga menarik untuk dibahas. Begitu saja yang ingin aku sampaikan.

Martin Aleida

Saya sengaja memegang tiang ini supaya kuat [tertawa]. Ada satu hal yang saudara Steph tidak singgung dalam pembahasannya. Kalau anda hypothetically mengatakan bahwa LEKRA bukan PKI, saya kira anda bisa merujuk pada Mukkadimah LEKRA. Di situ tidak ada kata-kata sosialis, realisme sosialis dan sebagainya. Tidak ada. Yang ada adalah anti-penindasan, tapi bukan realisme sosialis dan macam-macam itu. Saya kira ini penting sekali dirujuk. Saya LEKRA dan menurut saya LEKRA itu besar karena ketidakjelasan tadi, artinya tidak jelas onderbouw atau bukan. Saya nanti juga minta pendapat dari saudara Oey Hay Djoen. LEKRA itu besar karena adanya konflik di dalam. Misalnya sampai pada satu titik, terjadi tuduhan bahwa penyair LEKRA itu revisionis, karena waktu itu ada arus besar anti-revisionisme. Tetapi ini ditetang oleh orang-orang yang berpikiran lebih luas dan dalam konflik itu juga ada Pemuda Rakyat yang lebih radikal. Orang-orang yang mau membawa LEKRA ke arah lebih radikal itu ada di CC-PKI. Tapi untuk mengatakan bahwa LEKRA ini PKI, menurut saya sulit. Walaupun ada Nyoto yang mendirikan LEKRA, tapi pendiri LEKRA bukan hanya Nyoto. Tolong saudara Oey Hay Djoen mengkritik atau membetulkan saya.

Mungkin yang penting untuk saudara Steph, bangsa ini tidak sadar pada sejarahnya. Dia mengentuti sejarah. Saya kasih contoh pada saudara yang sangat gamblang, guru saya yang namanya Taufiq Ismail. Dia mengeluarkan antologi sastra yang terdiri dari empat kitab: puisi, cerita pendek, drama, novel dan roman. Anda bayangkan, di kitab puisi tidak ada Sitor Situmorang. Anda bayangkan sejarah seperti yang ditulis oleh seorang sarjana. Ya, boleh tidak intelektual, tapi jangan berbohong sejauh itu dong. Di dalam kumpulan cerita pendek, saya ada. Suatu saat Subagyo Sastrowardoyo mengkritik Taufiq Ismail dan mengatakan bahwa sajak-sajaknya paralel dengan sajak penyair LEKRA. Dengan kata lain mau mengatakan bahwa Taufiq itu penjiplak. Kedua-duanya memang hidup pada zaman yang sama. Taufiq hidup dan menulis puisi untuk memuja bangunnya Orde Baru sedangkan AS Dharta dan teman-temannya pada tahun 1950-an. Bagaimana anda bisa mengatakan ada paralelisme? Orang yang dia jiplak itu AS Dharta atau Klara Akustia. Dua nama, satu jasad. Orangnya sama. Kemudian Runturambi. Sastrowardoyo menunjukkan kata demi kata. Inilah orang yang ditiru Taufiq, tapi orang yang dia tiru tidak masuk dalam kumpulan puisi itu. Jadi bayangkanlah apa yang terjadi di sini. Bangsa ini seperti tidak bisa melihat kekayaannya sendiri. Tidak! Selalu ada kandungan politik dan ideologi dalam penulisan sejarah.

Saya mendukung pandangan anda bahwa majunya LEKRA itu karena menggunakan kebijakan yang pas dengan tuntutan masyarakatnya. Saya kira itu yang paling benar, dan berlaku bagi orang yang tidak mengerti LEKRA, seperti penyanyi S. Effendi. Saya sering nyanyikan lagunya di kamar mandi. Dia selalu mengatakan kepada temannya, "saya ini LEKRA." Aneh betul, dan saya kira yang mendorong itu juga media. Misalnya Harian Rakyat. Saya belajar menulis di situ dan tidak ada koran di Indonesia atau mungkin juga di dunia yang menyediakan cerita pendek setiap hari. Jadi Harian Rakyat itu tiap hari ada cerita pendek. Ini luar biasa dan dia memberi kesempatan kepada anak-anak muda seperti saya yang baru enam belas tahun, ya. Kita dapat kesempatan dan ya sudah, terjun masuk LEKRA. Ini semacam underline saya kira. Juga ada faktor guru. Bakri Siregar itu guru saya dan juga berperan. Tapi yang paling penting dari mereka adalah dedikasi untuk membawa pekerjaan budaya mereka sampai ke kampung. Saya tinggal di Sumatera, di Tanjung Balai. Mereka [LEKRA] itu turun ke bawah dan yang dihadapi bukan hanya kemungkinan banjir dan hujan, tapi juga diterkam harimau. Tapi mereka pergi ke sana. Saya ragu apakah ada anak-anak muda, pekerja budaya sekarang yang mau melakukannya. Terima kasih saudara Steph.

Moderator

Saya pikir soal yang diajukan Reinhard tadi perlu dijawab. Silakan kalau ada yang komentar di sekitar issue itu. Saya nanti minta Oom Oey cerita sedikit tentang sebuah konperensi yang bisa menjelaskan ketegangan LEKRA dan PKI, yaitu Konperensi Seni dan Sastra Revolusioner (KSSR). Tapi sebelum itu, kalau ada yang mau komentar, silakan.

Anjar Lukito

Saya dulu aktif di GMNI dan waktu Gestapu masih SD kelas satu atau kelas dua. Jadi saya nggak bisa bayangkan soal hebatnya LEKRA saat itu. Cuma begitu Orde Baru muncul dengan ideologi kapitalisnya, semua tergusur dan yang berbau kiri habis tuntas, secara fisik maupun ideologi. Saya ingin tahu, apakah di dalam AD/ART LEKRA, sekalipun bukan onderbouw komunis, apakah ada menyerempet dengan sosialisme atau Marxisme? Mungkin bukan dengan komunisme atau Leninisme, tapi sosialisme dan Marxisme. Itu yang saya tanyakan karena saya tidak mengalami zaman itu. Yang saya tahu begitu Orde Baru muncul semua digusur habis. Terima kasih, bung.

Moderator

Kalau belum ada yang lain, silakan dijawab dulu Steph.

Steph

Ini mungkin bisa menjelaskan persoalan Reinhard. LEKRA tidak bisa besar tanpa PKI, itu sudah jelas. Dua organisasi itu bertemu di atas satu gelombang, yakni pertumbuhan gerakan kiri pada umumnya. Tapi tidak berarti bahwa LEKRA itu onderbouw-nya PKI. Terus terang saya sebenarnya tidak terlalu peduli, karena yang saya mau tahu itu bagaimana LEKRA bekerja dalam kenyataan, bagaimana dia bisa berkembang. Salah satu argumen utama saya tadi, yang saya mau sampaikan sebenarnya, bahwa masalah onderbouw itu issue yang tidak produktif. Yang perlu kita lihat adalah keunikan dan kebesaran LEKRA, bagaimana mereka bisa sampai ke situ? Kalau masalah anggaran dasar dan mukadimah saya kurang tahu. Mungkin yang menyusun bisa bicara. Tapi kesan saya dari sekian banyak dokumentasi LEKRA, semuanya memang berbau kiri umum…

Moderator

Kalau begitu ada yang "kiri khusus" juga, ya… [tertawa]

Steph

Tapi juga mesti ditegaskan bahwa kebanyakan anggota LEKRA anggaran dasar dan sebagainya itu nggak penting. Kita bicara manusia, dan LEKRA yang datang itulah yang penting. Begitulah…

Moderator

Bagaimana Reinhard, masih penasaran? Baik, kita sambung yang lain dulu. Yang jelas apa yang dibilang Reinhard itu menjadi posisi ketiga di samping dua posisi yang diuraikan Steph sebelumnya. Posisi pertama mengatakan LEKRA adalah onderbouw PKI dan itu berarti jelek. Posisi kedua, LEKRA bukan onderbouw PKI. Reinhard menurut saya ingin mengatakan LEKRA memang onderbouw PKI dan itu baik saja. Oke, ada yang lain?

