CHE GUEVARA: ANTARA KAOS OBLONG, CIMENG DAN REVOLUSI

diskusibulanpurnama. [Dbp.]

12 Oktober 2000

CHE GUEVARA: ANTARA KAOS OBLONG, CIMENG DAN REVOLUSI
Nara Sumber: Hilmar Farid dan John Roosa (JKB)

Moderator

Selamat malam dan selamat ketemu lagi. Sebenarnya banyak sekali usulan yang masuk ke koordinator, tapi pilihan akhirnya jatuh pada Che Guevara, yang tidak asing lagi bagi kebanyakan aktivis. Pada saat teman-teman berdemonstrasi sering terlihat membawa icon Che, entah berupa bendera, emblem atau lainnya. Kita belum tahu apakah Che ini dipahami sebatas icon saja, sebagai seorang yang romantis atau revolusioner. Pemahaman kita bisa berbeda-beda, dan malam ini kita buka bagi siapa saja yang merasa kenal dengan dan paham tentang Che Guevara, untuk berbicara. Di sini ada John dan Fay, yang diharapkan bisa membantu kita lebih mengenal Che.

Judul diskusinya adalah "Antara Cimeng, Kaos Oblong dan Revolusi". Artinya elo mau ngomong apa pun boleh. Sekitar revolusi atau ada bau-baunya Che Guevara, saking bingungnya koordinator memberi judul karena begitu banyak fenomena yang terlihat sekarang. Saya memberi kesempatan juga pada para hadirin yang mau menyumbangkan pengetahuannya tentang Che Guevara, bercerita tentang perkenalannya dengan Che, dan sebagainya.

Fay

Biasanya kalau saya duduk di sini, itu artinya panitia sudah mulai panik karena tidak ada lagi orang yang dikorbankan untuk Diskusi Bulan Purnama.

Che Guevara memang sosok yang menarik, karena gambarnya jauh lebih dikenal daripada pikirannya. Ini agak berbeda dengan, sebutlah Pramoedya di Indonesia, yang juga sering jadi coverboy, tapi pemikirannya juga dikenal secara luas. Kalau Che, orang lebih mengenal gambarnya – gambar silhouette yang khas dengan pandangan menerawang ke depan – daripada pikirannya. Dia menjadi lebih populer setelah meninggal ketimbang waktu masih hidup dan bergerilya untuk menumbangkan kediktatoran, mendirikan negara sosialis. Dan kepopulerannya bukan hanya di kalangan orang yang mendukung ide-idenya, tapi juga di kalangan yang bertolak belakang dengan pikirannya. Misalnya tahun 1997 ada kasus ketika juru potret mengabadikan gambar Che yang legendaris itu menuntut sebuah perusahaan iklan, karena perusahaan iklan itu menggunakan image Che untuk iklan minuman Vodka. Ada dua masalah. Pertama, digunakannya sosok Che dalam iklan, untuk menjual barang dagangan, yang jelas ditentang olehnya. Kedua, barang yang dijual itu adalah minuman keras, dan kita tahu bahwa Che Guevara tidak minum alkohol.

Che selama ini menjadi simbol perlawanan. Di Amerika, anak muda yang menentang perang Vietnam pada tahun 1960-an mengusung gambarnya, dan seruan-seruannya dipasang di kamar tidur, disablon di atas kaos oblong, dan seterusnya. Di Jakarta, teman-teman banyak yang memakai kaos bergambar Che, dan bahkan benderanya pun dibawa dalam demonstrasi menjadi simbol perlawanan. Dalam kasus iklan di atas, menjadi menarik karena bagaimana mungkin orang yang revolusioner seperti Che bisa mendapat tempat di kalangan, sebutlah borjuasi atau elit yang menjadi lawannya? Penjelasannya tidak lain karena Che Guevara kemudian dilepaskan dari konteks sejarahnya. Orang bisa berbicara tentang Che, tetapi tidak menyinggung revolusi Kuba. Che kemudian dilihat semata-mata sebagai sosok yang begitu agung dan dikenal tinggi moralnya, manusia dengan komitmen yang tidak terkalahkan dan tidak bergeser dari prinsip dan seterusnya. Ini semacam gambaran grotesque tentang pahlawan dalam masyarakat borjuis. Padahal kalau kita mengenal Che sebagai manusia, kisah hidupnya jauh sekali dari citra yang selama ini dilekatkan oleh orang. Dia melakukan begitu banyak hal semasa hidupnya, sampai Sartre menyebutnya "manusia yang paling lengkap di zaman kita".

Che tidak revolusioner sejak lahir, melainkan melalui proses yang panjang. Dan tidak semua yang dia lakukan dan alami sesuai dengan image yang kita kenal sekarang. Misalnya saja ketika muda dia senang sekali mengganggu perempuan. Sampai pada satu titik dia mulai menyadari bahwa apa yang dia lakukan terhadap perempuan itu keliru. Perkembangan ini penting untuk memahami pikiran dia juga. Dalam biografi yang ditulis John Lee Anderson ada cerita begini. Suatu saat Che pergi ke kedai minuman, dan dilayani oleh seorang perempuan Indian. Seperti biasa ia dan teman-temannya mengganggu perempuan tersebut, yang kemudian melawan dan akhirnya terjadi keributan. Polisi datang dan perempuan itu kalah. Di sini Che melihat bahwa apa yang dia lakukan selama ini sebenarnya adalah bagian dari penindasan. Dan juga bukti bahwa kultur macho itu bukan sesuatu yang alamiah dalam darah manusia Latin, tapi bagian dari kultur mestizo di alam penindasan kolonial. Dalam kasus di atas, jelas Che dan teman-temannya yang bersalah. Tapi mereka dimenangkan oleh polisi, karena mereka mestizo dan laki-laki, perempuan tersebut kalah semata-mata karena Indian dan perempuan.

