PEMBANTAIAN 1965

diskusibulanpurnama. [Dbp.]

13 September 2000

PEMBANTAIAN 1965
Moderator: Hilmar Farid

Materi: Film "Indonesia’s Killing Field" (SBS Australia)

Moderator

Baik, saya akan membuka diskusinya dan saya lihat sudah cukup aman dan tertib – walau pun nggak ada Kopkamtib. Nah, diskusi ini agak beda dari biasanya karena biasanya kita ada satu atau dua pembicara setelah itu kita bisa memberikan komentar atau semacam tanya jawab. Kali ini tidak ada pembicaranya. Ada dua alasan sebetulnya. Pertama, sulit mencari orang yang bisa mengulas ini secara komprehensif, artinya menyeluruh. Dan alasan kedua yang sebetulnya berkaitan dengan yang pertama, bahwa tiap orang yang ada di sini juga punya pengetahuan dan pengalamannya masing-masing. Dan kita pikir akan jauh lebih berharga kalau semuanya berbicara, artinya memberikan apa yang mereka tahu agar bisa memperkaya pengetahuan masing-masing yang ada sekarang.

Saya akan membuka dengan semacam pengantar. Mungkin angkatan yang lebih muda belum pernah dengar tentang peristiwa pembunuhan massal yang biasa disebut "pembunuhan massal '1965". Sebetulnya pembunuhan itu tidak berhenti tahun 1965, tapi terus berlanjut sampai tahun 1968, dan 1973 juga di Purwodadi masih terjadi. Jadi, satu rangkaian yang sangat panjang. Diduga korban yang jatuh dalam rangkaian peristiwa itu antara 78 ribu - itu angka yang disebutkan fact finding commission yang anggotanya antara lain Oei Tjoe Tat (almarhum) - sampai 3 juta orang. Angka terakhir adalah pengakuan dari Jenderal Sarwo Edhie (almarhum). Soal angka ini memang menjadi perdebatan besar, tapi dalam diskusi ini kita ingin mengajak bergerak melampaui angka-angka. Karena ada semacam prinsip bahwa satu orang pun sudah terlalu banyak kalau menyangkut pembunuhan karena alasan-alasan politik, alasan keyakinan dan seterusnya.

Nah, ada pertanyaan mendasar yang saya pikir hidup di kita semua, yaitu mengapa peristiwa yang begitu besar bisa seperti hilang dari ingatan kolektif kita? Mungkin masing-masing orang pernah mendengar mungkin juga melihat. Tetapi, secara publik peristiwa ini seperti hilang. Tidak bisa kita temukan misalnya kisah-kisah yang merujuk kepada pengalaman itu. Nah, ini menjadi suatu pertanyaan besar mengapa itu bisa terjadi? Belakangan ini ada beberapa tulisan yang muncul, satu buku dan satu disertasi. Satu buku ditulis oleh Hermawan Sulistyo, dengan judul Palu Arit Di Ladang Tebu, yang sebenarnya juga disertasi pada universitas di Amerika. Terus ada disertasi dari Iwan Gardono Sujatmiko, yang juga membahas pembunuhan itu dengan membuat perbandingan Jawa Timur dan Bali. Di luar negeri beberapa tulisan sudah, sebetulnya dari tahun 60-an, mencoba mengulas dan berusaha memahami, kenapa pembunuhan yang begitu masif itu mungkin terjadi.

Sebetulnya kalau mau melihat tulisan-tulisan yang muncul, keterangan yang diberikan ini masih sangat terbatas. Kalau mau main-main angka atau persentase, boleh dibilang hanya 5-10% yang kita tahu tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Bahkan sampai sekarang masih ada orang bilang pembunuhan itu hanya terjadi di Jawa dan Bali. Saya sendiri tahu bahwa itu terjadi di Flores dan masing-masing di sini tahu bahwa pembunuhan itu terjadi juga di tempat-tempat lain. Nah, cerita-cerita tentang itu bisa kita sumbangkan dalam forum ini, dan saya yakin juga masih banyak sekali cerita lain yang akan muncul dari sini. Cerita tentang kejahatan Nazi dalam Perang Dunia kedua sampai hari ini masih beredar. Sekarang pun bukti-bukti baru tentang pembunuhan massal di sini mulai bermunculan, ada banyak sekali keterangan baru, cerita dan pengalaman yang selama ini dipendam atau lebih tepatnya ditindas.

Batas-batas lain yang ingin saya tawarkan dalam diskusi ini, kita tidak mendiskusikan peristiwa penculikan para Jenderal tanggal 30 September. Alasannya sederhana, karena sudah banyak keterangan mengenai kejadian itu dan bisa dibaca di tempat-tempat lain. Saya justru mengajak berbicara khusus tentang pembunuhan yang terjadi sesudah peristiwa itu. Tapi, ini hanya tawaran yang terbuka untuk dikomentari.

Catatan lain yang saya ingin sampaikan untuk membuka diskusi ini berangkat dari film ini sendiri. Ada beberapa keterangan menarik dari para pelaku yang mengatakan bahwa pembunuhan itu memang massal dan terorganisir. Artinya ini melawan anggapan bahwa yang terjadi saat itu semacam amuk massa yang tidak terkontrol atau tidak terkendali. Saya pikir menarik menggarisbawahi pernyataan Pak Hasjim, paman dari Abdurrachman Wahid, bahwa memang sudah dipersiapkan sebelum peristiwa itu terjadi. Banser sengaja dibentuk untuk menghadapi Pemuda Rakyat dan dilatih oleh militer. Bahkan untuk itu, dia bilang "kita pakai referensi Mein Kampf-nya Hitler." Ini keterangan-keterangan menarik saya pikir untuk didiskusikan lebih lanjut.

Di film itu ada adegan wawancara dengan seseorang di Bali yang bekerja di perkebunan, dan dia diminta oleh perusahaan untuk membersihkan perkebunan itu dari PKI. Siapa yang menjadi PKI? Ya, perkebunan yang tahu, tinggal kasih daftarnya nanti orang ini yang mengerjakan dan ia mengaku membunuh sekurangnya 25 orang. Jadi pembunuhan massal itu ternyata lebih dari sekadar reaksi spontan seperti yang selama ini diceritakan dalam buku resmi, tapi sangat terkait dengan masalah-masalah lain seperti tanah, masalah keadilan di pabrik dan seterusnya. Itu yang sangat mempengaruhi perkembangan atau peristiwa pembunuhan itu.

Catatan terakhir menyangkut istilah "kudeta". G-30-S/PKI resminya adalah sebuah kudeta. Sementara kalau melihat keterangan Jenderal Mursyid dan Kemal Idris, kudeta itu terjadi setelah peristiwa G-30-S itu atau sering disebut "kudeta kedua" yang dilakukan oleh Soeharto.

Inilah beberapa point yang saya lontarkan. Memang tugas yang aneh menjadi moderator tetapi tidak ada pembicaranya. Jadi saya minta bantuan teman-teman untuk memberikan komentar atau pendapat, pandangan. Mungkin selama 30 menit ke depan kita bisa saling melontarkan pandangan. Nanti saya coba antu dengan membuat rumusan setelah itu beberapa point akan kita diskusikan lebih mendalam. Itu tawaran dari saya, dan saya persilakan sekarang kalau langsung ada yang mau bicara.

Norman Sopan
Assalaamualaikum warahmatullah wabarakatuh. Pertama saya menaruh hormat kepada generasi terdahulu, yang menyaksikan secara langsung. Karena saya ini generasi baru. Jadi yang saya lihat di film ini tadi, saya melihat dari sisi apa dulu? Kalau dari sisi HAM ya jelas melanggar. Saya melihat ini film tidak ada bedanya dengan negara-negara lain. Karena pada waktu itu ada dua kekuatan besar, ideologi komunis dan ideologi liberal. Ini yang kita lihat rebutan terhadap negara-negara berkembang.

Pada waktu G-30-S/PKI itu kalau nggak salah saya masih SD kelas satu, kelas dua. Ingat sekali saya setiap rumah disuruh gali lubang. Saya nggak tahu untuk apa. Nah ini, ini masa lalu. Kalau saya melihat, betapa gobloknya bangsa-bangsa negara berkembang. Pada waktu itu negara RRC dan Uni Soviet yang ideologi komunisnya begitu hebat melawan kelompok Eropa dan Amerika. Ini dua kekuatan besar yang merebut bangsa-bangsa yang terjajah. Kalau kita lihat, kita ini jadi kelinci percobaan, jadi boneka. Menurut referensi yang saya baca katanya kalau Indonesia bisa ditaklukkan komunisnya maka minimal Asia Pasifik akan komunis semua. Maka berlomba-lombalah Amerika, mungkin support duit, sponsor apa dan segala macam. Mungkin saya salah persepsi. Terima kasih.

Peserta

Saya seorang bekas guru di Jawa Timur, guru Sekolah Teknik Menengah. Mungkin kalau kita bicara tentang pengalaman atau korban orang bosan mendengarkan. Tapi kalau generasi muda menghendaki supaya diungkap secara gamblang apa yang terjadi, maka kewajiban kami orang-orang tua ini untuk menyampaikan kepada mereka, bahwa inilah pengalaman kami pada saat-saat menjelang '65 itu.