Lawasa

Saya senang pertemuan ini membahas sejarah, tapi alangkah baiknya kalau sejarah ini bisa kita kupas lebih luas lagi. Kita lihat ada PKI dan LEKRA di satu sisi dan negara Indonesia di sisi lain dengan pengaruh kapitalismenya. Saya pikir ada kapitalisme raksasa yang tidak suka pada Bung Karno saat itu dan mencari metode menjatuhkannya. Mungkin mereka pakai PKI atau yang lain. Kebetulan yang dipilih sebagai tokoh di depan adalah Soeharto. Mungkin juga karena kapitalisme raksasa itu bermusuhan dengan komunis, maka ada amanat bagi Soeharto, bantai komunis! Komunis pun dibantai dan orang-orang yang bergandeng tangan atau bekerjasama dengan komunis ikut dibantai. Jadi perlu kita jelaskan posisi PKI, posisi LEKRA, posisi Soeharto dan posisi negara kapitalis dunia yang membuat rekayasa sejarah seperti itu. Ada pertanyaan untuk Steph, apakah sejarah ini perlu kita luruskan? Tentu perlu sekali, karena manusia yang tidak tahu sejarahnya adalah manusia yang tidak tahu dirinya, tidak tahu tujuan hidupnya atau tidak tahu cara mencapai tujuan hidupnya. Jadi mari kita tepuk tangan untuk Steph yang membantu kita mengungkap sejarah. Sekian dan terima kasih [tepuk tangan].

Moderator

Bagaimana yang lain. Ada yang terpancing?

Revi

Saya dari Jaker. Saya sepakat dengan apa yang dikatakan Reinhard tadi bahwa LEKRA ini besar tidak lepas dari kebesaran PKI, ya. Beberapa buku bahkan mengklaim bahwa mereka mencapai lima belas ribu anggota. Kalau kita logika dari sebuah partai seperti PKI, tentunya mereka ingin mengembangkan medan pertempuran di bidang kebudayaan. Nyoto dan beberapa kawan lain di LEKRA ingin memenangkan garis politiknya. Meskipun dalam AD/ART tidak disebutkan soal realisme sosialis sebagai garis kebudayaannya, tapi dalam tulisan Pram dan yang lain disebutkan bahwa garis kebudayaan mereka adalah realisme sosialis, politik adalah panglima. Dan itu sudah menunjukkan bahwa mereka minimal bergandengan tangan dengan PKI dalam politik. Sebenarnya tidak perlu malu-malu mengatakan bahwa LEKRA dengan dengan PKI atau lebih jauh, karena kalau dilihat ideologi dan tahapan pertempuran di bidang kebudayaan, LEKRA itu bagian dari PKI. Mungkin banyak seniman yang tertarik itu karena ada pengorganisasian dari partai politik. PKI memasukkan kader-kadernya yang memiliki kemampuan seni budaya untuk masuk ke LEKRA, sehingga LEKRA membesar terus.

Kedua, pertanyaan Steph tadi seberapa jauh Orde Baru bisa menghancurkan LEKRA. Saya pikir secara organisasional LEKRA memang sudah dihancur-leburkan oleh Orde Baru. Tetapi tadi dikatakan bahwa semangat berkarya seperti LEKRA itu sudah mati. Saya pikir itu salah sama sekali. Itu berarti kita menafikkan gerakan-gerakan kebudayaan yang ada saat ini. Contohnya, yang bergaris kerakyatan atau sosialis-marxis itu bukan sesuatu yang tabu lagi bagi kawan-kawan di Taring Padi, atau di Gerbong Bawah Tanah di Bandung, atau di Jaker juga. Jadi aku pikir kalau dibilang Soeharto benar-benar sukses menghancurkan LEKRA, memang benar dari segi organisasi. Tapi dalam semangat dan garis kebudayaannya kain hari sebenarnya kebudayaan yang berpihak pada rakyat semakin besar juga. Mungkin kawan-kawan yang sudah tua saja yang tidak mengikuti perkembangan yang muda-muda.

Terakhir saya ingin melontarkan sebuah pertanyaan. Dulu ketika ada nekolim, LEKRA bergerak. Sekarang neoliberalisme di depan mata. Kalau memang LEKRA tidak hanya bernostalgia, maka saatnya sekarang untuk berkarya kembali dan menunjukkan eksistensinya kembali. Oke, terima kasih. Itu saja.

Hendrik

Saya dari Depok. Saya ingin Steph lebih detil menjelaskan hubungan antara LEKRA dengan penguasa politik saat itu. Karena inilah yang menjadi bahan black propaganda dari kaum Manikebu yang mengatakan banyak sekali terorisme politik terhadap aliran humanisme universal. Alasannya karena LEKRA dekat dengan Soekarno. Mereka selalu bilang diserang. Menurut Pram itu hanya polemik kebudayaan, tapi menurut Manikebu Pram bisa ngomong begitu karena di belakangnya ada Soekarno. Saya ingin Steph lebih detil menjelaskan hubungan kekuasaan politik saat itu dengan polemik kebudayaan yang terjadi, sehingga black propaganda itu bisa lebih jelas.

Kedua, saya ingin tahu pengaruh dari realisme sosialis dalam tubuh LEKRA sendiri. Nah, ini pertanyaan penting karena kalau kita menyamakan LEKRA dengan realisme sosialis, belum tentu juga karena mungkin saja pengetahuan tentang realisme sosialis itu hanya ada di beberapa pemimpin LEKRA saja, tidak mungkin tersebar merata di seluruh anggota LEKRA.

Steph

Pertama, masalah hubungan LEKRA dengan penguasa pada masa itu. Saya kira jelas sekali bahwa ada penindasan terhadap orang kanan, orang Manikebu, juga ada terhadap orang kiri. Kalau Mochtar Lubis ditahan akhir tahun 1950-an, Pram ditahan awal tahun 1960-an. Aktivis LEKRA juga dihajar, khususnya di daerah. Jadi memang ada situasi pergulatan kekuasaan waktu itu. Kalau masalah realisme sosialis, ini hanya kesan riset saya yang terfokus pada tahun 1950-an. Saya menganggap tahun 1950-an lebih penting dari tahun 1960-an. Kalau permulaan 1960-an, LEKRA adalah organisasi kebudayaan yang mapan, pertanyaan saya adalah bagaimana dia bisa mapan? Kesan saya, memang ada diskusi tentang realisme sosialis tapi satu-satunya orang yang menulis cukup panjang lebar adalah Pram, padahal Pram bukan pengurus LEKRA. Dia bukan seperti sekjen LEKRA, Joebaar Ajoeb, yang benar-benar organisator. Dia memang tokoh LEKRA tapi bukan orang organisasi LEKRA yang menulis. Dengan begini saya mau tunjukkan bahwa realisme sosial memang didiskusikan, tapi sampai 1965 tidak menjadi hal pokok bagi LEKRA.