Dari hal-hal seperti ini ia mengembangkan pikiran tentang bagaimana penindasan mungkin terjadi. Banyak sekali pengalaman kecil yang membentuk kehidupannya, dan kita mesti ingat bahwa sosok revolusioner yang kita kenal sekarang sebenarnya punya perjalanan hidup yang jauh dari mulus. Cita-cita awalnya adalah menjadi dokter, dan hidup biasa seperti orang lain, tapi kemudian berakhir mati mengenaskan di Bolivia karena membantu pembebasan rakyatnya dari penindasan. Saya tidak akan cerita lebih detail lagi, karena mungkin teman-teman sudah banyak tahu. Tapi ada beberapa point yang saya mau angkat.

Pertama, soal gerakan. Pada awalnya Che Guevara membayangkan bahwa perubahan bisa dilakukan oleh sekelompok orang yang sangat kuat dan mempunyai komitmen tinggi, ideologi dan kesadaran yang tinggi. Kelompok seperti itu disebutnya foco (inti), yaitu kumpulan orang terpilih yang sangat militan – "unsur termaju" kalau mengikuti istilah teman-teman di sini – dan akan membawa perubahan. Lalu dimana tempat rakyat? Ya, hanya ikut saja. Dalam perjalanannya bergerilya sering sekali dia terbentur karena perkara ini. Seperti waktu ia pertama mendarat di Kuba untuk menghancurkan kediktatoran Batista. Dalam hagiografi tentang Che, kisahnya begitu heroik dan hebat, tapi sebetulnya kelompok foco itu mendarat di tempat yang salah dan seluruh rencana penyerangannya gagal. Dengan kata lain pemikirannya yang kita kenal lewat buku-buku itu sebenarnya adalah produk pergulatannya dalam revolusi Kuba. Di dalam revolusi itulah pikiran-pikiran terpentingnya lahir, termasuk pikirannya tentang perang gerilya. Artinya dia bukan melahirkan teori baru bergerak, tetapi membangun teori dari pengalaman berjuang.

Khusus soal teori gerilya atau teori perang itu datang kemudian, bukan sejak awal. Pada awalnya perjalanan gerilya dia adalah kisah kegagalan yang terus menerus. Pada awalnya Che dan kawan-kawannya masuk ke Kuba untuk bergabung dalam joint action. Tapi mereka terlambat mendarat karena salah satu orang di kapal itu, yang kerjanya melihat ke daratan, jatuh ke laut, sehingga kapalnya terpaksa putar balik, dan akhirnya mendarat satu mil dari tempat tujuan semula. Dan tempat pendaratan itu di rawa-rawa. Che marah-marah, dan banyak anak buahnya yang tidak sampai di tujuan. Jadi seluruh penyerangan yang digambarkan begitu heroik sebetulnya gagal. Nah, saya berpikir bahwa penting bagi kita untuk melihat pengalaman orang seperti Che Guevara atau "pahlawan" apa pun dengan cerita-cerita nyata di balik penggambaran yang dahsyat tentang mereka.

Soal lain, Che Guevara biasanya dikaitkan dengan moralitas, dengan komitmen perjuangan dan sebagainya, tapi sedikit sekali orang yang berbicara tentang pemikiran ekonominya. Nanti John bisa bercerita lebih panjang tentang hal itu. Kita ingat bahwa setelah episode gerilya itu selesai, Fidel Castro menjadi pemimpin, dan Che diangkat menjadi menteri dan gubernur bank sentral kalau saya tidak salah. Tugasnya adalah mengurus ekonomi Kuba. Hal ini tidak banyak dibahas menurut saya, padahal luar biasa penting. Ide-idenya radikal luar biasa, sampai banyak orang menyebutnya terlalu radikal, kekiri-kirian atau leftist. Seorang pejabat Kuba mengatakan, pemikiran Che sebenarnya berlaku untuk masa depan bukan untuk masa sekarang. Misalnya ketika dia mencoba mengubah sistem penghitungan dalam ekonomi – yang biasa kita sebut akuntansi. Dia coba menyusun sendiri penghitungan keuangan negara yang sama sekali berbeda dan sebagai kritik terhadap sistem penghitungan yang digunakan dalam masyarakat borjuis, menurut dia. Konsep itu disebut budgetary finance system yang melihat perekonomian negara seperti sebuah unit usaha tunggal. Tidak ada lagi unit-unit usaha atau perusahaan yang berdiri sendiri dengan sistem akuntasi sendiri, karena segala sesuatu disedot ke pusat, dan direncanakan serta diatur dari sana. Ini seperti sistem perencanaan teratur yang sangat radikal. Semua perhitungan untung-rugi dan sebagainya, yang lazim kita temui dalam perhitungan ekonomi borjuis, ditinggalkan. Segala sesuatu digodok di lembaga perencanaan pusat, dan kebutuhan masyarakat dihitung dalam satu account. Ide ini memang tidak pernah dipakai di Kuba sendiri. Che sendiri mengakui bahwa untuk menerapkan ide tersebut diperlukan tingkat kesadaran berbeda, sebuah kesadaran yang lebih tinggi, yang dirumuskannya dalam tulisan "Sosialisme dan Manusia di Kuba". Di dalam tulisan tersebut dia bicara tentang harus lahirnya orang-orang dengan kualitas baru, kesadaran dan keyakinan tinggi bahwa kita mampu hidup bersama secara kolektif dan komunal. Saya pikir apa yang dia katakan – terlepas dari kita setuju atau tidak – adalah bayangan tentang masyarakat masa depan. Sekarang di Indonesia kita sulit membayangkan masa depan negeri. Jangankan soal ekonomi masa depan, masalah wilayah saja kita tidak bisa menjamin bahwa republik ini dalam beberapa tahun mendatang masih akan sama bentuknya seperti saat ini. Baru-baru saja muncul propinsi Banten, besok mungkin ada propinsi lain, dan Gus Dur sudah bilang cita-citanya ada 50 propinsi selama ia menjabat sebagai presiden.