Kalau dilihat dari jumlah korban memang Jawa Timur paling banyak dan terutama terjadi di antara para guru. Guru-guru SD yang di desa-desa itu hampir semuanya terbunuh. Dan ini merupakan satu kenyataan, sebab pada umumnya guru-guru di desa ini adalah pembawa pikiran baru, pembawa pikiran modern di desanya, sehingga bertentangan dengan tradisi yang ada di dalam desa itu sendiri. Oleh karena itu pada saat terjadinya peristiwa itu orang yang merasa diganggu oleh pikiran-pikiran maju para guru itu lalu bangkit pikirannya untuk mengadakan pembunuhan. Dan ini terjadi sedemikian rupa, sehingga para guru paling banyak terbunuh di Jawa Timur, terutama guru-guru SD sampai kepada guru-guru SMP, guru-guru Sekolah Teknik. Kami adalah salah seorang pengurus Persatuan Guru Teknik di Jawa Timur. Waktu itu memang rekan-rekan kami guru-guru teknik banyak yang terbunuh juga di Magetan, di Blitar, mereka itu begitu dibunuh dimasukan ke sumur, atau diluweng sehingga keluarganya tidak tahu kemana anaknya atau suaminya itu pergi.

Jelas bahwa generasi muda harus tahu tentang itu. Karena anak-anak saya sendiri misalnya, menganggap bahwa saya atau kami, sesuai dengan indoktrinasi dari sekolah waktu itu, adalah musuh-musuh mereka. Ini suatu kenyataan. Banyak kawan-kawan yang pulang dari penjara dikucilkan oleh keluarganya. Dan ini banyak sekali sehingga mereka menganggap kedatangan para tahanan dari penjara akan menambah beban keluarga itu sendiri.

Pertentangan yang terjadi pada waktu itu adalah pertentangan antara kami orang-orang tua jangan sampai sekarang ini berimbas kepada generasi muda kita. Oleh karena itu, kami menyerukan adanya rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini tentu saja musti berdasarkan pikiran Presiden Soekarno waktu itu, bahwa harus dihimpun kekuatan revolusi untuk memenangkan revolusi. Jadi [kalau] rekonsiliasi yang secara vulgar diterapkan tentu saja akan merupakan rekonsiliasi yang tidak menguntungkan bagi revolusi itu sendiri atau reformasi total yang diinginkan oleh mahasiswa kita.

Hario Kecik
Saya ini tentara dulu, saya bukan dari KNIL, dan bukan dari PETA, dan bukan dari Heiho, tapi saya masuk tentara ini karena mahasiswa yang ingin berontak. Jadi, jiwa berontak ini saya bawa di dalam perjuangan. Sebetulnya nggak tinggi ideologi saya, cuma ingin nembaki londo, gitu aja.

Terus saya jadi panglima, di situ saya ingat dengan keadaan masyarakat yang kongkret. Di situ saya belajar adanya partai-partai yang kerja di tengah-tengah rakyat, dan ada problem-problem yang kebanyakan - karena negara kita ini agraria - mengenai tanah. Tanah, nah ini yang penting.

Jadi waktu saya panglima, itu sebetulnya sekolah untuk saya. Karena saya memikirkan perkara bagaimana rakyat ini? Di situ, orang harus dikombinasikan dengan tanah. Itu diinterpretasi oleh orang-orang atasan itu, yang nggak senang tentu saja, sebagai pikiran kiri. Memang itu pikiran kiri, kalau pikiran kanan, ndak bisa begitu. Rakyat harus dieksploitasi di dalam perusahaan-perusahaan, di dalam perkebunan-perkebunan. Tapi saya mempunyai ide rakyat ini harus transmigrasi, harus mempunyai tanah sendiri, harus produksi.

Ini sudah betentangan dengan perusahaan minyak yang ada di daerah saya itu. Ya, ngerti sendiri perusahaan minyak dalam rangka kapitalisme itu apa? Jadi, setelah melihat ini dan sebelumnya melihat ini, yang kita cari itu causality, hubungannya, itu. Di mana? Yaitu di tanah, masalah tanah, dan masalah kekuatan yang dipakai kaum kapitalis itu untuk menjalankan niatnya yang umum untuk dijalankan di negara-negara berkembang itu. Apa itu? Tentara pada saat itu.

Jadi film ini hanya menunjukkan highlight dari perjuangan rakyat yang pada saat itu kalah, dibunuh, jutaan dibunuh. Tapi perjuangannya tetap. Ini kaum muda harus mengerti. Ndak perlu kita jelaskan, mereka ngerti sendiri.

Moderator
Terima kasih Pak Haryo, saya sebetulnya mau stop. Tapi pembukaannya dia bilang, "Saya ini tentara", jadi saya segan juga nyetopnya. Ini dari tadi anak muda dibilang harus begini-begitu. Saya mau nyambung sedikit karena sudah ada tiga orang yang bilang anak muda harus begini, harus begitu. Jadi mau kasih kesempatan anak muda dululah untuk mengemukakan pikirannya. Silakan.

Martin Aleida
Pada salah seorang teman saudara Fay, saya pernah bertanya, apakah yang diskusi ini ditranskrip atau tidak? Atau dibiarkan saja sebagai rekaman? Sebab saya kira ini kesempatan yang baik untuk memulai kebiasaan untuk menulis. Misalnya banyak hal yang buat saya sendiri baru, misalnya mengenai peristiwa Madiun. Pram mengatakan bahwa itu adalah upaya untuk membiarkan Jawa Barat diambil oleh Belanda. Tapi ini kan tidak pernah tertulis. Tidak ada yang tulis. Dan saksi-saksi sejarah, kecuali Putu Oka, tidak pernah ada yang menulis. Tidak ada. Hanya satu dua yang menulis dari peristiwa yang begitu dahsyat.

Dan saya kira juga forum kita ini kurang terbuka. Saya pernah mengusulkan supaya Hermawan Sulistyo diajak bicara. Sebab saya kira, dia adalah seorang sarjana sejarah - saya kira sejarah politik - yang pertama dan paling luas membuat satu studi mengenai pembunuhan yang terkonsentrasi di Kediri dan Jombang. Saya kira dia orang pertama yang sebagai seorang sarjana begitu jujur. Saya kira kalau difilmkan hasil wawancara dia, tidak kalah dahsyat daripada yang dikerjakan rekan-rekan kita dari Australia.

Saudara Alex dari kelompok kita ini apriori bahwa Hermawan Sulistyo pada kesimpulannya tidak mau mengatakan bahwa G-30-S itu adalah grand strategy Angkatan Darat. Tapi jangan begitu, dong. Sebab kalau kita lihat kesimpulan tulisan saudara Hermawan Sulistyo, dia dengan jelas mengatakan bahwa tentara itu kasarannya membiarkan atau mendorong orang untuk membunuh. Saya kira ini sudah satu sikap yang sangat maju sebagai seorang sarjana sejarah politik.

Saya ingin tekankan bahwa siapa yang mengalami peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah kita mau ditulis, dan saya kira kewajiban saudara Fay, tentu sebagai seorang sejarawan, menulis dengan komprehensif.

Ilham Aidit
Film itu sangat berhubungan secara emosional dengan saya. Waktu umur saya 6 tahun, saya baru mulai bisa membaca beberapa kata menjadi kalimat terpanjang. Saya baca di dinding besar dengan tulisan dari cat merah, "Bubarkan PKI, gantung Aidit, Subandrio anjing Peking." Saya pikir kenapa begitu banyak yang ingin menggantung ayah saya? Saat itu saya sadar, sejak umur 6 tahun, hidup saya akan sulit. Sejak itu saya selalu berpikir sebetulnya apa yang terjadi saat itu? Dan betulkah ayah saya bersalah?

Ini sekedar sharing saja bagaimana rasanya menjadi seorang anak komunis, anak PKI. Waktu saya SD, saya hanya tahu bahwa ayah saya pemberontak. Dan sulit buat saya untuk mengatasi masalah itu, karena kata "memberontak" punya konotasi sangat buruk. Dan saya tidak cukup tahu bagaimana harus mengatasi itu.

Ketika saya SMP, saya termasuk anak yang sering berkelahi. Karena dibilang "anak Aidit". Hampir tiap hari saya berkelahi hanya karena orang bilang anak PKI. Kemudian waktu kelas 3 SMP saya ingat sekali ada seorang anak memanggil saya "anak PKI". Saat itu saya tiba-tiba merasa tidak harus berurusan fisik dengan dia. Saya betul-betul ingin tanya, "Apa yang kamu ketahui tentang PKI?" Dia jawab waktu itu, masih ingat sekali, "PKI itu orang dengan dengan topi caping dan selalu punya palu dan arit di bajunya. Palu untuk membenturkan kepala orang dan arit untuk melibas leher orang." Biasanya saya tonjok orang itu langsung, perkara saya kalah itu urusan belakangan. Tapi saat itu sedih, sedih sekali, karena saya pikir orang seusia saya seperti dia - namanya Rono - saya masih ingat sekali, banyak sekali dan semua berpikir seperti itu. Saat itu saya merasa bahwa hidup saya akan semakin sulit. Paling tidak, tidak semudah orang lainlah, kira-kira begitu.

Waktu itu saya menangis. Umur saya 15 tahun dan itu menangis yang kedua kali setelah saya ditinggal orang tua saya. Itu menangis pertama kali agak serius. Guru sejarah saya waktu melihat kejadian itu bilang, "Kamu kembali ke tempat duduk kamu dan nanti setelah selesai sekolah kamu ketemu saya." Setelah selesai sekolah saya ketemu beliau dan dia bilang cuma satu, "Kalau energi kamu, tenaga kamu, semua pikiran kamu habis untuk melayani seperti itu , kau pasti sering tidak naik kelas, bahkan kamu sering keluar sekolah. Jadi lebih baik kamu tidak pikir tentang itu, kamu konsentrasi penuh pada pelajaran kamu, dan kamu harus naik kelas tiap tahunnya." Dan itu cukup melegakan saya, jadi selama SMA saya pegang kata-kata guru itu, dan sangat membantu.