Fay

Masih ada beberapa soal yang menggantung walau Steph sudah menegaskan hubungan PKI dan LEKRA. Saya mau minta Oom Oey bicara, khususnya mengenai dua peristiwa penting untuk menjelaskan hubungan PKI dan LEKRA dalam kenyataan, bukan berdasarkan AD/ART. Peristiwa pertama, pembentukan dan jalannya Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat atau PAPFIAS. Kedua, Konperensi Seni Sastra Revolusioner atau KSSR. Kedua hal ini saya pikir bisa membuat pengertian kita lebih lengkap tentang hubungan partai dan lembaga itu. Hubungan yang konkret bukan berdasarkan AD/ART atau kedekatan ideologi semata seperti yang dipahami selama ini. Silakan, Oom Oey.

Oey Hay Djoen

Saya anggota Sekretariat Pusat LEKRA, dan juga anggota pengurus pusat. Sekjennya adalah Bung Joebaar Ajoeb dan wakil sekjennya Henk Ngantung. Wakil sekjen lain adalah Sudharnoto, dan saya adalah satu dari sebelas anggota sekretariat pusat. Jadi strukturnya bukan ketua, tapi sekretariat dengan seorang sekjen dan dua wakil sekjen. Itu hal pertama yang ingin saya sampaikan. Kedua, soal kelahiran LEKRA. Teman-teman jangan menganggap bahwa LEKRA lahir dari PKI. Pada awalnya dilempar gagasan untuk melahirkan sebuah organisasi kerja kebudayaan. Idenya bukan hanya dari Njoto, Aidit dan sebagainya. ada MS Ashar dari Merdeka di sana, ada AS Dharta dan sebagainya. Tidak semuanya orang komunis. Tapi yang lebih penting, sebelum LEKRA itu berdiri sudah ada banyak organisasi kebudayaan, yaitu kelompok-kelompok yang berakar di masyarakat seperti kelompok ludruk, ketoprak, pesinden, lalu ada Pelukis Rakjat dan sebagainya. Itu semua sudah ada. Jadi bukan LEKRA yang membentuk semua itu. LEKRA justru besar karena organisasi-organisasi itu sudah ada. Seperti juga PKI dan SBKA. Sebelum PKI lahir, SBKA sudah ada lebih dulu. Jadi serikat buruhlah yang memutuskan bahwa mereka butuh partai untuk merebut kekuasaan dari tangan penjajah, dan seterusnya.

Soal ketiga, LEKRA sampai dibubarkan sudah beberapa kali mencoba meregistrasi anggotanya. Di LEKRA itu tidak ada keanggotaan, tidak ada orang yang memegang kartu anggota karena memang anggotanya itu di basis-basis kesenian tadi. Di Pelukis Rakjat itu ada rombongan pelukis, di Ludruk Marhaen begitu juga. Mereka bangga menyebut diri anggota LEKRA, padahal tidak ada itu keanggotaan. Mereka tidak pegang kartu. Nah, kita coba melakukan registrasi tapi tidak pernah berhasil. Di LEKRA juga orang tidak bayar iuran, jadi ikatan organisasi apa yang ada? Benar seperti dikatakan Steph, sebetulnya LEKRA itu lebih banyak mengkoordinasi, memberi dan menawarkan hal-hal baru kepada organisasi-organisasi yang sudah ada itu, dan menghubungkannya satu sama lain. LEKRA itu lebih banyak seperti jaringan jadinya. Maka itu tidak kami namakan sebagai organisasi. Kami adalah gerakan kebudayaan. LEKRA itu gerakan kebudayaan.

Keempat, tadi ada teman mengatakan LEKRA itu besar karena PKI. Kemudian Steph salah lidah mengatakan PKI itu onderbouw-nya LEKRA [tertawa]. Jangan diketawain ini, sebab PKI ketika pemilihan umum 1955 mendadak sontak menjadi urutan keempat. Habis organisasi dan partai lain yang mengatakan dirinya intelektual dan sebagainya, seperti PSI. Waktu itu disikat bersih dalam pemilihan umum. PKI menang, dan tahu anda apa sebabnya? Kalau anda ingat, ada orang-orang tua yang tahu persis kalau kampanye pemilihan umum tidak ada satu partai pun yang mengadakan kesenian di atas panggung untuk memberi warna kultural. Nah, setiap kali PKI mengadakan kampanye mereka bekerja menghias dan menjadikan kampanye itu sebagai pesta rakyat. Seperti yang misalnya dicoba oleh Golkar sekarang, merekrut seniman Jakarta, ada tari, dangdut dan segala macam. Nah, yang bergerak di sana waktu itu adalah seniman-seniman yang di bawah itu. Ya ada ketoprak, ludruk, Pelukis Rakjat dan sebagainya. Mereka membuat kampanye itu menjadi pesta rakyat. Mereka datang dengan reog dan dengan pisang dan sebagainya. Panggungnya dibikin oleh teman-teman pelukis. Orang Manikebu sudah mulai sadar waktu pemilu, "kok dengan kebudayaan bisa meraih simpati rakyat begitu banyak?" Maka jangan heran kalau sasaran pertamanya mengatakan bahwa kegiatan itu bukan kebudayaan, tapi gerakan politik untuk agitasi. Mereka bilang LEKRA itu vulgar, propaganda. Manikebu dimulai dari sana, dan memang ada perebutan medan dalam lapangan kebudayaan. Memang LEKRA yang pertama melaksanakan penyatuan politik dan kebudayaan. Bahwa dengan kebudayaan bisa merebut kekuasaan karena kerjanya merombak pikiran orang, mencapai pemihakan orang dan sebagainya.

Mengenai hubungan PKI dan LEKRA. Saya ini anggota PKI. Di ludruk misalnya kita punya anaknya Durasim. Siapa Durasim itu? Teman-teman kan tahu, itu datuknya ludruk yang dibunuh Jepang. Dia memang orang kiri. Anaknya bernama Bowo dan ada lagi beberapa orang yang habitatnya memang di ludruk. Jadi tidak ada itu Njoto misalnya datang ke kelompok ludruk lantas bilang pemain ludruk harus masuk LEKRA, masuk PKI. Tidak ada, dan tidak akan jalan itu. Yang terjadi, memang ada kader-kader yang berdekatan dengan kami itu digarap, sehingga mereka bisa meneruskan pesan-pesan ke dalam gerakan ludruk itu. Jadi menyebarluas karena memang itu habitat mereka. Dengan begitu perkembangan bisa organik, bukan anorganik. Hal sama berlaku di bidang-bidang lain.