Jadi, bayangan tentang masa depan ini menurut saya penting sebagai sumber insipirasi dan pikiran tentang perubahan. Membayangkan perubahan dalam ekonomi, perubahan dalam tatanan masyarakat secara menyeluruh, dan Che melakukan semua itu dengan konsisten. Dia mencoba merumuskan mulai sistem keuangan, mekanisme untuk menerapkannya, sampai pada konsep kerja sukarela, dan sebagainya. Dia coba menerapkan prinsip "bekerja sesuai kemampuan dan menerima sesuai kebutuhan" dengan merumuskan kerja sukarela yang total. Dia membentuk brigade-brigade kerja yang bisa dikirim ke mana saja untuk mengerjakan apa saja, mulai dari menyelesaikan persoalan nyamuk di kampung, persoalan panen tebu dan sebagainya. Soal tebu misalnya ada perhitungan bahwa panen akan anjlok jika tidak dikerjakan secara maksimal. Maka dihitung berapa besar kebutuhan tenaga, lalu dikirim sejumlah brigade untuk bekerja sukarela. Memang tidak semuanya berjalan mulus seperti yang diharapkan, tapi ini adalah ide-ide yang saya pikir jauh lebih penting dibicarakan ketimbang misalnya Che Guevara sebagai simbol perjuangan. Apalagi jika hanya berhenti pada kekaguman sesaat. Simbol boleh menjadi sesuatu yang penting, tapi yang penting diingat bahwa di balik simbol itu banyak pikiran yang sebenarnya perlu digali lagi.

Hal lain yang penting adalah pikiran Che Guevara mengenai susunan masyarakat, yang berkaitan juga dengan ekonomi. Di sini Che tidak hanya berbicara mengenai Kuba, tapi tentang benua. Revolusi harus bersifat kontinental, yang kemudian diterjemahkan dengan ekspor gerilyawan atau foco ke beberapa negara, seperti Kongo, Argentina dan Bolivia. Setelah Che meninggal proyek ini diteruskan dengan mengirim foco ke Angola, dan menjadi pelopor revolusi di banyak daerah. Dalam pemikirannya, Dunia Ketiga dan rakyat tertindas itu tidak bisa merdeka di satu tempat karena saling tergantung dan terkait. Ini aspek yang menarik dari Che menurut saya, karena lain dari rezim-rezim yang menyebut dirinya komunis pada tahun 1960-an atau 1970-an. Uni Soviet misalnya tetap berhubungan dengan Orde Baru di Indonesia. Urusan dagang tetap jalan. Bagi Che, hubungan semacam itu tidak haram, tapi perlu dipertanyakan apakah sudah seimbang, apakah hubungan itu adil? Di forum internasional seperti sidang PBB dia selalu membuat merah telinga para pejabat negara industri maju, terutama Amerika Serikat, dengan berbicara keras bahwa revolusi harus dituntaskan dan seterusnya.

Sayangnya pemikiran semacam ini jarang kita diskusikan, dan yang lebih populer di kalangan anak muda adalah sosoknya yang berani dan image heroik yang menurut saya diputus dari konteks revolusi Kuba yang melahirkan dia. Padahal yang perlu kita pelajari adalah apa yang sebetulnya membuat orang seperti Che itu ada. Kalau melihat Che sebagai orang berani, seorang santo yang agung dan hebat, kita mungkin mengabaikan kenyataan bahwa ia lahir dari sebuah proses revolusi di mana banyak orang yang terlibat, banyak kekuatan yang ikut mempengaruhi pemikiran dan perbuatannya. Saya lebih baik berhenti di sini dulu.

John

Saya melihat ada banyak buku tentang Che Guevara di toko buku di Indonesia sekarang. Mungkin ada lima atau enam buku, dan saya berharap mahasiswa, pelajar dan publik Indonesia bisa belajar tentang Che Guevara dan mengenalinya bukan sebagai icon tetapi sebagai pemikir dan aktivis. Saya pikir kita bisa belajar banyak dari pengalaman Che Guevara dan pengalaman revolusi Kuba. Tapi kita juga harus sadar, karena banyak hal yang tidak relevan dan situasinya sangat berbeda di Kuba atau di Amerika Latin. Nah, kita harus memutuskan apa yang relevan, kenapa kita belajar mengenai Che Guevara dan kenapa bukan tentang orang lain. Dan menentukan apa yang penting dalam tulisan dan kehidupan Che. Saya tidak mau menjawab pertanyaan itu langsung, karena pertanyaan itu untuk kita semua.