Ini saya sharing saja, sedikit perjalanan hidup saya supaya mungkin Anda bisa tahu bagaimana rasanya sebagai seorang anak yang dibilang "anak PKI". SMA saya lewati sedikit lebih mudah, karena hanya kata-kata dari guru SMP saya yang mengatakan, "Jangan buang energi kamu untuk melayani ocehan semacam itu." Nah, waktu SMA pikiran yang sangat mengganggu saya itu sebetulnya hanya dua, "Apakah ayah saya memang bersalah? Apakah ayah saya memang seorang penjahat? Atau kedua, apa sebetulnya yang waktu itu terjadi?" Karena versi yang ada cuma satu. Dan saya sudah hafal sekali versi itu. Ketika SMA saya sudah mendapatkan beberapa versi lain, tapi sangat sepotong-sepotong.

Ketika saya mahasiswa, saya kebetulan agak dekat dengan Brouwer, dan saya banyak diskusi soal peristiwa yang lalu untuk saya ketahui. Dan Brouwer tanya, "Kenapa kamu ingin tahu?" Saya bilang, "Saya sangat perlu tahu siapa ayah saya. Apakah dia seorang penjahat, ataukah dia seorang yang baik, apakah dia seorang yang dikhianati, dicurangi dan sebagainya, buat saya penting." Kedua, saya ingin tahu persis sebetulnya apa yang terjadi waktu itu? Dan beberapa data sudah saya dapat sedikit demi sedikit. Kemudian ada sedikit pengalaman juga ketika saya satu hari, karena saya sering mendaki gunung dan melakukan operasi SAR. Saya berkumpul dengan teman-teman dan ada seorang pendaki gunung lewat dengan caping dan golok di pinggangnya. Kemudian satu orang nyeletuk, "PKI pisan eh". Saat itu saya kaget karena saya melihat sampai seumur itu pun, sebaya saya pun, berpikir bahwa PKI seperti itu.

Kemudian saya panggil dia dan saya bilang, "Kenapa Anda bilang itu seperti PKI?" Dia cerita banyak tentang apa yang dia tahu tentang PKI, tentang komunis dan sebagainya. Dan itu mengejutkan buat saya karena saya anggap itu adalah pikiran umum orang sebaya mereka. Dia cerita bahwa syarat menjadi anggota PKI adalah mampu dan tega untuk membantai kepala, tangan dan sebagainya. Itu adalah hal mengejutkan buat saya, karena ternyata frame itu sudah sangat kuat di benak banyak orang sebaya saya. Saya sekedar ingin sharing kepada teman-teman, bagaimana korban itu, dan saya termasuk orang yang beruntung, karena akhirnya saya mendapatkan pendidikan yang baik, dan orang-orang berani memelihara saya, mengasuh saya.

Tapi sebenarnya saya ingin katakan korban itu bukan hanya mereka yang menjadi korban. Tetapi orang-orang yang tidak menjadi korban seperti anak dan cucunya juga sebetulnya melewati hidupnya dengan sangat sulit. Saya termasuk yang sangat beruntung, akhirnya saya bisa survive seperti sekarang. Tapi saya bisa bayangkan mereka-mereka yang tiba-tiba orang tuanya hilang, tanahnya diambil oleh pihak militer, kemudian hilang segala-galanya.

Sebetulnya yang saya harapkan waktu saya diundang oleh kawan saya untuk hadir di sini, kita berdiskusi soal bagaimana kita bisa mencegah ini supaya tidak terulang lagi. Karena cukup sering kita katakan bahwa hal ini tidak harus terulang lagi, tetapi akhirnya dengan mudah dan sangat mudah itu bisa terulang seperti yang kemarin-kemarin ini. Jadi lucunya kita seperti sangat sadar bahwa ini tidak boleh terulang, tetapi dengan sangat mudah terulang. Itu sebenarnya agak mengerikan karena ternyata - mungkin saya terlalu lancang - tapi kita punya naluri kebinatangan yang buas sekali, dan dalam waktu singkat menjadi sangat liar. Itu bisa kita lihat dalam peristiwa Mei, dan peristiwa yang baru lalu. Sebetulnya itu saja yang ingin saya sharing dengan kawan-kawan. Ya, mungkin membicarakan tentang bagaimana ini tidak terulang, itu mungkin lebih penting karena toh kita harus berjalan ke depan.

Bakri (Pakorba)

Tadi dikemukakan bahwa masalah pembunuhan massal, kekejaman dan sebagainya hanya terjadi di Pulau Jawa dan Bali. Saya kira itu kurang tepat juga karena di setiap bidang tanah di Nusantara ini, ada mayat-mayat itu. Cuma sekarang belum jelas mau diapakan. Masalah pembunuhan massal itu sudah sejak lama hilang dari udara, yang ada rekonsiliasi. Rekonsiliasi untuk apa? Ini juga ndak jelas.

Nah, yang akan saya sampaikan ini hanya sekelumit fakta. Bahwa di pantai barat pulau Sumatra, kabupaten Pesisir Selatan, ada mayat lebih kurang 300 orang. Empat puluh delapan di antaranya kuburan massal yang saya sudah pernah ke tempat itu, dan di atasnya sekarang kebetulan ada tugu yang dibuat. Tidak tugu peringatan, tapi tugu tanda Bakorstanal. Angkatan Laut punya main itu. Letaknya di sebuah lereng di laut. Nah di laut itu pula, di depan kuburan itu, Komandan Kodim yang membunuh ini tenggelam. Barangkali itu kata orang kehadiran Illahi.

Dari 300 orang itu, 48 namanya jelas, si pembunuhnya jelas, yang cukur rambutnya diambil dari penjara polisi juga jelas, dokter yang disuruh nyuntik apa isi suntikannya tidak tahu, cuma sebelum mereka dibawa ke tempat itu disuntik lebih dulu. Tempat itu kira-kira 18 kilometer selatan kabupaten Pariaman. Di satu tempat namanya bukit Pulai. Karena itu bukit, jalan lalu lintas yang dari selatan dan dari utara distop. Jadi itu betul-betul pembunuhan official, pembunuhan resmi oleh karena di daerah itu tidak ada konflik horisontal. Daerah itu adalah daerah nelayan, petani, petaninya punya tanah. Di situ tidak ada problem agraria, malah tanahya sampai sekarang banyak yang kosong. Buruhnya juga tidak banyak, kecuali buruh listrik dan guru, pedagang, itulah isi kabupaten itu.

Di situ ada 300 mayat, tapi di tempat kuburan itu ada 48 yang jelas datanya semua. Nah, cuma mau diapain ini data? Apakah ada suatu forum yang bisa menyelesaikan masalah ini? Baru-baru ini kalau saya nggak salah ada Tap MPR Nomor VIII ayat 18 atau 28 itu, yang menyatakan bahwa tidak bisa dituntut. Kalau begitu ini jatuh di bawah masalah impunity. Tanpa ada sanksi, dan sampai sekarang tidak ada satu pun lembaga yang memberikan solusi. Memang kita dengar ada rekonsiliasi seperti disebut tadi, rekonsiliasi nasional dan sebagainya, yang rencana undang-undangnya sering dibuat, tapi juga ndak jelas. Dan barang kali juga dibuat oleh elit-elit yang mustinya bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Barangkali, ya. Karena mereka yang menjadi korban atau keluarga yang menjadi korban pembunuhan ini tidak terwakili di dalam pembentukan rencana-rencana itu.

Jadi inilah masalah yang saya kemukakan kepada saudara-saudara. Dan tentu yang 300 saya sebut ini hanya sebagian kecil dari yang disebut oleh Cribb dari Monash University, katanya ada tiga juta. Cuma yang kecil ini, ada 48 yang sangat eksak sekali dan kalau riset barangkali di sampingnya banyak lagi kuburan-kuburan lain. Nah ini mau diapakan? Adakah forum untuk membicarakan ini? Dan kalau tidak, apakah ini kita jadikan cerita sejarah? Apakah ada suatu bentuk keadilan dan sebagainya? Penanggungjawab sudah jelas, ini yang mengambil semua tentara. Bahkan di suatu tempat, Air Haji, namanya Nurhayati. Yang mau ditangkap ayahnya, dia umur 18 tahun, tentara mau datang katanya, "Jangan ayah saya mau diambil, bunuh saya dulu." Itu Nurhayati langsung dimasukan dalam karung dilempar ke satu batang (sungai/kali, ed.), lupa saya nama batang Air Haji itu, tapi masih sempat setelah mati di dalam karung itu diambil oleh keluarganya. Nah ini, ini banyak sekali yang terjadi begitu. Mau diapakan fakta ini?

Peserta

Saya ulangi pembicaraan saya di gedung Dewan Pers tempo hari waktu meluruskan pembicaraan Bu Carmel Budiardjo tentang G-30-S/PKI yang di Eropa dan Amerika dianggap konflik horisontal. Bahkan secara vulgar dikatakan seakan-akan perang saudara. Itu semata-mata hanya istilah untuk menghalalkan pembunuhan-pembunuhan itu. Saya bantah, dan diterima oleh Bu Carmel Budiardjo. Itu skenario konspirasi internasional dengan oknum-oknum pengkhianat - kalau Bung Karno bilang oknum-oknum tidak benar - diusahakan adanya konflik horisontal. Tapi itu hanya terjadi, beberapa bulan setelah G-30-S... sebetulnya Gestok karena itu sudah Subuh, itu Gerakan Satu Oktober.