Begitulah… nah, apakah anda mau mengatakan bahwa LEKRA yang membesarkan Rivai Apin, Pramoedya, membesarkan tokoh-tokoh seperti Affandi, Soedjojono dan sebagainya? Ya, nggak bisa! Nggak ada ceritanya. Mereka sudah harimau ketika LEKRA baru dibentuk dan menonjol sendiri-sendiri. Maka itu LEKRA tidak pernah berani bilang kepada Pram harus begini-begitu, kamu harus menulis seperti ini… nggak pernah! Kita bisa dibuang oleh dia. Jadi kami besar karena orang seperti Pram ternyata bergabung ke LEKRA, karena orang seperti Rivai bergabung ke LEKRA. Soedjojono misalnya tahun 1945 sudah komunis, tapi akhirnya dipecat dari LEKRA. Jadi tidak ada problem, karena kitamemang mengembangkan apa yang hidup di kalangan seniman, bukan kita yang mendikte begini-begitu. Memang karya yang abstrak dikritik… tapi hidupnya memang dari mereka sendiri. LEKRA ini tugasnya menyimpulkan dan menawarkan kembali kepada mereka. Apakah ini yang kalian inginkan? Apakah ini yang kalian perlukan? Seperti Pramoedya dan sebagainya hanya begitu saja. Utuy juga menemukan sesuatu karena bergaul dengan orang-orang LEKRA.

Kembali soal hubungan PKI dan LEKRA. Memang betul, kalau mau dilihat konkret, omong kosong segala AD/ART itu. Itu kan bisa dibikin saja, seperti… ya, segala macamlah. Tapi memang dalam kenyataan tidak ada hubungan organisatoris antara PKI dan LEKRA. Bahwa ada orang-orang komunis di dalam LEKRA itu benar, seperti saya ini. Tapi jangan kira apa yang dikatakan PKI itu sepenuhnya diterima. Tidak! Buktinya sejak tahun 1964 saya dipanggil berkali-kali dengan beberapa teman lainnya. Kami dipanggil untuk mendengar apa maunya PKI. Pada waktu itu garisnya memerahkan semua barisan. Di wanita ada, pemuda, pelajar, pokoknya semua dimerahkan begitulah. Himpunan Sarjana Indonesia (HIS) juga minta dimerahkan, kami semua juga disuruh jadi merah. Kalau saya diminta begitu, ya logis saja. Tapi yang lain? Nah, pemerahan ini dilakukan lewat kongres-kongres. Lewat kongres keputusan diubah sesuai mereka yang memproyeksikan. Kami di LEKRA menolak. Saya juga menolak, karena tidak bisa misalnya seorang Pram diperintah menjadi merah. Begitu juga yang lain, nggak bisa. Lalu apa yang dilakukan? Nah, inilah cara PKI. Misalnya Gerwani disuruh jadi merah, tapi juga tidak berhasil. Akhirnya dibentuk organisasi lain, Wanita Komunis.

LEKRA nggak mau nurut. Menurut pandangan kami tidak bisa diperbudak dengan cara seperti itu. Di kebudayaan tidak akan bisa dengan cara seperti itu. Mau pakai instruksi segala, nggak bisa. Jadi mereka bikin sendiri. Saya juga hadir dalam KSSR dan akhirnya itu menjadi organisasi sendiri. Tadi Fay mengatakan supaya saya menggambarkan soal ketegangan dalam hubungan itu. Maksudnya mungkin apakah ada perbedaan atau tidak di antara dua organisasi. Itu ada, dan kalau nggak berhasil mereka akan bisa sendiri organisasinya, dan hasilnya sudah bisa kita bayangkan. Masa seniman itu disuruh apel kebudayaan. Begitu dicanangkan, banyak seniman yang tidak mau datang. Itu terjadi.

Memang yang menjadi motivasi atau penggeraknya sama, anti-imperialisme dan sebagainya. Gerakan pertama LEKRA itu sebetulnya perdamaian dunia dengan simbol burung merpati yang dibuat Picasso itu. Itu sebetulnya dimulai tahun 1950-an. Kesamaan PKI dan LEKRA, kami menyatakan bahwa Revolusi Agustus itu gagal. Itu sama, karena orientasi kami revolusi itu untuk rakyat. Nah, kalau dibilang politik sebagai panglima, maksudnya bukan politik seperti yang dimengerti sekarang. Politik bagi kami adalah usaha yang berpihak pada rakyat, memenangkan rakyat, mengabdi pada rakyat. Apakah itu terlaksana atau tidak, masalah belakangan. Tentang realisme sosialis, itu yang menonjolkan adalah Pram. Tapi Pram tidak menentukan apa realisme sosialis itu sebenarnya. Meniru Maxim Gorki itu teori realisme sosialis. Teman-teman mesti membayangkan ya, realisme sosialis itu mungkin di bidang sastra, mungkin juga di bidang seni rupa. Tapi bagaimana kita mesti menangkap realisme sosialis di bidang musik. Bisa dibayangkan tidak? Kalau berlaku universal artinya bisa diuji dari segala macam sudut. Sekian, terima kasih.

Bowo

Mungkin yang harus dilihat Bung Oey di sini adalah pandangan awal, yakni perlawanan terhadap kapitalisme. Ini yang menjadi dasar sehingga diputuskan untuk memunculkan organisasi di segala sektor. Dengan organisasi inilah kekuatan besar kapitalisme mau dilawan oleh rakyat. Ide besarnya yang sangat luar biasa, ya… memunculkan organisasi di segala sektor, sektor buruh, sektor tani sampai ke sektor kebudayaan. Nah, dalam konteks kesenian muncul realisme sosial, atau seni untuk rakyat. Inilah yang menggerakkan seniman-seniman yang watak dasarnya eksistensialis dan nggak mau diatur, menjadi orang yang melahirkan karya luar biasa bagi kemanusiaan. Itu yang penting dan relevan dengan point Bung Steph tentang kemunculan organisasi kebudayaan sekarang ini.

Kita ingat ketika Pram belum bergabung dengan LEKRA sangat luar biasa perbedaan ideologis dan segi politik dari karya sebelumnya. Dia kemudian muncul sangat mengabdi pada manusia yang tertindas. Juga Widji Thukul, sebelum berkenalan dengan mahasiswa itu bisa dilihat puisinya sekitar 1986 sampai ke atas. Perbedaannya sangat tinggi. Soal perbedaan PKI dan LEKRA, menurut saya yang penting bagaimana semua sektor ini bersatu padu untuk menyerang kekuatan besar kapitalisme. Saya pikir itulah yang perlu digarisbawahi dalam perdebatan ini ke depan. Terima kasih.

Pitono

Saya dari Koperasi Satu Mei. Saya sebenarnya mengharapkan penjelasan lebih lengkap baik dari Steph maupun Oom Oey, khususnya menyangkut kerja LEKRA. Yang saya tahu potensi-potensi yang ada dalam individu seniman kemudian oleh LEKRA diubah menjadi sebuah gerakan. Jadi yang dilakukan LEKRA adalah mengubah potensi individu menjadi pergerakan. Nah, saya ingin tahu metode kerjanya, yakni metode turba. Saya mau tanya relevansinya dengan sekarang. Terima kasih.

Fay

Soal hubungan LEKRA dan PKI, walau masih banyak yang mengharapkan penjelasan, saya pikir sudah ada point-point yang cukup jelas. Bahwa ada hubungan lebih dinamis, jadi bukan tinggal terima instruksi kemudian berkarya sesuai kehendak partai, tapi di sisi lain juga tidak sama sekali lepas atau semau-maunya sendiri. Mungkin ada kawan-kawan JAKER yang bisa ceritakan hubungan konkretnya dengan misalnya Partai Rakyat Demokratik (PRD), seperti apa? Maksudnya biar kita juga tidak abstrak-abstrak saja, tapi punya gambaran nyata sekarang ini seperti apa hubungannya.