Mungkin ada orang mengatakan bahwa Che tidak relevan bagi kita. Saya baru melihat di MKB ada iklan "senjata tak selesaikan masalah". Che Guevara tidak setuju dengan itu, dan kalau dia di sini, dia pasti akan memaki kita. Ini satu soal besar, apakah perjuangan bersenjata masih bisa berjalan sekarang sebagai strategi revolusioner. Fay sudah menjelaskan bahwa rencana Che Guevara untuk membuat revolusi di luar Kuba itu gagal. Setahu saya ada empat kasus. Sewaktu Che di Kuba dia melatih gerilya, memberi senjata dan uang, lalu juga mengirim gerilya dari Kuba ke negara lain. Ada juga orang lokal yang dilatih, misalnya orang Peru datang ke Kuba, lalu kembali ke Peru untuk revolusi. Dalam keempat kasus itu dia gagal. Setelah mundur dari posisinya di Kuba, dia ke Kongo untuk ekspedisi, dan juga gagal. Kemudian ke Bolivia, dan gagal juga. Nah, kita harus belajar kenapa dia enam kali gagal, dan akhirnya mati karena kegagalan itu dibunuh oleh orang CIA di Bolivia bersama orang Kuba. Saya kira kita harus sadar bahwa perjuangan bersenjata tergantung pada perjuangan yang lebih luas. Perjuangan bersenjata sendiri tidak bisa bikin revolusi, dan kita harus sadar bahwa ada banyak perjuangan lain yang tidak bersenjata tapi penting, bahkan mungkin lebih penting. Waktu Uni Soviet mengirim senjata nuklir ke Kuba, Che juga mau memakai senjata itu. Dia mau launch senjata itu ke Amerika dan bilang begitu kepada wartawan. Che begitu semangat untuk melawan Amerika dengan senjata apa saja, termasuk senjata nuklir.

Saat ini ada banyak pasuan bersenjata di Amerika Latin, Afrika dan Asia . Di Aceh ada GAM, dan di Afrika yang berkuasa itu semua tentara, ada kelompok-kelompok kecil yang bersenjata. Dan saya kira di Afrika sekarang dan di tempat lain di dunia mungkin yang lebih penting bukan menambah senjata atau menciptakan kelompok gerilya baru, tetapi membuat gerakan non-kekerasan. Masalah sekarang justru karena terlalu banyak orang yang mempunyai senjata. Pada saat Che ke Kongo untuk membantu membuat pasukan gerilya, baru ada satu kelompok. Tapi sekarang Kongo hampir tidak ada lagi sebagai negara karena banyak kelompok kecil yang bersenjata dan saling perang. Di Kongo sekarang mungkin ada sepuluh pasukan gerilya, dan kalau kita bikin gerilya baru jelas tidak bisa bikin apa-apa. Di Amerika Latin kita lihat ada gerilya seperti Shining Path (Jalan Terang) yang berideologi Maois. Che juga diangkat sebagai orang Maois, yang berpikir bahwa petani akan bikin revolusi, bukan buruh. Petani bersenjata. Tetapi ada banyak pasukan gerilya di Amerika Latin seperti Shining Path yang menurut saya reaksioner. Mereka juga melawan orang kiri yang lain, membunuh orang sipil. Jadi kita harus hati-hati, karena ada gerilya yang bicara dengan retorika Marxis, Leninis, atau Maois. Tapi itu bukan berarti mereka progresif.

Ada contoh lain di Meksiko, yaitu kelompok Zapatista. Saya mengira bahwa mereka progresif dan juga bergerilya. Dalam konteks itu ternyata strategi gerilya sangat cocok. Tapi strategi mereka berbeda dari Che Guevara, karena strategi mereka bukan untuk mengambil kekuasaan negara seperti pasukan gerilya di Kuba, tapi hanya untuk membantu semua orang Meksiko membuat gerakannya sendiri. Zapatista hanya ada di Chiapas, di salah satu propinsi Meksiko, dan mereka bikin revolusi di situ. Lalu mereka mengatakan "kita berharap semua orang lain di Meksiko melawan dan memberontak". Itu berbeda dengan Che. Zapatista belajar dari pengalaman Che dan pengalaman revolusi Kuba. Semua rencana Che untuk ekspor revolusi di luar Kuba ternyata gagal. Ada satu perkecualian mungkin, yakni revolusi Nikaragua yang menang 20 tahun setelah perlawanan gerilya dimulai. Tapi mereka menang bukan hanya karena ada gerilya di situ, tapi juga karena ada gerakan yang lebih luas. Dan ada kontak antara gerilya dan masyarakat sipil. Artinya masyarakat sipil juga bikin revolusi, bukan hanya mengikuti pasukan gerilya. Di El Salvador dan Guatemala ada gerilya yang tidak menang, tapi mereka bisa memaksa negara untuk mulai negosiasi dengan mereka untuk membuat negara baru. Saya tidak bisa mengatakan bahwa strategi Che untuk perlawanan bersenjata itu salah, tapi kita harus hati-hati. Saya kira dalam situasi Indonesia, yang paling sekarang adalah bagaimana mengurangi konflik bersenjata, bukan menambahnya dengan yang baru.

Sampai sekarang saya hanya berbicara tentang strategi gerilya, tetapi sebenarnya ada juga soal ekonomi. Waktu Che jadi menteri perindustrian dan presiden Bank Kuba, dia sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang ekonomi. Ceritanya dalam sebuah rapat Fidel bertanya kepada peserta "apakah ada economista (ekonom) di sini?" Lalu Che angkat tangan, "Saya!" Semua orang yang hadir pada saat itu heran dan bilang, "kamu tidak tahu apa-apa mengenai ekonomi". Che menjawab, "Oh, economista, saya kira yang ditanya tadi apa ada komunista (komunis) di sini." [hadirin tertawa]. Memang pengangkatannya menjadi presiden Bank Kuba itu tidak jelas. Mungkin hanya karena dia bisa bekerja keras dan sabar untuk duduk lama.