Obyektif, maaf ya, saya ini lawman, sebenarnya ndak pernah ngerti politik. Enam dua masuk perguruan, saya langsung masuk bidang kepolisian, cuma kok terus jadi korban politik. Jadi mau nggak mau harus tahu politik, orang nggak tahu politik itu ternyata jadi korban. Satu almamater dengan Pak Haryo, sama-sama di RTM dulu. Sampai hari ini nggak jelas salah saya itu apa?

Nah, tentang film tadi, saya sebagai lawman lebih banyak melihat dari aspek hukum. Ada dua pemilahan, yaitu bahwa ada semacam konflik horisontal, tapi yang terlibat adalah organisasi pemuda agama tertentu, yang berhasil diprovokasi oleh RPKAD. Saya tegaskan RPKAD! Itu terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, kebetulan baru-baru Bung Karno membentuk Tim Pencari Fakta, saya mendampingi Pak Oei Tjoe Tat keliling Jawa Tengah, Jawa Timur. Jadi saya sebenarnya ingin mencocokkan apa yang saya lihat dan yang di film. Dan kalau film itu luar biasa itu, bagaimana nyolongnya ngerekam, ngerangkainya itu. Tapi yang jelas, yang lebih penting adalah untuk membuktikan kejahatan-kejahatan politik Orba, Orde Bandit.

Secara kriminologis, pembunuhan-pembunuhan masal yang dikesankan konflik horisontal itu hanya terjadi Oktober, November, Desember, Januari. Awal Februari kami keliling, masih ada secara sporadis. Tapi, yang lebih jahat adalah pasca Supersemar, yang lebih besar jumlahnya karena dilakukan oleh penyelenggara negara. Dibunuh oleh angkatan-angkatan bersenjata tertentu, atas perintah panglima tertentu yang sekarang masih pada hidup! Kita bisa membuktikan!

Pembunuhan yang terjadi pasca Gestok, sampai bulan Januari, dan pembunuhan yang pasca Supersemar itu jelas pembunuhan-pembunuhan sistematik. Tiap malam di semua daerah oleh kesatuan, pembunuhan resmi karena dilakukan oleh penyelenggara negara atas perintah-perintah jenderal tertentu oleh kesatuan-kesatuan tertentu. Ini yang perlu diungkap, lebih dari Hitler.

Oleh karena itu, menyambut ajakan pimpinan nasional, berangkat dari minta maaf terjadinya peristiwa G-30-S. Cuma kita masih bingung, Gus Dur minta maaf dalam kapasitas apa? Sebagai siapa? Dan minta maaf kepada siapa? Dan minta dari hal apa? Tidak jelas. Tapi, sudah didahului dengan seruan rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini apa? Apalagi belum-belum sudah merujuk Afrika Selatan. Lain! Rekonsiliasi nasional mana mungkin bisa efektif, mana mungkin inisiatif dari penyelenggara negara. Memang memberi harapan, karena diucapkan oleh seorang pimpinan nasional yang sekarang jadi presiden. Tapi, operasionalnya mana?

Kita berseru sudah lama supaya dibentuk Komisi Kebenaran, kok nggak ada sambutan sampai hari ini? Terus terang saja, kami yang korban nggak butuh rekonsiliasi. Yang berkepentingan rekonsiliasi ini siapa? Yang berbuat kan? Kalau kami menurut emosi, utang nyowo bayar nyowo, utang wirang bayar wirang! Apalagi sudah satu turunan lho, kalau nuruti emosi. Tapi alhamdullilah menuruti hadis Nabi, "Dendam itu tidak baik". Oleh karena itulah kami telah merasa menjalani kesabaran revolusioner selama 35 tahun. Sampai kapan lagi kita harus menunggu? Ini pertanyaan kita kepada bapak-bapak ibu sekalian, dan kepada terutama korban-korban Orba. Kemarin di Dewan Pers saya bilang, "Rekonsiliasi itu bisa terjadi manakala ada pengakuan bersalah dulu dari pelaku. Rehabilitasi dong kami. Kalau ganti rugi sih wallahualam deh, negara kayak begini mampu ganti rugi dari mana?" Kami direhabilitasi sajalah, bentuknya terserah. Nah, untuk itu bentuk dong Komisi Kebenaran. Hai, Gus Dur! Bentuk Komisi Kebenaran!

Jadi, menurut saya harus dipilah antara pembunuhan-pembunuhan yang terjadi sebelum Supersemar, dan sesudah Supersemar. Dan ini selalu berulang. Kemarin Mei 98 kan jelas kelihatan sekali, bahwa akan dimunculkan Joko Tingkir modern, Prabowo. Diciptakan anarkisme, chaos. Penyelenggara negara nggak mau mengendalikan. Itu satu alasan militer untuk mengambil alih kekuasaan. Terus mengeluarkan keadaan darurat perang. Seenaknya dia. Itulah yang terjadi ’65. Enam lima itu adalah ulangan peristiwa Demak. Bagaimana Joko Tingkir merebut tahta dari Raden Trenggono. Dan sebenarnya peristiwa Demak itu, juga ulangan dari peristiwa Singosari. Bagaimana Ken Arok merebut tahta Tunggul Ametung?

Tentang ini kepustakaan kita sudah diboyong semua ke Leiden. Inilah yang dimaksud Bung Karno dulu. "Jas Merah" diucapkan Bung Karno sebagai wujud pribadi yang tahu sebelum kejadian, weruh sedurungi winarah, 17 Agustus ’65 Bung Karno mengatakan, "Jangan sekali-kali menghilangkan sejarah." Eh, satu setengah bulan kemudian terjadi ’65. Saya hanya mengacu apa yang pernah dikatakan oleh Bung Karno. Satu, terjadinya G-30-S adalah lihainya super cacing; dua, keblingernya pimpinan PKI; tiga, adanya oknum-oknum yang tidak benar, kalau saya lebih vulgar adanya oknum-oknum pengkhianat. Yang menarik adalah lihainya super cacing. Super cacing yang mana? Itu ada konspirasi internasional, itu yang perlu dipahami. Bukan [hanya] CIA Amerika. CIA jelas, sejak Republik kita proklamasi diobok-obok terus, suatu ketika 57-58 Republik kita tinggal Jawa Timur sama Bali. Tapi Alhamdullilah Soekarno dan Ahmad Yani, kembali mempersatukan republik lumpuh.

Maksud saya cerita ini adalah kita tidak usah pesimis, kita tidak usah kecil hati menghadapi gonjang-ganjing ancaman klise, disintegrasi nasional, disintegrasi bangsa dan sebagainya. Kita pernah lebih jelek sebetulnya, asal kita sebagai anak bangsa bermoto, "Karmane fatekalase timapelesu kita cana," kata Bung Karno. Mari kita laksanakan tugas suci kita sebagai anak bangsa, tanpa menghitung-hitung untung ruginya.

Moderator

Terimakasih, Pak. Sebelum nyambung, ini masalah arah diskusi. Saya catat sekurangnya ada lima poin yang mungkin bisa kita perdalam di sini. Pertama, pembunuhan massal yang kita lihat bukan yang pertama dan ternyata juga bukan yang terakhir. Tadi dipertanyakan apakah dia merupakan bagian konflik yang lebih besar, ya ada persoalan Amerika itu, ada persoalan negara industri maju dan seterusnya.

Soal yang kedua, adalah bahwa pembunuhan ini ternyata terkait, kalau menurut penuturan tadi terutama masalah tanah mungkin bisa diperluas jadi soal sumber daya alam, ya. Kalau Pak Hario menyinggung masalah tambang minyak dan sebetulnya ada beberapa masalah lain juga. Seperti kalau kita lihat nggak ada urusannya Nurhayati dengan apa yang dibuat G-30-S atau apapun, tetapi kemudian dia juga menjadi korban.

Persoalan ketiga, perlunya penyelidikan lebih lanjut. Tadi berulang kali disebut bahwa bahan-bahan banyak di perpustakaan di luar negeri ternyata, yang mungkin mempersulit proses penyelidikan. Nah, saya juga mau angkat ini sebagai sebuah persoalan, karena bahan terbanyak masih di sini. Justru banyak cerita-cerita belum tergali, belum sama sekali terdengar, ya lebih banyak di sini dari pada di luar negeri.

Terus yang keempat, persoalan korban. Saya pikir sangat menarik cerita saudara Ilham tadi, bahwa orang mungkin membayangkan angka saja. Kita bisa berdebat dengan mudah soal sejuta atau 3 juga atau berapa ratus ribu. Tapi mendengar cerita dari satu saja korban itu ternyata luar biasa. Keterangan yang kita peroleh dan saya pikir mungkin ada yang lain yang mau menyambung dengan cerita-cerita lain di sekitar masalah korban ini.

Dan yang terakhir pertanyaan yang paling mendesak kayaknya: kalau sudah terkumpul, daftar, data atau apapun itu mau diapakan? Dan ini berkaitan dengan begitu banyak tawaran. Ada tawaran rekonsiliasi dari pemerintah, tapi ada juga anggapan bahwa rekonsiliasi ini nggak ada gunanya. Jadi diskusi di sekitar itu akan menarik. Nah, saya silakan siapa yang mau melanjutkan?