Kedua, soal ideologi dalam karya atau ideologi dalam berkesenian. Saya pikir ini masalah yang tadi juga disinggung dan berkaitan dengan masalah hubungan partai dan lembaga kebudayaan. Kita bisa periksa apakah memang ada garis Moskow atau Peking yang diturunkan menjadi realisme sosialis, diterjemahkan dengan baik oleh Politbiro, turun ke CC (central comite), kemudian ke cabang dan akhirnya sampai di basis LEKRA. Apakah ada kenyataan seperti itu dan apakah itu mungkin sekarang? Dan apa gunanya seandainya bisa benar-benar terjadi? Martin pernah menyinggung ini dan saya mau minta dia menyinggung soal itu lagi. Artinya soal instruksi kebudayaan dan penjabarannya di bawah.

Soal ketiga yang kita teruskan adalah tafsir terhadap masa lalu. Ini juga cukup serius. Di satu sisi Steph menguraikan pemahaman Orde Baru tentang sejarah. Dalam paham ini LEKRA adalah organisasi mantel PKI. Itu istilah resmi yang mereka pakai. Di sisi lain ada yang bilang bahwa LEKRA tidak di bawah PKI. Tapi yang bilang "tidak" ini punya dua tujuan. Tujuan pertama untuk bilang bahwa memang dalam kenyataannya tidak ada hubungan seperti itu, dan tujuan kedua untuk mengatakan bahwa LEKRA bukan PKI dan karena itu LEKRA tidak pantas dihancurkan dan orang-orangnya tidak pantas dibunuh. Nah, ada juga posisi ketiga, yaitu teman-teman yang melihatnya sebagai onderbouw dan menganggap itu positif.

Jadi ada tiga soal. Siapa yang mau komentar lebih lanjut sebelum Steph menjawab atau menanggapi soal metode turba itu.

Heru Atmojo

Sebenarnya saya ingin memakai kesempatan ini untuk bicara tentang rumusan terakhir dari Fay tentang mantel itu. Mungkin saya memberi latar belakang supaya gampang dihubungkan. Tahun 1960 saya belajar di Amerika soal intelijen angkatan udara. Kalau sekarang bicara gerakan revolusioner, saya justru belajar itu dari Amerika tahun 1960. Sebaliknya saya punya latar belakang tahun 1945, ikut dalam revolusi 10 November 1945 di Surabaya. Saya ingin membenarkan apa yang dikemukakan Pak Hay Djoen, bahwa waktu tahun 1945 itu saya nggak kenal PKI. Saya kenal gerakan pemuda seperti Pesindo, IPPI dan sebagainya, tapi PKI waktu itu nggak tampil. Dalam revolusi 1945 itu justru pemuda yang tampil ke depan, tanpa partai dan tiada penonjolan partai saat itu, tapi berhasil. Dalam revolusi Surabaya itu Inggris kehilangan besar dalam sejarahnya dan jendralnya mati di sana oleh pemuda. Selanjutnya kita lihat ada hubungan semangat rakyat dan perlawanannya.

Tahun 1950 kita kembali lagi ke kota dan gerakan revolusioner itu mengkonsolidasi sendiri, terutama seperti yang tadi disinggung oleh Pak Hay Djoen. Saya tidak terlibat langsung, tapi saya kenal ludruk, reog dan memang mereka aktif dalam kampanye tahun 1955. Benar, PKI yang tadinya nggak dikenal menjadi menonjol di situ. Kebudayaan ini membawa pengaruh besar bukan hanya di kota, tapi sampai ke desa-desa.

Sekarang saya ingin mengemukakan dari sudut pandang orang lain di sana (Amerika). Dari teori anti-komunisme yang saya pelajari dan kemudian saya tahu ada yang disebut economic base, political culture dan sebagainya. Itu menjadi pelajaran di intelijen. Mereka mengatakan itu communist theory. Sebenarnya itu hasil konklusi orang Amerika yang bergerak di intelijen, terutama di CIA. Mereka melihatnya black and white. Jadi bukan melihat di sini apakah itu PKI atau orang NU misalnya, tapi melihatnya apakah mereka anti-kapitalis atau anti-imperialis. Jadi dibuatlah satu grand strategy di Amerika. Saya menemukan hal ini tahun 1960. Lima tahun kemudian baru dilaksanakan utuh, dalam pertententangan free world dan komunisme. Free world ini jagonya Amerika dan komunisme waktu itu Uni Soviet. Sebenarnya yang dihantam lebih dulu bukan Uni Soviet atau RRC, tapi dalam target pertama adalah Soekarno di Indonesia. Soekarno ini di atasnya Castro sebagai target intelijen. Baru yang lainnya seperti Nasser dan sebagainya. Tiap hari ada catatan, dengan siapa Bung Karno makan pagi, bicara dengan siapa… semuanya tercatat.

Tanggal 19 Desember 1960 saya ada di Amerika waktu Bung Karno memproklamirkan Trikora. Dia pidato di Yogya dan persis waktu yang sama saya sudah terima naskah. Di luar Angkatan Bersenjata tidak ada yang menjalankan fax seperti seperti ini. Tapi dalam intelijen itu sudah bisa. Yang terutama saya kemukakan di sini adalah grand strategy anti-komunisme di Indonesia. Tadi dikatakan apakah kita berpikir ada ilusi untuk menghindari identifikasi LEKRA dengan PKI agar tidak ditangkap. Itu non-sense. Sekalipun GMNI atau golongan lain pasti dihancurkan. Seperti Soekarno. Dia bukan orang komunis, tapi dianggap lebih berbahaya. Tahun 1960 sebenarnya tinggal Mao Tse Tung. Tapi dengan bantuan orang Indonesia sendiri, akhirnya masuk nama seperti Pramoedya Ananta Toer. Nama Bung Hay Djoen juga ada di sana. Jadi jangan berilusi akan bebas dalam gerakan ini. Mereka melakukan counter. Di politik ada PKI, maka ada PSI, Masyumi dan sebagainya. Dalam kebudayaan juga begitu, ada LEKRA maka dibuat Manikebu-nya. Saya tahu keluarga Cak Durasim, Bowo dan sebagainya. Mereka membela rakyat, merasakan penderitaan orang. Seperti saya sendiri juga tidak tahu kenapa dimasukkan dalam Dewan Revolusi, tapi record saya di Amerika selalu melawan seperti halnya orang-orang ludruk yang anti-imperialis, anti-kolonialis dan terang-terangan saya pengikut Soekarno. Akhirnya saya digulung limabelas tahun. Dalam kesempatan ini saya ingin sampaikan, buanglah ilusi. Realistis saja, kita ada di pihak rakyat atau penindas rakyat. Soal nama itu, apalah artinya. Apakah itu PKI atau siapa. Baiklah, mudah-mudahan ada gunanya dan ada pertanyaan yang bisa saya jawab dengan keterangan tadi. Terima kasih.