Kalau kita membaca tulisannya mengenai ekonomi sekarang, ada banyak aspek yang bagus sekali, karena Che berpikir tentang bagaimana memajukan Kuba yang pada awlanya adalah negara dengan ekonomi terbelakang. Waktu itu ekonomi Kuba sepenuhnya bergantung kepada tebu. Kuba pada waktu itu seperti sebuah perkebunan tebu, hampir semua tanah yang ada dipakai untuk tebu dan produksi gula yang dijual ke Amerika. Separuh dari produksi tersebut dibeli oleh Amerika. Hanya itu saja ekonomi Kuba. Selain itu ada turisme, dan Kuba juga memproduksi cerutu. Dia kemudian berpikir bagaimana caranya mengubah ekonomi Kuba sehingga ada industri, bagaimana membuat ekonomi agar bisa membantu semua orang, supaya orang bisa bekerja dan mempunyai standar hidup yang cukup. Kalau kita membaca tulisannya dalam situasi sekarang ada beberapa hal yang tidak relevan. Tapi ada banyak yang penting dalam tulisannya. Pertama, bahwa kita harus melawan negara-negara imperialis. Pada tahun 1960-an tidak banyak negara Amerika Latin yang mendukung Kuba, karena di negara itu ada diktator, tentara atau elit-elit yang mau bikin deal sendiri dengan Amerika. Revolusi Kuba dan kebijakannya itu lain, karena pemerintahnya mau bikin ekonomi yang baik untuk semua orang. Sementara negara lain tidak peduli, seperti pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak peduli kalau ada banyak orang mati kelaparan, kalau ada orang yang kerja keras tanpa gaji cukup. Elit Indonesia melihat orang lain seperti binatang saja. Itu benar, termasuk pemerintah yang berkuasa sekarang, "orang reformis" yang bikin deal sendiri dengan IMF. Jelas bahwa Indonesia tidak perlu membayar hutang lama dari rezim Soeharto, tapi pemerintah sekarang nyatanya mau membayarnya. Kalau kita membaca tulisan Che dalam konteks ini, kita bisa mengatakan bahwa Che memang hebat.

Ada cerita waktu Che ke Indonesia setelah revolusi Kuba. Kira-kira tahun 1960 atau 1961. Dia diajak ke istana dan presiden Soekarno dengan bangga membawanya keliling istana, menunjukkan lukisan mahal. Akhirnya Che bosan, karena tidak peduli dengan kekayaan Soekarno. Dia berkata, "Mana cewek Rusia yang dikasih oleh pemerintah Rusia. Dia itu milikmu yang paling berharga?" Che rupanya mendengar bahwa Soekarno mempunyai simpanan baru dari Rusia. Tapi untungnya semua itu tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan presiden Soekarno tidak tahu apa yang dikatakannya dalam bahasa Spanyol. Tapi itulah Che, yang tidak bisa empathy dan tidak mau memahami Soekarno. Karena kalau menurut dia orang revolusioner itu harus punya perspektif lain.

Baiklah, saya mau tahu orang Indonesia sendiri berpikir apa tentang Che, karena kalau saya keluar rumah selalu lihat kaos bergambar Che di mana-mana. Setiap orang kelihatannya punya, tiap mahasiswa dan pelajar punya, bahkan ibu-ibu juga.

Moderator

Baik, itu tadi uraian dari John dan Fay, yang cukup luas. Ada satu hal yang menarik, yaitu soal konteks dan simbol, artinya sejauh mana simbol itu dipahami dalam konteksnya. Apakah benar kita mengangkat Che hanya sebagai icon saja, tanpa mengetahui bahwa dia punya gagasan brilliant dan revolusioner. Pertanyaannya, sejauh mana masyarakat Indonesia – kita semua – memahami Che? Kenapa semua orang memakai kaos oblong bergambar Che Guevara, aksi turun ke jalan juga membawa bendera dengan gambar Che, emblem juga bergambar Che. Jadi sebelum ditanya, John dan Fay melontarkan pertanyaan lebih dulu kepada hadirin, supaya hadirin bisa menjawab dulu. Silakan para hadirin. Kita hadir di sini bukan hanya sebagai pendengar, tapi juga sebagai pembicara. Apakah benar yang diceritakan tadi soal sisi gelap Che yang dulu juga suka main-main dengan perempuan. Mungkin ada teman yang suka mengibarkan bendera Che yang tersinggung…

Sigit

Di kalangan mahasiswa keterkenalan Che tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan group dari Amerika yang bernama Rage Against the Machine. Saya sendiri tidak sepakat dengan kelompok itu, karena sudah terkooptasi dan menjadi komoditi pasar. Dan ini bukan kesalahan Che Guevara atau kesalahan Rage Against the Machine. Mereka sendiri bilang Che ditampilkan karena sudah menjadi milik dunia. Kesalahannya, kelompok itu bermain di tatanan mainstream industri rekaman yang sangat dominan. Konsekuensinya, ketika figur Che Guevara itu diterima oleh audience atau publik, yang diterima itu hanya sebatas image saja. Hanya macho dan heroismenya yang diterima, sementara seluruh perjuangan dan pemikirannya justru kabur. Tapi di sisi lain kita melihat bahwa Rage Against the Machine pada tahun 1995-98 ikut di hutan-hutan Meksiko dengan orang Zapatista. Dalam beberapa event dia melakukan konferensi pers dan menyatakan bahwa 50% penghasilan kelompoknya diserahkan untuk mendukung perjuangan Zapatista.

Aku berpikir bahwa Che Guevara kemudian hanya diterima heroisme dan macho-nya saja, terutama karena permainan industri musik mainstream yang dikuasai kapitalisme global. Amerika kelihatannya ingin menebus dosa kemanusiaan mereka dan memberi kesan setuju dengan demokratisasi dan bahkan ide-ide sosialisme dan komunisme, seolah punya komitmen dengan perjuangan rakyat tertindas. Nah, di Indonesia selama ini tidak pernah ada gerakan yang mau meluruskan dan menjelaskan tentang siapa sebenarnya Che, dan apa gagasannya. Kita yang tahu pun kadang terdiam, dan akibatnya semakin banyak orang menyukai Che sebagai figur macho dan heroik. Nah, aku lemparkan ke kawan-kawan yang ada di sini, bagaimana sikap kita setelah kita mendengar penjelasan soal Che. Industri musik jelas menjadikan figur Che hanya sebagai komoditi di pasar, dan sayangnya tidak ada pembelaan. Ini sama halnya ketika kita berbicara soal Ska. Ska itu sangat berkomitmen pada pergerakan working class, tapi kenapa Ska di sini hanya ditangkap centilnya saja, hanya bicara cinta saja. Sementara kawan-kawan yang katanya mempunyai komitmen kuat pada kultur Ska juga diam saja.