Sunarno

Saya dari Kodrat (Komite Pemberdayaan Rakyat).Yang lebih saya sorot di sini adalah kedudukan Bung Karno. Bung Karno mengatakan, "Di dunia ini ada dua kekuatan saja, yaitu the new emerging forces dan old established forces." Ini menyebabkan kapitalisme takut akan pikiran Bung Karno. Sebab kekuatan golongan sosialisme dan rakyat tertindas di dunia yang anti imperialisme disatukan untuk melawan kapitaslime imperialisme. Buktinya beberapa kali Bung Karno dicoba untuk dibunuh.

Jadi jelas bahwa faktor Bung Karno juga menentukan kekuatan kapitalisme-imperalisme untuk mengadakan peristiwa Gestok. Saya kira ini yang tadi belum disoroti. Bung Karno dianggap lebih berbahaya dari pada Khruschev. Kalau Khruschev sudah jelas dari pihak sosialisme, tapi Bung Karno membawa golongan sosialis dan rakyat bekas jajahan anti kapitaslime-imperalisme.

Saya kira perlu dimengerti sekarang ini di mana-mana di dunia dibangkitkan suatu pertentangan untuk pergolakan-pergolakan, ini adalah usaha kapitalisme-imperialisme itu sendiri. Sebab dengan adanya pertentangan antara sesama bangsa, pihak republikan di Amerika yang menghasilkan senjata akan laku.

Gustaf Dupe
Terimakasih. Kalau bicara lembaga, saya dari KPTN, Komite Pembebasan Tapol/Napol. Tadi beberapa kali disebut konflik horisontal pada G-30-S. Saya ingin ini diluruskan, apa memang ada? Jangan sampai kita terjebak pada istilah-istilah itu. Yang ada adalah orang yang PKI atau dianggap PKI dibantai tanpa melawan. Malah yang di Bali ada ayah dari teman saya dengan teman-temannya - saya nggak tahu apa yang lima orang tadi di film itu - mereka dibawa lantas suruh gali kuburnya sendiri. Kemudian berdiri di tepi tiang, lantas diminta mereka itu menyampaikan pesan terakhir. Mereka sampai terakhir nggak yakin bahwa akan mati begitu gampang. Jadi nggak ada pesan, tapi didor habis.

Saya pikir ada hal-hal sangat penting dari film tadi yang saya lihat perlu disosialisasikan. Ada kesaksian-kesaksian nyata dari para pelaku. Khususnya yang saya lihat itu Kyai Yusuf dari pesantren Tebu Ireng sama Pak Kemal Idris. Saya kira pengakuan-pengakuan mereka itu orang nggak tahu. Itu entah bagaimana caranya disosialisasikan, itu sangat penting.

Lantas korban-korban itu… masih sangat banyak yang ’65, yang Aceh, yang Lampung, yang Papua, yang Timtim. Nah, setelah sekarang Soeharto sebagai rezim itu secara formal nggak ada, menurut saya kekuasaannya masih ada. Tapi masing-masing kategori korban ini celakanya terus merasa bahwa hanya dia sendiri yang korban. Lantas dia memperjuangkan kepentingannya sendiri tanpa melihat kebersamaan sebagai kepentingan korban dari satu rezim. Dan yang repot lagi bagi kita - korban-korban ’65 - kelompok-kelompok korban yang lain tidak mendukung perjuangan korban-korban ’65. Nah, sekarang tinggal sendiri mau ndak mau.

Barangkali itu pentingnya kesaksian-kesaksian para pelaku disosialisasikan. Bisa diubah opini itu dengan kesaksisan-kesaksian demikian dan kita harapkan bisa digali lagi kesaksian-kesaksian lain. Kenyataannya sekarang, indoktrinasinya adalah bahwa PKI itu ateis, ateis itu anti agama. Jadi, kita yang beragama harus bikin pasukan untuk hantam PKI atau yang memperjuangkan hak-hak PKI. Perjuangan kita liku-likunya banyak. Kita harus mengenal liku-liku itu sehingga masuknya juga tidak membenturkan kepala sendiri.

Billy

Kebetulan saya datang dari Palembang. Saya ingin bertanya kepada bapak-bapak yang duluan lahir waktu ’65. Mungkin bapak-bapak bisa menceritakan bagaimana konspirasi saat itu. Maksudnya bukan konspirasi yang luas sekali, tapi lebih mendetil. Misalnya kalau pun ada keterlibatan tentara di sana, bagaimana cara dia main, selain dari film yang telah kita putarkan. Memang itu salah satu bukti atau fakta. Semakin banyak data mungkin akan mendukung fakta-fakta yang lebih banyak lagi. Mungkin bisa diceritakan, bagaimana mainnya, kalaupun tentara main. Kalau pun konflik horisontal, bagaimana dalam konflik ini bisa terjadi pembantaian massal seperti itu?

Ruth Indiah Rahayu

Maaf, tanpa mengurangi hormat saya, saya merasa malam ini kok forumnya jadi sekali lagi forum katarsis sebagaimana juga saya dengar di semua forum yang menggelar kasus ’65.

Saya ingin dengar cerita dari teman-teman kita yang muda, seperti Rinto dari Tim Relawan dan kawan-kawannya, yang sudah mulai melakukan penelitian dengan pendekatan oral history dan mereka telah bertemu para korban. Alangkah baiknya orang seperti Rinto dan kawan-kawan yang muda ini, yang tidak tahu apapun tentang ’65, menceritakan pendapat mereka setelah bertemu para korban? Karena kami lihat Rinto dan kawan-kawan sempat shock ketika ketemu dengan ibu-ibu yang tidak pernah dikenal dalam catatan sejarah dimanapun termasuk ’65.

Coba kita dengarkan, biarkanlah yang muda ini belajar berpidato. Bapak-bapak dulu juga banyak kesempatan berpidato, sehingga biar yang muda mengalami katarsis malam ini.

Rinto

Sebenarnya saya tadi juga sempat pesimis, karena pembicaraanya justru lebih banyak penekanan ke intrik-intrik politik sebelum dan ketika peristiwa itu terjadi. Saya yang lahir di tahun 70-an, di Orde Baru, besar di Orde Baru juga, sama seperti teman-teman lain yang seusia dengan saya itu. Wajar kalau kita nggak ngeh dengan suara korban itu. Tapi kenapa justru yang di sini seperti melupakan itu? Saya awalnya nggak ngeh ketika berhadapan dengan korban. Mereka menceritakan misalnya karena dia cantik, masuk penjara itu, dihamili oleh komandan sampai punya anak di kamp. Ketika diinterogasi komandan itu menanyakan, "Dengan siapa kamu berbuat?" Nah, kenapa dalam dalam pelajaran maupun di masyarakat pun, nggak pernah tertuang pengalaman-pengalaman korban seperti ini?

Dan kemarin juga ketika saya main di Purwodadi, saya sempat ketemu dengan seorang bapak yang sempat dibuang di Pulau Buru. Dia punya seorang isteri dan dua orang anak. Dia menceritakan bagaimana ketika baru beberapa hari dia ditangkap, tiap malam isterinya digumuli, malam ini oleh Banser, besok malamnya lagi oleh Pak Lurah, besok malamnya lagi Dandim, besoknya lagi Mas Kopral, Mas Sersan, akhirnya meninggal. Teror-teror seperti ini. Dan menyakitkan lagi ormas pemuda waktu itu, datang katanya minta kerokan dengan isterinya itu kemudian masuk kamar. Ketika datang dia membawa pedang yang berlumur darah dengan baju pun berlumur darah, habis menjagal orang-orang yang dituduh kiri.

Saya pernah juga ketemu seorang ibu di daerah Rembang. Dulu suaminya seorang guru dan dia sendiri anggota Gerwani yang membangun pemberantasan buta huruf di daerahnya. Saya membayangkan tahun 2000 saja daerah yang ditempati ibu itu sulit dijangkau, apa lagi tahun ’65. Kok bisa dituduh terlibat G-30-S? Jangan lagi Jakarta, kota Semarang saja dia ndak tahu, kok dituduh terlibat dan datang ke Jakarta? Ini bagaimana? Ini nggak pernah diceritakan dalam sejarah dan sampai sekarang masyarakat nggak ngeh. Tahunya PKI itu layak dibunuh, layak dibantai, layak dipenjarakan, layak dibuang.

Terus terang saya shock ketika mendengarkan ini, karena saya nggak pernah membayangkan. Saya mendampingi korban Mei waktu itu, ketika ’98. Saya pikir ini mungkin batas terakhir penderitaan orang, bagaimana ayahnya dibakar hidup-hidup di plaza atau di mall. Ketika seorang Tionghoa diperkosa ramai-ramai. Saya pikir ini penderitaan terakhir yang paling tinggi yang dihadapi oleh manusia. Tapi ketika saya menghadapi korban, rupanya masih lebih banyak.