Martin Aleida

Sebenarnya saya ingin mendengar alasan mengapa Soedjojoono dipecat. Ah, anggaplah ini intermezzo saja. Saya pernah bicara tentang kemungkinannya dipecat dari partai komunis. Dia katakan, "tidak apa-apa, karena partai tidak akan pernah menjadi tua, tapi Rose Pandanwangi akan menjadi tua. Karena itu saya pilih dia." Jadi dia pun dipecat.

Menurut saya saudara Fay, adalah naif untuk mengatakan bahwa LEKRA bukan onderbouw PKI dengan harapan itu tidak pantas dibantai. Saya kira itu naif. Anda tahu tidak, pembantu rumah tangga pun ada yang sampai ke Pulau Buru. Yang anda hadapi ini bukanlah lawan-lawan politik yang manusiawi. Dia betul-betul tiran. Kita tidak bisa mengatakan LEKRA itu bukan PKI lagi. Saya ditangkap dengan seorang pembantu, dan dia ikut. Tragisnya lagi pembantu itu dikirim ke Salemba, saya tidak. Saya ditahan hanya satu tahun. Anda bayangkan itulah keganjilan-keganjilan yang muncul. Yang ada hadapi adalah tiran dalam bentuk yang paling buruk. Limabelas tahun orang ditahan padahal tidak ada salahnya.

Ada hal lain yang berbahaya menurut saya sekarang ini dan muncul juga dalam gelanggang kita, yakni personifikasi LEKRA dengan Pram. Saya kira itu berbahaya dan bisa menyesatkan. Secara organisatoris Pram adalah wakil ketua Lembaga Sastra LEKRA. Ketuanya adalah Bakri Siregar. Dia ini anarkis, orang yang secara terbuka mengkritik PKI. Dia mengatakan tempat berdirinya PKI itu adalah serikat buruh, dan serikat buruh itu eksklusif untuk orang Belanda. Jadi, bagaimana mungkin PKI mengklaim dirinya, padahal cikal-bakalnya organisasi ekslusif Belanda. Ini dikritik oleh Pram tapi oleh jagoan-jagoan di PKI dianggap angin lalu, anarkis dan didiamkan. Jadi saya mendukung Bung Hay Djoen tadi soal realisme dan juga soal Pram. Lebih jauh, yang ditulis Pram di lembaran budaya Bintang Timur tidak mencerminkan garis LEKRA. Kadang-kadang dia anarkis di sana. Tapi kalau ditendang, LEKRA akan kehilangan. Jadi mempersonifikasi Pram sekarang adalah nyata sekali. Pram menurut saya masuk LEKRA itu agak keliru karena hasil-hasil kesusastraannya sangat bombastis, begitu juga Utuy.

Ada komentar lain soal LEKRA sebagai gerakan kebudayaan. LEKRA melontarkan kehidupan tradisi yang baik dicampur dengan kekinian revolusioner. Dia memberikan garis kebudayaan dan menuntun arah. Apakah sekarang ini diperlukan? Menurut saya tidak, sebab rezim Orde Baru jatuh bukan karena organisasi, tapi dia jatuh seperti ketiadaan. Arief Budiman mengatakan gerakan mahasiswa tidak akan berhasil karena tidak didukung oleh tentara. Itu salah besar. Justru orang tidak bisa menjelaskan siapa yang menjatuhkan Soeharto, tapi yang jelas pahlawannya adalah anak-anak muda, mahasiswa dan terutama situasi politik internasional. Kalau misalnya ada organisasi politik yang memimpin gerakan-gerakan yang sekarang, saya kira itu berbahaya sekali. Gampang sekali digulung dan korbannya bisa jauh lebih dahsyat dari 1965. Mungkin biarlah bunga-bunga muncul di mana-mana. Jadi yang mencari itu juga agak repot jadinya. Terima kasih.

Fay

Untuk yang terakhir banyak yang nggak setuju itu, saya yakin. Baik…

Dedi

Saya dari KRB (Kelompok Rakyat Biasa). Saya menyambung pertanyaan kawan Pitono tentang konsep turba. Bagaimana LEKRA bisa sampai ke konsep turba iut. Bagaimana LEKRA sendiri menerjemahkan gerakan bagi mereka sendiri, padahal saat itu memang sudah ada orang di bawah. Pertanyaannya itu saja, terima kasih.

Fay

Soal turba ini agak mendesak, tapi ada yang mau tanya juga boleh…

Reinhard

Saya mau kritik Bung Martin. Menurut saya rezim Orde Baru belum tumbang justru karena belum ada organisasi yang solid. Apalagi kita lihat kemarin BBM naik, kita masih menjadi pelayan modal asing. Itu saja komentar saya.

Revi

Saya mau klarifikasi saja. Ada dua hal. Saya mau memberikan komparasi antara LEKRA dengan JAKER, lalu PKI dan PRD. Kedua, sebuah pertanyaan yaitu apakah gerakan kebudayaan ini dapat memimpin revolusi?

Pertama saya coba melihat kondisi sosial-politik yang obyektif saat LEKRA lahir, membesar kemudian mati. Kemudian kondisi ketika JAKER lahir, kemudian membesar – meskipun masih kecil sekali. Saat LEKRA tumbuh, saat itu dunia dalam kondisi Perang Dingin. Ketika berbenturan ideologi antara kapitalisme dan sosialisme. Ketika kapitalisme membuat sebuah ring, mengelilingi dunia dan terputus di sekitar Indonesia, maka Soekarno menjadi sebuah target. Itu sangat masuk akal. Di Indonesia, PKI sudah berumur puluhan tahun, dan kita ketahui LEKRA adalah anak emasnya Soekarno dan sangat dekat dengan PKI. Jadi sangat membantu LEKRA membesar dan juga menuju pencapaian yang tinggi. Maksudnya tinggi politik, tinggi estetik, tinggi ideologi atau teknik. Seperti itulah. Sebelum Orde Baru ideologi sosialisme sangat berkembang luas.

Sekarang mengenai JAKER. Kita ada dalam kondisi yang sangat berbeda. Dia lahir dari tekanan represif Orde Baru dan hanya ada beberapa gelintir nama besar saja, seperti Moelyono, Thukul dan Semsar. Kemudian saat ini bukan Perang Dingin tapi kemenangan mutlak dari kapitalis dunia. Kemudian bentuk organisasi JAKER juga independen. Justru PRD itu dibentuk oleh JAKER. Di AD/ART memang tidak direkayasa, dan kami tidak ada hubungan secara organisasional degnan PRD. Tapi seperti Oom Oey yang anggota PKI, saya juga anggota PRD. Ketika seorang seniman memiliki kesadaran politik dan tahu hak-hak politiknya, maka dia akan berpartai. Dan di sini saya nyatakan saya juga anggota PRD. Mungkin pekerja seni budaya yang lain tidak perlu lagi mencurigai bahwa kami adalah kendaraan PRD untuk kepentingan partai, tapi benar-benar independen. Bahkan dalam beberapa hal kami bertentangan, ketika JAKER misalnya mengusulkan konsep-konsep kebudayaan rakyat pada partai. Yang berpihak pada rakyat yang mana, tapi itu hak kawan-kawan sekalian.