Kembali ke Che Guevara, ini sama halnya. Bagaimana kita membuat pelurusan dan mengimbangi gambaran yang sudah dijadikan komoditi oleh kapitalisme global. Kalau Che hanya ditangkap dari segi petualangan, main motor, atau tingkah lakunya yang sedikit hedonis, aku pikir kawan-kawan mahasiswa yang sangat fanatik pada Rage Against the Machine dan menyukai Che Guevara pun akan mentok pada tataran macho, heroisme dan hedonismenya saja. Sekali lagi pertanyaannya, bagaimana sikap kita sebenarnya?

Oey

Pada tahun 1960 kebetulan saya pernah menerjemahkan buku Che Guevara, yaitu Perang Gerilya yang memang salah satu buku terpentingnya. Karena di dalam buku ini dia menjadi seperti Mao Zedong-nya dunia Barat. Karya ini penting karena perang gerilya di Tiongkok dasar teori dan sebagainya itu tidak ada di Kuba. Semua tindakan militer ala gerilya itu gagal. Sedangkan kalau di Timur, karena lahirnya dari bawah, dari kaum tani dan bukan dari atas yang membentuk grup-grup khusus begitu, lain lagi hasilnya. Ini memang perbedaan yang sangat mencolok.

Kedua, soal Che Guevara yang kita terima citranya sekarang, sebagai seorang yang tampan, heroik dan flamboyan juga. Tampilan ini sangat menarik buat anak-anak muda. Itu wajar saja. Tinggal sekarang membicarakan isinya juga. Soal ekonomi, memang bukan Che Guevara orangnya. Sama seperti Raul Castro yang secara tiba tiba menjadi menteri pertahanan. Itu semacam keberanian Kuba untuk tidak terikat pada norma lama. Sebenarnya ada teoretikus revolusi Kuba itu. Bukan Fidel Castro atau Che Guevara, tapi Carlos Cienfuegos, yang hilang dalam penerbangan ke luar negeri. Dia inilah tokoh utama dari revolusi Kuba.

Perang Gerilya itu memang buku yang menarik. Dalam buku tersebut dijelaskan secara rinci mengenai apa saja yang dilakukan jika orang mau menempuh perang gerilya, sampai membuat bom molotov. Kalau di sini orang bikin bom molotov, hanya dari sebuah botol yang diisi bensin, dinyalakan lalu dilempar. Padahal bukan seperti itu. Bom molotov juga memakai bahan kimia dan sebagainya agar bisa meledak. Tidak perlu dinyalakan. Kalau dilempar, membentur sesuatu, lalu meledak. Kalau di sini saya pikir kita agak primitif juga.

Hal lain yang saya anggap serius, adalah pemahaman Che Guevara bahwa revolusi tidak bisa menang hanya di satu tempat. Ini bau-baunya permanent revolution, bahwa revolusi itu harus sekaligus di semua negeri, jika seperti itu bisa dijamin menang. Ini penting, sebab kenyataannya revolusi Rusia yang tahun 1930-an kemudian diluncurkan sebagai "sosialisme di satu negeri" ternyata sekarang juga gagal. Apakah ini ada hubungannya dengan teori revolusi permanen itu?

Lantas, masalah ekspor revolusi. Kita tahu bahwa itu gagal karena tidak bisa memaksakan suatu negeri untuk ikut satu pola saja, sementara kondisinya begitu berbeda. Tapi yang menarik bagi saya adalah soal internasionalismenya. Che Guevara ini seorang internasionalis, dan konsekuen dengan itu. Dia bersedia mati di negeri orang dan bukan negerinya sendiri, dan hal itu dia buktikan juga. Kepahlawanan seperti ini punya daya tarik tersendiri.

Buku Perang Gerilya itu lebih jauh ternyata punya hubungan dengan Indonesia. Teman-teman tentunya ingat tahun 1968 ada gerakan di Blitar Selatan. Idenya bukan dari Che Guevara, tetapi dari Vietnam. Memang mau perang goa, membangun basis-basis di goa yang bertempat di Blitar Selatan. Kita tahu bahwa ini juga gagal, setelah dioperasi pagar betis semua habis. Belakangan dari Tiongkok juga dikatakan bahwa gerakan itu hanyalah advonturisme. Nah, saya jadi ingat salah satu bagian dari buku Che yang menyatakan begini, "menentukan basis tempat kita bergerak tidak boleh di areal yang bisa dicapai oleh angkutan umum, yang berada di jarak jangkauan kekuasaan resmi." Jadi harus di luar jangkauan itu. Kalau Blitar Selatan itu lain, itu sentralnya lalu lintas, jadi sebentar saja dipagar betis sudah habis.

Moderator

Ada dua hal menarik yang disampaikan oleh Oey dan Sigit dari Taring Padi. Sigit masih meragukan apakah teman-teman sekarang benar memahami gagasan Che Guevara. Ini pertanyaan sama yang dilontarkan Fay sebenarnya, sejauh mana sebenarnya kita memahami konteks yang melahirkan Che?