Seorang ibu mencari suaminya ketika ditangkap di tahun ’65 sampai tahun ’99. Bagaimana ini bisa terjadi? Ketika mencari misalnya, dia harus menumpang truk dari Rembang ke Semarang, dari Semarang kemalaman tidur di emperan toko. Pulang buang barang, cari lagi suaminya ke Surabaya itupun tanpa hasil. Bahkan dia juga sampai ke dukun-dukun. Kalau dengar ada dukun yang tersohor dan bisa menangani beberapa masalah, maka dia didatangi sekalipun harus jual tanah dan jual rumah. Ketika dia membuka usaha jahit, dia mendapat order 16 potong pakaian tetangganya. Kemudian suatu malam dia kecurian setelah pulang dari pencarian suaminya dari Pekalongan. Dia mendapati mesin jahitnya hilang, pakaian orderan yang sudah jadi juga hilang. Nah, dia menemukan KTP yang diduga milik pencuri, dia lapor polisi. Polisi bukannya mencari atau mengusut atau menolong dia, malah memukul dia. Ini kan nggak pernah tercatat.

Kita selalu tekun dan semangat membicarakan intrik-intrik politik perang dan peristiwa itu, tapi kita nggak ngeh, nggak sadar, banyak orang yang menderita. Mungkin Pak Ilham lebih beruntung sekalipun bapaknya tokoh PKI. Tapi orang di daerah nggak ngerti apa-apa. Sekolah dibatasi. Saya pernah ketemu seorang anak yang nggak tahu apa-apa, ketika ujian SD, dia dipanggil gurunya. Gurunya menanyakan, "Kamu anak PKI?" Teman-temannya mengerjakan soal, dia dipukuli sama gurunya, dia nggak lulus.

Marco Kusumawijaya

Saya menyambung tiga pembicara terakhir dengan Ilham tadi juga, yaitu membawa persoalan pada sisi personal. Saya merasa sangat prihatin, karena pertanyaan Ilham tadi, apa yang bisa menjamin hal itu tidak terjadi lagi?

Dan kritik rekan terhadap pidato - dengan segala hormat - bapak-bapak kita mengenai hal-hal yang sifatnya sangat struktural dan intrik, adalah bahwa kita hampir-hampir melupakan bagaimanapun korban adalah individu-individu, dan pelaku-pelaku itu adalah individu-individu yang mempunyai tanggung jawab otonomi sebagai manusia yang tidak bisa dibenarkan atau pun dilempar kepada hal-hal yang bersifat skenario besar, atau hal-hal yang bersifat intrik, seolah-olah mereka ini bagian dari suatu mesin yang besar dan karena itu tidak mempunyai tanggung jawab otonomi pribadi. Jangan lupa korban adalah pribadi-pribadi, pelaku juga adalah pribadi-pribadi.

Pada saat kopral tadi tidur dengan isteri yang suaminya ditangkap, pada saat itu dia mengambil keputusan secara otonom, dan itu tidak ada kaitan ideologi apapun. Dia adalah manusia, dan dia harus bertanggungjawab sebagai pribadi, sebagai manusia. Saya rasa ini pertanyaan Ilham bagaimana lalu kita ke depan? Karena tentu tidak saya sangkal bahwa harus ada perubahan-perubahan struktural, harus ada perubahan-perubahan politik dan lain sebagainya. Tetapi, karena ini berulang-ulang terjadi, apakah kita tidak ingin bertanya apa gunanya perubahan-perubahan struktural itu kalau tidak ada perubahan yang terjadi pada tiap-tiap individu? Karena itu saya melihat masa depan itu sangat memerlukan aksi atau rencana yang mengenai masing-masing orang sebagai manusia.

Saya ingin mengatakan bahwa ada tanggung jawab individu masing-masing di situ. Itu penting dan tidak bisa dilupakan. Kita tidak bisa mengkritik ortodoksi kapitalisme dengan ortodoksi lain yang berupa marxisme sekalipun. Karena ortodoksi itulah yang menghilangkan manusia sebagai individu.

Yanti

Dari tadi kita tampaknya bicara bahwa orang-orang yang ditiadakan pada tahun ’65 itu adalah korban, ibu-ibu yang kehilangan suaminya adalah korban, anak-anak yang kehilangan bapak dan orang tuanya adalah korban. Tapi satu hal yang tidak kita sadari pada malam ini bahwa ternyata kita pun yang ada pada jaman ini adalah korban. Kenapa saya bilang seperti itu? Karena kita menjadi korban dari sebuah sejarah yang dibutakan, sejarah yang digelapkan oleh Orde Baru. Tidak hanya pada kasus 1965, Tanjung Priok, Aceh… apa saja kasus di Indonesia mengakibatkan seluruh rakyat Indonesia menjadi korban sejarah yang dibutakan tadi.

Dan beranjak dari pemikiran bahwa kita menjadi korban adalah suatu pemicu yang kuat untuk melakukan perubahan di masa depan. Apabila kita sama-sama merasa sebagai korban kita akan sama-sama memperjuangkan keadilan itu. Kalau kita tak ingin ini terulang, yang harus kita lakukan adalah kita sebagai korban bersama-sama berjuang melakukan perubahan terhadap sejarah yang dibutakan itu dan kembali membuka semua kasus-kasus yang ada. Saya pikir semua generasi yang masih muda-muda, yang kecil-kecil itu adalah jiwa korban. Maka kita baru akan bisa sama-sama menggalang kekuatan untuk melakukan perubahan di Indonesia ini.

Jansen

Saya dari Medan. Mendengar cerita-cerita tadi dari awalnya orasi-orasi bapak-bapak tadi itu membuat saya kembali teringat basisnya petani di situ. Teman-teman yang BTI dan yang di-BTI-kan itu cukup banyak kayaknya di sana. Jadi kalau dibilang Jawa dan Bali, ternyata di sekitar Sumatera banyak. Seperti Bandar Betsy dan lain-lainnya itu termasuk juga beberapa kabupaten di sana mempunyai basis ini.

Kita cerita tadi kembali, solusinya apa sih setelah kita tahu bahwa sejarah mengakibatkan korban yang begitu banyak. Awal dari kita mulai terjun ke basis, terus kita melihat bahwa mereka sangat antipati dan sangat apatis. Mereka nggak punya arti lagi. Bahwa kawan-kawan korban ’65 ini tidak mempunyai hak apa-apa lagi terhadap haknya dulu.

Nah, setelah kita mulai mendengar cerita-cerita yang seperti bapak-bapak ceritakan tadi, bagaimana pengalaman dia dipenjara, bagaimana pengalaman pembantaian-pembantaian itu. Itu sebenarnya tidak mampu lagi harus berbuat apa? Kebetulan ada bisa beberapa referensi bisa kita diskusikan bersama-sama, termasuk juga novelnya Pak Putu Merajut Harkat itu. Sehingga kita bisa meresapi sebenarnya yang paling merana, yang paling sakit, yang paling merasakan ekses dari sebuah kejadian yang sangat memakan banyak korban itu adalah korban yang ditinggalkan. Antara lain anak-anak korban PKI tadi, ketika dia mencari makan menjual kue-kue, bukan malah kuenya laku, malah kuenya dipijak-pijak, "Oh kue PKI! Kue PKI!" gitu. Nah, ketika seorang ibu ingin menyekolahkan anaknya dengan berharap bisa menanami tanah-tanah yang dulu ditinggali oleh suaminya, tanahnya dirampok oleh tentara. Itu yang kita lihat kejadian-kejadian di Sumatra.

Kalau kita membongkar sejarah dan membangun opini bahwa sejarah yang selama ini diutarakan itu salah dan kita putar balikkan kembali 180 derajat itu naif sekali, kalau kita tidak mulai dari gerakan-gerakan awal. Kita coba sosialisasikan ke kawan-kawan, setelah melihat dan merasakan cerita-cerita mereka, kita berupaya bagaimana mereka bisa hidup layak sebagai manusia yang seperti kita. Seperti saya yang tidak merasakan ataupun bukan korban kejadian ’65 ini berupaya untuk menyadarkan mereka bahwa sebenarnya kejadian-kejadian yang diutarakan melalui buku-buku sejarah dan propaganda-propaganda yang dilakukan itu 100% salah. Itu suatu cara yang mungkin kita sampaikan kepada mereka, untuk mengingatkan mereka kembali bahwa mereka sebenarnya tidak bersalah, minimal sebatas itu awalnya.

Terus mereka tertantang untuk mengetahui lebih dalam. Sebenarnya apa sih yang bisa kami perbuat? Nah, kita semakin larut dalam permasalahan-permasalahan mereka. Sampai kita menawarkan bagaimana mereka supaya bisa berkumpul kembali, terus bersama-sama kembali menyadari bahwa tanah yang dulu ditinggalkan suaminya itu adalah tanah mereka, sehingga mereka harus bisa bersama-sama meminta tanahnya kembali.

Terus mereka mendengar kata organisasi itu sangat takut. Itu membuat kita tertantang untuk sama-sama menyadarkan mereka. Bahwa mereka sama-sama punya hak untuk hidup, dan sama-sama bisa menikmati kehidupan. Itu yang kita lakukan, minimal kita sudah sampaikan kepada mereka, dan mereka sekarang sudah mampu membangun organisasinya sendiri dan mereka sekarang sedang berjuang untuk merebut tanahnya kembali.

Putu Oka Sukanta
Saya melihat permasalahan ’65 ini dari sisi yang agak berbeda. Mungkin latar belakang kepengarangan saya yang menyebabkan itu. Ada bangunan kejiwaan yang rusak akibat peristiwa ’65. Saya kasih contoh begini. Ada seorang anak yang ayahnya dibunuh pada tahun ’65. Dia studi di Amerika kemudian menikah dengan orang Amerika, sudah sangat jauh dengan kampung kelahirannya, dimana beberapa orang dibunuh. Kemudian dia kembali ke Bali dan dia mempunyai seorang anak dari perkawinannya itu. Ketika anak itu lahir, dia angkat anak itu dan dia bicara, "Hai kau anak PKI, apakah kamu akan dibunuh juga seperti kakekmu?" Jadi ada satu bangunan kejiwaan yang rusak pada setiap individu.