JAKER sekarang perkembangannya sangat susah. Lain sekali dengan LEKRA saat itu. JAKER masuk ke kantong-kantong budaya, dan pertama kali yang dilihat, "wah, ini PRD". Jadi sudah defensif sejak awal. Itu yang membuat JAKER hanya bergerak di tujuh propinsi, di tujuh kota dan tidak terlalu besar. Saya pikir kawan-kawan tidak perlu mencurigai kami. Kami lebih membuka diri, bahkan pemikiran dan kelompok mana pun asal dia berpihak pada rakyat. Kami tidak membentuk keanggotaan di JAKER, tapi kerjasama mengangkat issue dan mengangkatnya bersama-sama. Jadi tidak perlu dicurigai. Jadi ketika platform itu bisa diterima, maka mari saling kerjasama, tapi setelah tidak ada kesamaan, mari bertempur mempertahankan garis. Intinya, justru kami membuka diri. Oke, itu yang pertama.

Kedua, kalau kita bicara tentang LEKRA, maka mari bicara tentang gerakan kebudayaan itu sendiri. Kalau memang gerakan kebudayaan ingin independen, kuat dan signifikan, maka dia perlu punya perspektif untuk mempertahankan garis kebudayaannya. Kondisi sudah jelas sekarang. Rakyat sudah tertindas semua, harga BBM naik, listrik naik dan segala macam. Rakyat tetap miskin tapi perlawanan tidak meningkat. Gerakan sementara itu sudah mirip amoeba, saling membelah dan kemudian mengecil dan gerakan pun semakin kecil dan akhirnya mati. Di sinilah medan pertempuran ini meski kita perjuangkan bersama, tidak ada sektarian di sini. Nah, apakah kebudayaan dapat memimpin revolusi. Itu pertanyaan saya kepada setiap kawan di sini. Seperti puisi Pablo Neruda atau Wiji Thukul. Apakah karya mereka hasil dari revolusi atau bisa menghasilkan revolusi juga di depan. Gerakan kebudayaan seperti apa yang harus kita bangun bersama? Jadi ini pertanyaan, dan tesis bahwa kebudayaan dapat memimpin revolusi dan membawa perubahan signifikan. Terima kasih.

Fay

Terima kasih Revi untuk tesis-tesis dan company profile-nya [tertawa]. Saya lihat Reinhard tadi mau menyambut… tapi orangnya itu-itu saja yang bicara. Jadi sebelum sampai ke dia silakan rebut kesempatan.

Dian

Terima kasih. Motivasi saya berbicara sederhana saja. Dari tadi kok hanya laki-laki saja yang mau ngomong. Saya ini orang yang awam tentang LEKRA dan juga kesenian. Tapi satu hal yang menarik bahwa LEKRA berhasil dari segi pendidikan politik bagi rakyat melalui kesenian. Ini sulit dilakukan selama masa Orde Baru dengan adanya penindasan terhadap kesenian. Orde Baru mendominasi mulai dari infrastruktur sampai ke content pertunjukan, mulai dari bioskop 21 sampai pertunjukan televisi, radio. Semuanya disisipi pesan-pesan pemerintah. Banyak teman-teman JAKER melalui teater rakyat juga ingin memberdayakan rakyat dengan pendidikan penyadaran, tapi tidak mengindoktrinasi. Saya melihat rakyat masih menyukai bentuk tradisional seperti ketoprak, ludruk dan sebagainya. Apakah bagi teman-teman muda ini tertarik untuk belajar? Kalau mau membangun kesadaran politik saat ini kita perlu juga memikirkan bahwa teknologi sangat berperan. Terima kasih.

Reinhard

Aku dengar tadi bahwa Bung Steph mau bicara soal perkembangan LEKRA, dan ini belum dijelaskan lebih detil. Padahal itu yang penting sekarang kalau kita mau mengerti misalnya hubungan LEKRA dan PKI, SOBSI, dunia internasional, bisa kita lihat seperti apa hubungannya. Bagaimana dia bisa besar, itu yang belum dipaparkan dengan rinci sehingga kita bisa melihat realitasnya lebih mendalam.

Nah, aku ingin menanggapi statement Bung Martin soal "biarkan bunga-bunga bertebaran" tadi. Tapi Bung, bunga-bunga itu juga akan bisa layu kalau tidak dikumpulkan, tidak disatukan. Mungkin Bung Martin kurang lama di LEKRA sehingga tidak memahami realitas apa, filsafatnya dan segala macam. Orang kalau sekadar ingin melawan rezim aku pikir percuma. Justru pelajaran yang kita dapat ratusan bangsa ini muncul selalu dikalahkan bangsa-bangsa kecil karena apa? Karena bodoh berorganisasi. Orde Baru bisa mencengkeram kita karena tidak ada organisasi.

Ketiga, yang harus dibicarakan adalah soal turba karena ini perdebatan cukup panjang di kelompok Marxis sendiri. Sebenarnya seperti apa hubungan antara partai dengan lembaga kebudayaan? Dalam realisme sosialis masih ada satu perdebatan. Saya pernah bertanya pada Pram soal ini. Dia bilang itu tepat tapi pada waktu yang salah. Nah, turba dan realisme sosialis itu adalah konsep-konsep yang belum selesai, suatu pemaksaan terhadap komunitas kebudayaan yang realitasnya berbeda dengan realitas dalam partai. Itu saja, terima kasih.

Suryadi

Saya dari komunitas Koperasi Satu Mei. Saya tertarik mendengar pernyataan Revolusi Agustus belum itu gagal. Soekarno sendiri menyatakan revolusi belum selesai, dan akhirnya mengakui kalau dia gagal. Aku pikir ini ada kaitannya dengan pertanyaan Revi apakah gerakan kebudayaan mampu merebut kekuasaan. Apa yang sebenarnya dilakukan LEKRA saat itu, kenapa dia juga gagal? Bagaimana konsep turba itu dijalankan oleh LEKRA sehingga akhirnya seperti itu? Terima kasih.

Fay

Saya pikir cukup jelas dari pesan yang terakhir. Diskusi tentang partai dan lembaga ditutup, dan sekarang saya minta salah satu menceritakan soal turba. Apa konsepnya, bagaimana kegiatan itu berlangsung secara konkret. Kalau ada yang bisa bantu soal itu saya persilakan. Bercerita tentang apa sebetulnya turba itu.

Oey Hay Djoen

Turba itu sebenarnya menjadi salah satu metode LEKRA. Kita dulu punya lima kombinasi dan satu metode. Metode itu ada gerakan ke bawah. Sebenarnya ini dalam rangka mewujudkan apa yang disebut garis massa, yaitu belajar mendengar dan menimba dari kehidupan rakyat. Gerakan ke bawah itu dalam prakteknya berarti sejumlah seniman, pelukis dan sebagainya turun ke basis masyarakat. Misalnya teman-teman Pelukis Rakjat seperti Amrus Natalsja, pergi ke kampung nelayan atau ke perkampungan buruh pelabuhan, hidup dan tinggal bersama. Di samping waktu senggang mereka bekerja sama. Jadi turun ke bawah itu menimba pengalaman konkret yang ada di bawah. Apa saja yang disuarakan di bawah ini ditarik ke atas, dan mereka wujudkan dalam pesan, dalam sajak, cerpen dan sebagainya. Misalnya sajak Agam yang dahsyat [Matinya Seorang Petani]. Dia memang di sana, hidup dan tinggal di sana waktu itu. Ketika dia mengatakan petani tergelepar, memang dia lihat dan menyaksikannya.