Agung Putri
Kita malam ini dibawa oleh romantisme tentang Che sambil melihat Indonesia. Saya sendiri tidak tahu apakah Che memang luar biasa atau menjadi luar biasa justru setelah dia mati. Artinya, apakah memang ada sesuatu dalam dirinya yang begitu lain, atau justru sejarah yang membuat dia menjadi lain, atau mungkin juga kedua-duanya. Kalau dilihat latar belakangnya, Che ini orang biasa saja. Ia anak dari keluarga middle class, anak seorang kaya Spanyol yang di Argentina pada saat itu dianggap sebagai warga kelas satu. Sejak kecil terkena penyakit asma sehingga harus pindah ke daerah pegunungan yang elit, untuk mendapat perawatan dan ketenangan. Saya pikir bukan masa kecil seperti itu tidak memberinya sifat berani. Tapi saya pikir dari pengalaman itu dia menjadi dingin, karena sejak kecil berjuang melawan penyakitnya sendiri. Kedua, saya pikir dia orang yang sangat suka membaca dan menulis. Pengetahuannya luar biasa banyak. Saat bergerilya dia juga membawa koleksi bukunya menyeberangi lautan menuju Kuba. Jadi, sebenarnya dia bukan orang yang berani, tapi semata-mata terlatih untuk berpikir karena sangat kuat membaca dan mampu menulis. Saat dia beserta rombongannya menuju Kuba, dia satu-satunya orang yang mengerti teori, jauh di atas Fidel Castro sendiri.

Kedua, dia ini juga seorang dokter dan menjadi sangat dingin terhadap luka dan kekerasan. Di satu sisi dia memang humanis, baik karena pengalaman maupun pengalamannya, tapi sebagai seorang dokter dia memang luar biasa dingin. Kita bisa lihat ini ketika membaca buku hariannya. Di situ dengan ringan dia melukiskan otak yang keluar dari tempurung temannya sendiri, yang ia tembak dengan pistol karena berkhianat. Dia menjelaskannya dengan bahasa kedokteran yang dingin, dengan melukiskan gejaga-gejala kedokteran setelah ditembak. Nah, kita bisa saja menafsirkan ini sebagai tindakan berani, orang yang konsisten dan sebagainya. Tapi saya melihatnya lebih sebagai orang yang dingin karena ilmunya, yang melihat gejala kematian itu dari segi ilmu. Memang ada juga tulisannya yang romantis dan lebih banyak beredar, seperti pidato-pidatonya dan tulisan dia mengenai manusia dan sebagainya. Tapi kalau lihat buku hariannya kita seperti menemui orang yang sangat kering, intelektual yang tidak punya sisi kemanusiaan. Begitulah, saya hanya menambahkan sedikit saja.

Anom

Seorang ahli Amerika Latin, James Petras, pernah menulis dalam bukunya Latin America in the Time of Cholera tentang kemunduran kaum intelektual di Kuba. Di situ dijelaskan bahwa pada tahun 1990-an revolusi Kuba mengalami berbagai kemunduran, dan ada kebutuhan untuk membangkitkan kembali semangat pemuda Kuba dengan memunculkan icon Che. Ini diperkuat dengan peringatan kematian Che dan dikembalikannya kerangka Che dari Bolivia ke Kuba. Dari segi medis, ada penyakit yang berkembang di Kuba saat itu, yakni kegemukan atau kubisitas, karena hidup keenakan. Komite Sentral Partai Komunis Kuba kemudian berusaha membangkitkan kembali semangat revolusioner untuk membangun sosialisme di Kuba. Tahun 1997 kematian Che diperingati besar-besaran, Fidel Castro berpidato di PBB dan dari sana icon Che pun menyebar luas. Sebelumnya ada periode kosong, di tahun 1980-an di mana icon Che tidak muncul. Tapi tahun 1997 itu Fidel Castro sendiri berpidato, "jadilah pemuda progresif seperti Che". Nah, di Indonesia realitasnya berbeda. Di sini saya lihat tidak jelas kaitan munculnya icon Che dengan situasinya. Memang kita harus mempelajari dedikasi Che pada perjuangan seperti yang diungkapkan. Ada konteks yang harus dipelajari, bukan sekadar melihatnya sebagai orang berani, heroik… [suara peserta lain: "mahasiswa sekarang juga berani"] Persoalannya, mahasiswa sekarang tidak menyimpulkan aktivitas mereka sendiri. Sederhana saja masalahnya. Che yang saya kenal melalui bukunya John Lee Anderson, adalah orang yang menulis semua pengalaman dan kegiatannya dalam buku harian. Sebuah buku kecil yang selalu dibawa. Di situ dia menulis apa saja. Mau perang, menulis. Setelah perang, menulis. Jadi tergila-gila menulis dan membaca. Dari situ dia menyimpulkan pengalamannya dan membuat teori, misalnya teori gerilya. Dengan menulis dia membaca kembali sejarahnya sendiri dalam melakukan perlawanan.