Saya lihat dalam konteks ini, selain dari korban yang sudah terbunuh, selain dari orang yang pernah ditahan, ada sisa lain yang sangat banyak merasakan akibat ini. Dan jiwanya rusak, goyang. Sorry, saya tidak menyebutkan rusak, tapi goyang. Dan mereka - saya tidak pernah menyebut korban - mereka survivor. Orang yang bertahan hidup. Saya bukan korban, saya survivor. Saya seorang yang bertahan untuk hidup dalam situasi yang bagaimanapun juga. Bagaimana misalnya kalau penelitian yang lebih jauh lagi bisa menyentuh hal-hal yang ini? Dan ini yang lebih mampu berbicara, goyangnya kejiwaan orang yang sejak kecil sampai dewasa, sampai sudah berumahtangga, dia tetap goyang sebagai manusia.

Yang kedua masalah rekonsiliasi. Saya kok nggak percaya ada rekonsiliasi. Bagaimana bisa direkonsiliasi, instruksi Menteri Dalam Negeri tahun ’81 sampai sekarang belum dicabut. Artinya, mana mungkin ada rekonsiliasi [kalau] yang satu sebagai obyek, dan yang satu subyek. Selama itu tidak dicabut, saya harap tidak berpikir tentang rekonsiliasi.

Sulami

Saya sangat tersentuh laporannya Nak Rinto. Hasil penelitiannya boleh dikata cerita yang sangat menyedihkan. Memang kalau ke daerah, ketemu mereka yang pernah di Plantungan, yang pernah di penjara-penjara, itu hanya cerita tentang kesedihan. Dan cerita-cerita demikianlah justru sekarang ini yang kami kumpulkan. Kami dari YPKP (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan tahun 65-66), dan banyak sekali terdapat rekaman-rekaman yang sudah disalin sehingga tinggal publikasi. Dan cerita-cerita macam itu tidak hanya di Jawa. Di Bali lebih menyedihkan dan di Sumatera Utara lebih menyedihkan lagi.

Kami pernah kedatangan teman-teman dari Sumatera Utara, tengah dikumpulkan tulisan-tulisan mereka yang tidak jadi mati, yang sedia menjadi saksi-saksi hidup. Dan saksi-saksi itu ada di daerah-daerah mana saja, dan siap untuk mengadakan kesaksian kapan pun. Mereka itu ingin sekali perkaranya segera dituntaskan melalui pengadilan.

Kami dari YPKP sudah mempunyai jaringan kerja di daerah-daerah dan telah menemukan bukti-bukti otentik, tinggal penggarapannya. Dan itu cukup nanti untuk menjadi bukti suatu perkara. Ini sudah kami bicarakan dengan lain-lain organisasi-organisasi para lawyer, baik dari Kontras, maupun PBHI, ELSAM, dan Bu Nursjahbani Katjasungkana. Mereka selalu mau membantu apabila sudah disiapkan materinya. Jadi kami sangat menyambut pertemuan malam ini. Kami merasa senang. Ternyata meskipun malam, tidak ngantuk, dan tidak merasa capai. Mudah-mudahan demikian karena ini semua menyangkut diri kita sendiri, kewajiban kita sendiri yang harus di selesaikan. Seperti film yang baru kita tonton sebetulnya kami sendiri belum melihat selengkap ini, baru sepotong-sepotong di Jogja.

Dibuatnya film itu, masih pemerintahan Habibie, bulan Juni tahun 1998, dan masih sembunyi-sembunyi. Ya, bayangkan saja kalau wartawan Australia itu mau mencari data ke hutan tidak mungkin bisa disembunyikan sedangkan alatnya besar-besar. Tapi, atas usaha bersama dan kami dibantu oleh temen-temen PRD, usaha itu dapat berhasil. Tapi esoknya kami diusir dari Blora, oleh Kodim setempat. Tetapi pembuatan film telah terjadi seperti yang kita lihat malam ini.

Santo (Kodrat)

Kalau melihat film tadi, seakan-akan kita terus bernapas dalam lumpur. Kita bisa mengubah bangsa ini, saya rasa kita harus bersatu. Untuk bersatu kita harus mempunyai keberanian moral. Kita harus berani berkorban, supaya kita jangan jadi korban lagi. Kita harus berani mensosialisasikan seperti Kemal Idris, dia harus bicara di depan, kita ajak gitu, supaya dia sadar, dia mau bertobat berbuat yang nggak benar itu. Kita sadarkan kita mempunyai kedekatan, mungkin sama Kemal Idris. Bagaimana bangsa kita supaya berubah wajahnya, jangan kebenaran itu tertindas terus.

FX Harsono

Saya hanya ingin menceritakan sedikit pengalaman saya, yang barangkali bisa menjelaskan apa memang betul pada tahun ’65 terjadi konflik horisontal. Juga barangkali bisa sedikit menjawab bagaimana militer pada waktu itu berperan. Waktu tahun ’65, saya adalah murid SMA di Blitar. Sebelum tahun ’65, saya senang sekali melihat 17 Agustus karena di sana ada alun-alun untuk - istilah kita show of force - partai-partai politik ini memakai drum band dan macam-macam. Ada Fatayat, ada Ansor, dan ada NU. Yang paling besar massanya pada waktu itu adalah PKI, kemudian NU, Ansor, Fatayat dan sebagainya.

Nah, sebagai anak-anak pada waktu itu saya hanya melihat suatu yang menyenangkan sekali. Saya tidak mempunyai kesadaran politik pada waktu itu. Tapi, setelah tahun ’65 saya baru sadar bahwa rupanya memang pada tahun ’65 itu militer memanfaatkan persaingan politik yang terjadi sebelumnya untuk membantai PKI. PKI dianggap sebagai partai yang paling kuat dan yang paling dimusuhi, terutama oleh para pemilik-pemilik tanah besar di desa-desa karena PKI pada waktu itu mempunyai program land reform.

Sampai beberapa hari setelah Oktober atau 30 September saya tidak tahu apa-apa. Mungkin sekitar tiga atau empat hari setelah itu baru peristiwa di Blitar terjadi. Kebetulan sekali empat rumah dari rumah saya itu kantor Pemuda Rakyat. Dan celakanya semua orang di rumah saya pergi semua. Bapak saya tidak ada, adik-adik saya semua sekolah, dan saya sendiri yang disuruh menjaga rumah. Saya hanya bisa melihat dari celah-celah jeruji atau pintu angin, apa yang terjadi pada waktu itu. Saya tidak tahu itu massa dari mana, mereka menyerbu dan ingin membakar kantor Pemuda Rakyat yang dekat dari rumah saya. Itu kalau terjadi betul-betul, pasti rumah saya terbakar. Tetapi kemudian dilarang oleh polisi kalau nggak salah.

Kemudian tidak ada perlawanan sama sekali, meskipun saya tahu persis di seberang jalan rumah saya adalah basis dari PKI dan Pemuda Rakyat. Mereka hanya keluar dari gang-gang dan membawa pentungan tetapi mereka disuruh kembali lagi. Saya sangat ketakutan karena saya sendiri pada waktu itu. Dan celakanya sekali mereka melemparkan fotonya Aidit. Itu kena pintu rumah saya, saya sangat kaget dan lari ke belakang sembunyi. Itu trauma sekali buat saya.

Setelah beberapa hari, saya lihat banyak sekali orang-orang dari Ansor yang membawa pedang, tapi mereka menyembunyikan pedang itu. Yang saya tahu persis mereka membawa rotan yang kurang lebih garis tengahnya satu inci atau dua senti. Mereka mengatakan bahwa rotan ini sudah ‘diisi’. Mereka kebanyakan bukan dari Blitar tapi dari derah Bangil, Jombang, Jember dan seterusnya. Daerah sana memang basis Ansor. Mereka disuruh mengamankan Blitar. Pada waktu itu saya tahu persis memang tidak ada perlawanan. Jadi kalau dikatakan konflik horisontal sebetulnya kalau menurut saya nggak. Memang yang terjadi adalah pembantaian.

Ketika itu semua organisasi kepemudaan di luar PKI dan onderbouw-nya memang dikoordinir oleh Kodim, Koramil. Kita diminta untuk menjaga tawanan, tahanan, di daerah Blitar Selatan. Saya waktu itu aktif di organisasi sekolah Katholik. Kemudian saya tahu persis bahwa tiga orang sahabat saya ikut dan ternyata mereka di sana itu memang disuruh membunuh. Jadi mereka memang ditugaskan oleh militer yang mengkoordinir untuk membunuh, dikasih jatah satu orang membunuh satu orang. Waktu itu kawan saya, setelah dua minggu di daerah Blitar Selatan ingatannya hilang. Ya kembali, tetapi dengan mata yang sorot mata yang sudah tidak jelas kemudian dia ngoceh ke sana kemari. Pakaiannya penuh dengan bercak-bercak darah, dan saya tahu persis bahwa dia sudah mulai tidak waras. Itu saya temui pada beberapa orang yang saya kenal.