Tapi masalah turun ke bawah itu kadang juga diromantisir. Misalnya gerakan 1001. Itu apa? Pokoknya kalau kita mengalami kesulitan ekonomi, kita bisa ambil apa saja lalu mengisinya dalam tanah. Tumbuh sayuran dan segala macam. Memang ada yang berbuah dan semua melakukan itu. Tapi menjawab persoalan zaman kan nggak cukup begitu saja. Tapi di sisi lain ada cerita seperti ini. Di Jawa Timur ada seorang pengarang, Hadi namanya. Dia memimpin LEKRA di Jawa Timur, dan yang namanya partai mencoba mendikte dia. Kamu harus ini, harus itu dan dia langsung bereaksi. Dalam peristiwa 1965 dia digorok bersama istrinya. Orangnya memang pemberani. Dia berani mengkritik CC-PKI dengan tertulis. Nah di Jawa Timur diperlakukan seperti itu. Setelah berperang dia teriak ke komite partai tingkat propinsi, "kalian kerbau-kerbau semuanya!" Karena mereka mau memberi instruksi pada Hadi ini. Hal-hal seperti ini tidak jarang terjadi. Saya misalnya pernah menerima sajak-sajak dari para penggede, pimpinan partai. Pernah saya terima sajak dari Sudisman, dikirimkan pada saya dengan pesan sederhana, "tolong dikritik". Kita ngerti apa maksudnya, ini lewat Sudisman. Artinya orang mengirim sajak ke komisaris partai lantas yang bersangkutan kasih cap, lalu dikirim ke Harian Rakyat diterima oleh orang seperti Amarzan yang pegang ruang kebudayaan. Hal-hal ini terjadi.

Jadi sebenarnya turba itu hanya untuk melaksanakan garis massa. Yang dicari justru denyut jantungnya rakyat di bawah, ya buruh, petani dan nelayan. Mereka mencoba menangkap. Tapi bagaimanapun, ini tetap terbatas. Mereka paling lama 2-3 bulan di sana. Bagaimana bisa menangkap seluruh kehidupan rakyat itu? Itu mustahil terjadi, tapi paling tidak membantu mendorong makin tajamnya pemihakan mereka kepada rakyat. Itu saja agar mereka menjalankan garis massa. Ada juga cerita-cerita menarik. Misalnya ada seorang teman yang kerja di bidang film. Dia asyik sekali bergerombol dengan yang lain. Lalu kita mulai bertanya-tanya. Akhirnya ketahuan bahwa dia seringkali main judi dengan artis-artis. Lalu kita tanya, kok begini jadinya. Dia bilang, saya ini menjalankan garis massa [tertawa]. Dia bilang, artis-artis itu senangnya main judi sambil kumpul dan ngobrol ngalor-ngidul. Dia sendiri juga suka main judi. Jadi itu pun dipakai. Apa yang bisa kita laksanakan, ya kita laksanakan. Hasilnya bisa konkret seperti dilakukan pelukis Tarmizi yang bisu-tuli itu. Kalau dia turun ke bawah itu memang intens, sehingga lukisannya terutama tentang nelayan itu luar biasa.

Saya kira itu cukup jelas. Turba untuk menangkap denyut jantung rakyat di masing-masing sektor. Kita sekarang ini sudah terlalu jauh dari rakyat, terlalu sering ribut di elite. Itu yang kita pikirkan, tapi tidak pernah kita pikirkan bahwa kaum tani sudah berani merebut tanah yang tadinya dirampas oleh Orde Baru. Bahwa kaum buruh sudah berani aksi masa soal UU Tenaga Kerja. Lha, di mana JAKER? Anda ingat ketika JAKER mengadakan kongres kebudayaan? Satu hari berdiskusi, satu hari berdangdut-ria. JAKER lalu tanya ke Bung Pram, "kebudayaan nasional itu mestinya bagaimana? Apakah puncak-puncak kebudayaan daerah atau bagaimana?" Jawaban Bung Pram sederhana, "Lho, saudara kok menanyakan pada saya? Ya saudara cari sendiri." Kalau kita tanya kebudayaan nasional itu apa, maka maksudnya kebudayaan yang bisa mengerahkan sebanyak mungkin rakyat Indonesia. Nah, akhirnya konperensi kebudayaan itu gagal. Masa masalah kebudayaan mau dibicarakan dalam dua hari. Itu tidak realistis. Itu saja saya kira.

Fay

Sebetulnya lebih bagus kalau waktu itu dibuat dangdut raya, bukan dangdut ria. Baik, sebelum berakhir saya beri kesempatan kepada Steph untuk komentar balik mengenai beberapa point.

Steph

Saya hanya mau mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang mau mengemukakan pendapat selama ini. Maksud saya di sini bukan memecahkan semua masalah sejarah LEKRA tapi mengajak orang menggali lebih dalam lagi. Dalam proses itu saya kira penting sekali kalau kita tidak hanya berputar-putar di sekitar masalah yagn selama ini menjadi obsesi, seperti hubungan LEKRA dan PKI. Itu saja, terima kasih sekali lagi.

Fay

Seperti biasa, saya ambil satu-dua menit untuk merangkum apa-apa yang kita bicarakan tadi. Kita mulai sebetulnya dengan uraian Steph tentang salah paham terhadap LEKRA dalam penulisan sejarah. Diskusi kita kemudian bergerak keluar-masuk dalam salah paham itu. Pesan terpenting melihat begitu meriahnya perdebatan mengenai hubungan PKI dan LEKRA, bahwa kita harus kreatif membaca sejarah. Bukan hanya agar lebih cerdas membaca tapi agar punya imajinasi di masa sekarang, tentang bagaimana mengembangkan kebudayaan di masa sekarang. Karena itu kita tidak bisa terpaku pada AD/ART, dokumen-dokumen tapi coba melihat lebih jelas keadaan konkret dan bagaimana gerakan kebudayaan itu dalam kenyataan. Bukan hanya berdasarkan statementnya, tapi secara nyata. Itu yang pertama.

Kedua, ada beberapa point yang disinggung tapi sayangnya tidak diteruskan. Mungkin bisa menjadi agenda buat teman-teman yang lain, entah studi atau diskusi tentang itu. Soal ideologi dan berkarya atau realisme sosialis. Saya pikir tadinya ini mau dibahas lebih mendalam, ternyata tidak. Ada beberapa pertanyaan penting dalam wilayah ini, seperti apa realisme sosialis itu sebenarnya, apakah memang ada rumusan baku yang sudah bisa "diterjemahkan" ke dalam karya-karya tertentu, dan apa sikap kita terhadap upaya semacam itu. Soal kapitalisme dan seni saya pikir juga luar biasa penting. Misalnya tentang karya-karya yang dibuat oleh seniman LEKRA dan kaitannya dengan kapitalisme. Apakah memang ada unsur-unsur perlawanan di situ. Dan kalau ada, apakah kita bisa pelajari untuk mengembangkannya sekarang ini?

Lalu terakhir sekaligus untuk menutup diskusi tentang hubungan LEKRA dan PKI. Saya hanya ingin melengkapi kutipan dari Martin tadi, yang seharusnya "biarkan seribu bunga berkembang, tumbuh dan mekar bersama". Jadi mekar bersama itulah idenya. Kebersamaan itu yang menjadi kunci dalam kutipan itu, dan semoga saja diskusi ini bisa menyumbang pada kebersamaan kita ke depan. Sekian dan terima kasih.