Nah, setelah tahun ’65 kemudian ada peristiwa Blitar Selatan, saya tidak tahu persis tahun ’68 mungkin. Saya sebagai anggota organisasi siswa Katholik kemudian ikut yang namanya KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Dan kemudian saya diperkenalkan dengan Pak Witarmin, pada waktu itu dia yang mengepalai operasi Blitar Slatan yang disebut operasi Trisula. Memang betul bahwa operasi di Blitar Selatan itu betul-betul dilaksanakan oleh militer secara sistematis. Tetapi, sebelumnya memang betul bahwa organisasi kepemudaan di luar Partai Komunis oleh militer direkayasa untuk membunuh, untuk menghabiskan semua yang dianggap anggota PKI. Yang namanya nyawa pada waktu itu sama sekali tidak berharga. Salah satu pembunuh itu besoknya datang dan hanya meminta maaf.

Di daerah Blitar banyak sekali guru-guru yang dibunuh. Ada satu daerah di Blitar namanya Kampung Meduran, di sana memang orang Madura semua. Kampung Meduran itu isinya cuma dua: Ansor dan PKI (Pemuda Rakyat atau PKI lah). Jadi mereka saling membunuh. Dan kemudian ada satu orang pekerja Jawatan Kereta Api, yang dicari dan dibunuh. Tetapi ternyata salah bunuh, yang dibunuh adalah guru. Dan kemudian besoknya dia cuma minta maaf, begitu aja.

Sebagai anak pada waktu itu, saya merasakan ada suatu trauma, seperti yang dikatakan Pak Putu Oka. Meskipun saya tidak terlibat, tetapi sebagai keturunan Cina, merasakan ada semacam trauma. Karena Baperki pada waktu itu sebagai salah satu organisasi - meskipun saya bukan Baperki dan saya tidak sekolah di sekolah Baperki - tetapi etnis Cina itu sudah melekat dengan Komunis. Sehingga kemudian, ingat sekali ketika itu semua orang Cina di Blitar dikumpulkan di satu gedung bioskop namanya gedung bioskop Dipoyono. Kemudian dilakukan briefing, dan di situ dikatakan bahwa orang-orang Tionghoa di sini harus membantu pemerintah terutama militer dengan memberikan dana. Dan saya ingat sekali bahwa semenjak itu orang-orang Cina di Blitar, itu berhak untuk, istilahnya diperas. Misalnya mobilnya bisa dipinjam berapa hari dengan alasan untuk melakukan operasi, meskipun itu tidak. Kemudian mereka bisa dimintai dana berapa saja untuk operasi, tapi sebetulnya kita juga tidak tahu. Pada akhirnya ada semacam persepsi dari kelompok Cina di Blitar: kalau ingin selamat dan kalau bisnis kita ingin selamat, maka kita harus menyumbang kepada Kodim. Nah, itu persepsi ini terus berjalan sampai sekarang tentunya.

Setelah itu kemudian trauma ini bertambah dengan adanya Gunung Kelud meletus. Wah, itu betul-betul… sebagai remaja pada waktu itu saya merasakan setiap sore setelah matahari terbenam, ada semacam ketakuktan yang luar biasa pada saya sehingga saya tidak berani di rumah sendirian dan selalu harus pergi ke rumah teman, kadan-kadang tidur di rumah teman.

Kalau Pak Putu tadi mengatakan bahwa rusaknya jiwa pada korban atau pada keluarga korban, saya rasa bukan hanya mereka, tapi juga masyarakat dimana situasi memang sangat kuat sekali. Sering sekali saya melihat mayat tergeletak di perempatan, seperti ada satu orang pemain bass drum dari Pemuda Rakyat namanya Ping Ation An. Dia dibunuh di perempatan, mayatnya ditaruh di perempatan dan selama dua hari tidak satu orang pun yang berani mengambil mayat itu. Keluarganya sendiripun nggak berani. Sampai kemudian membusuk dan diambil oleh Kodim, dikubur di mana saya nggak tahu.

Nah, peristiwa-peristiwa seperti itu memang memberikan trauma, setidak-tidaknya kepada anak yang berkembang pada waktu itu. Dan kalau tadi Marco mengatakan bahwa pada akhirnya berkaitan dengan individu, menurut saya memang betul bagaimana sebetulnya sekarang ini pun kekerasan terjadi di mana-mana di Indonesia. Semenjak itu sampai sekarang saya selalu melihat kekerasan-kekerasan dari satu peristiwa ke peristiwa lain, dari satu jaman ke jaman lain, hanya dengan motif yang berbeda-beda. Tetapi saya merasakan bahwa ada semacam… selalu ada rasa tidak aman yang menghantui kita sebagai anak pada waktu itu. Terutama saya sudah berhadapan dengan imigrasi atau yang menanyakan, "Kamu keturunan Tionghoa, ya?" Wah, langsung keringat dingin saya keluar, karena ada saja yang dipertanyakan. Dan, terkahir ketika saya memperpanjang paspor saya masih dipungli karena ada satu surat yang tidak lengkap di daerah sana dan itu selalu terjadi pada saya. Sehingga trauma itu rasanya selalu melekat pada anak-anak yang mengalami permasalahan di daerah yang memang situasinya cukup keras dan rawan pada saat itu.

Moderator

Saya akhiri sampai di sini diskusi ini, dan saya tidak mau menyiksa saudara-saudara lagi dengan keterangan yang lebih panjang. Tapi saya terpaksa juga membuat semacam catatan dari apa yang kita diskusikan. Saya pikir lontaran-lontaran dari semua orang, baik itu berupa komentar, pidato maupun pertanyaan, mengingatkan kita bahwa kita hidup selama ini atau terbentuk melalui semacam perjalanan sejarah kekerasan. Baik itu yang terjadi pada zaman kolonial, sekarang dan - mudah-mudahan tidak - di masa mendatang. Kita mencatat juga bahwa proses yang panjang ini menghasilkan tumbuhnya masyarakat korban. Tadi Mbak Yanti bilang bahwa kita semua ini sesungguhnya korban dan punya dendam kemarahan kolektif yang bergenerasi. Sejarah kekerasan ini juga terkait dengan banyak masalah. Mulai dari tanah, orang bikin pertambangan dan seterusnya. Dan menjelaskan juga kepada kita bahwa ini bahwa ini bukan sesuatu yang terjadi spontan di luar kontrol, tapi memang sesuatu yang sistematis, walaupun kita tidak menyentuh yang sistematis itu.

Bagian kedua yang saya catat bahwa ada pertanyaan besar bagaimana kita keluar dari situasi ini atau mau kita apakan yang kita tahu sekarang? Kelihatan juga bahwa perubahan atau solusi itu ternyata nggak cukup dengan niat baik, karena kita berbicara tentang sistem. Kita musti berpikir tentang solusi yang sistematis dan di sini tentunya tujuannya - kalau dengar pembicaraan tadi baik yang pakai ide yang basi, maupun yang mutakhir - itu suatu sistem yang menjamin sejarah kekerasan tidak terulang.

Ada beberapa poin lain di dalam proses solusi yang disinggung, soal rehabilitasi, kompensasi, ada masalah peradilan, dan rekonsiliasi yang menarik. Karena semua orang berbicara menolak rekonsiliasi, saya pikir poinnya cukup jelas, bahwa rekonsiliasi hanya mungkin kalau berpijak pada kebenaran dan keadilan. Nah, semua juga yang bicara kelihatannya sadar bahwa ini suatu proses yang panjang dan di dalam proses yang panjang ada beberapa hal yang kayaknya perlu diperhatikan.

Pertama saya catat kita mesti lebih banyak mendengarkan suara korban. Kalau saya kasih catatan tambahan pribadi mungkin kaum perempuan, karena malam ini kaum perempuan hanya tiga orang yang berbicara. Rata-rata yang laki banyak pidatonya. Sementara suara korban kayaknya bukan hanya pidato ya, tetapi banyak yang lain. Nah, dengan suara korban ini kita bisa juga bisa menyelami sisi personal, baik dari sisi korban maupun pelaku. Selanjutnya adalah bagaimana kita membuka kasus-kasus yang ada sebagai langkah, dan kemudian memikirkan publikasinya. Bukunya Putu Oka diterbitkan sebagai semacam catatan terhadap apa yang dia lihat, dan apa yang dia alami dan masih ada beberapa publikasi lain. Saya juga dapat buku dari Martin tadi.

Kedua, pengetahuan kita ternyata masih sangat terbatas, dan kita boleh dibilang sama-sama beruntung bisa ketemu di sini. Tapi mayoritas orang kurang beruntung, karena nggak bisa datang malam ini dan ikut mendengarkan. Kita punya banyak sekali potongan-potongan cerita tapi kesempatan untuk menukar cerita, pengetahuan dan pengalaman ini mungkin perlu diperbanyak. Saya mau pinjam ungkapan dari seorang teman di Bali, kebetulan korban dan juga mengalami semua peristiwa ini, bagaimana kita memulai atau membuat sebuah gerakan tutur: yaitu menceritakan kembali dan menghidupkan kembali, bukan kenangan jeleknya tentang peristiwa ini, tapi apa saja yang mungkin dipelajari sehingga membentuk semacam ingatan atau pengetahuan bersama yang menuju kepada keberanian kolektif. Keberanian kolektif tentunya agar tidak perlu takut lagi bikin film, agar lebih bebas menuliskan apa yang perlu ditulis dan seterusnya.

Nah, begitu catatan dari saya, saya berharap bahwa kita semua bisa mengambil sesuatu dari sini. Yang jelek boleh titip sama saya, kalau yang bagus-bagus dan berguna silahkan bawa pulang, tapi jangan lupa disampaikan kepada yang lain.

Sekian dari saya, selamat malam. Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.