Dalam sejarah revolusi Kuba, Che sebenarnya mulai terlibat dalam perjuangan bersenjata kedua, setelah penyerbuan barak Moncada yang gagal. Fidel Castro ditahan setelah penyerbuan itu, lalu dibebaskan dan pergi ke Meksiko. Kemudian dia bertemu Che, berdiskusi dan mencoba mengulangi gerakan bersenjata. Revolusi Kuba memang unik, dan pilihan perjuangan bersenjata dilakukan karena gerakan massa tidak berkembang. Kuba adalah negara pulau yang kecil dan jumlah massa juga sangat kecil. Gerakan massanya tidak berkembang, sementara tingkat represi begitu tinggi. Nah, perjuangan bersenjata dipilih karena melihat perkembangan masyarakat seperti itu. Lenin sendiri ketika memutuskan untuk angkat senjata, dia menghadapi kesulitan bukan main. Pertanyaannya, apakah gerakan bersenjata merupakan tuntutan demokratik atau tidak? Dalam sebuah film karya Sergei Eisenstein, Battleship Ptomkin… kebetulan saya masih punya dokumentasinya, itu film tanpa suara… diceritakan bahwa perlawanan bersenjata di Rusia dimulai dari sebuah kapal, oleh kelasi-kelasi yang tidak terima karena daging jatah mereka setiap hari sudah ada ulatnya (belatung). Itu sangat sederhana. Kemudian ada salah satu kelasi yang meninggal karena daging itu, dan kemudian membangkitkan perlawanan masyarakat di pantai Odesa. Perlawanan itu dipukul secara represif oleh militer, dan membuat masyarakat bingung: "kenapa perlawanan damai kok dipukul dengan senjata, dibunuh?" Di sini slogan "senjata untuk rakyat" menjadi tuntutan rakyat, sebuah tuntutan yang sangat logis. Jadi, gerakan bersenjata itu juga tidak bisa dipaksakan. Kalau masih ada ruang dialog yang lebih besar untuk kedua pihak, ya kita kembangkan gerakan massa. Nah, begitulah pendapat saya, agar kita tidak melihat Che sebatas gantengnya saja.

Hendrik

Tadi koordinator sudah menyampaikan bahwa kita berbicara tentang Che Guevara. Fay dan John sudah memperkenalkan beberapa pemikirannya, dan menekankan bahwa kalau kita berbicara tentang dia, maka tidak bisa dilepaskan dari pemikiran-pemikirannya. Jika memang Che ditampilkan sebagai idola atau tokoh, maka kita harus memahami betul pemikiran-pemikirannya, jadi tidak hanya mengidolakannya secara membabi-buta. Tadi diuraikan bahwa Che membentuk foco, yang menjadi pelaksana revolusi. Sebuah kelompok inti yang berkomitmen tinggi dan bertugas untuk menjalankan revolusi. Saya pikir dalam hal itu Che benar, tetapi tidak mutlak benar. Setiap perubahan pasti mempunyai syarat-syarat. Ada syarat penentu dan ada syarat pembantu. Syarat penentu di sini menurut saya adalah kondisi masyarakat itu sendiri. Sementara foco atau kelompok inti ini perannya adalah sebagai faktor subyektif, yang sangat diperlukan. Memang, seandainya syarat penentu itu sudah memenuhi untuk perubahan, tetapi kelompok inti itu tidak ada, maka perubahan tidak akan berjalan. Sebagai contoh kita bisa melihat kondisi masyarakat Indonesia sekarang. Menurut saya, sekarang kita sedang menghadapi perubahan, tetapi kelompok inti yang menempati posisi sebagai pimpinan ini belum tercipta.

Lalu pemikiran yang dikemukakan oleh Fay tadi, mengenai prinsip "kerja sesuai kemampuan, dan menerima sesuai kebutuhan". Saya melihat saat ini, prinsip itu dijalankan di negara-negara yang menganut paham komunis, tapi tidak berhasil alias gagal. Di Cina sekarang ini diadopsi pula sistem kapitalis yang dulu dikecam habis-habisan. Kenapa? Karena pada prinsip "bekerja sesuai kemampuan dan menerima sesuai kebutuhan" pada periode tertentu memang bisa merangsang semangat, solidaritas pun tinggi. Tapi tidak bisa bertahan seterusnya, karena orang akhirnya akan berpikir "rajin atau malas, kok sama saja?" Akhirnya ditempuh sistem kapitalis itu.

Saya melihat ini dalam kaitannya dengan Che Guevara sebagai seorang tokoh. Menurut saya, dia – seperti juga tokoh-tokoh lainnya – yang berhasil dalam periode tertentu, dalam situasi tertentu. Tapi tidak berarti bahwa seluruh policy atau pikiran-pikirannya mutlak berlaku untuk segala zaman dan segala situasi. Situasi yang berbeda menuntut buah pikiran baru, tahun yang berbeda menuntut kita meneliti kembali kondisi yang ada. Dari situ kita menciptakan, katakanlah, teori baru untuk menghadapi masalah. Jadi apa yang benar diterapkan di Kuba, belum tentu benar jika diterapkan di sini. Apa yang benar di Rusia, juga belum tentu benar diterapkan di sini.

Mengenai kata-kata Che Guevara bahwa perubahan hanya bisa dilakukan dengan senjata, dalam konteks tertentu, saya pikir benar. Tapi itu juga tidak berlaku mutlak, karena ada situasi yang jika kita paksakan bersenjata, justru akan buyar semuanya. Contohnya, bagaimana mungkin kita merdeka kalau tidak angkat senjata melawan Belanda. Tapi dalam kondisi lain, cara-cara semacam itu tidak populer dan tidak sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Jadi, yang penting adalah memahami kondisi masyarakat. Zaman dulu ada usaha menyontek cara-cara yang dilakukan Cina dalam menempuh revolusi, padahal kondisi Cina dan Indonesia sangat berbeda. Kaum tani di Cina memang sangat menderita, sehingga kalau angkat bedil mereka merasa tidak kehilangan apa-apa kecuali belenggu penindasannya sendiri. Sementara petani di Indonesia masih bisa makan kenyang tiga kali sehari dan masih mempunyai harapan. Dan untuk diajak menderita itu saya kira pada umumnya tidak akan mau.

Fay

Saya pikir Xanana Gusmão adalah tokoh menarik untuk dibandingkan dengan Che. Sejak tahun 1983 Falintil (Angkatan Bersenjata Pembebasan Nasional Timor Lorosae) menyadari bahwa mereka tidak akan menang melawan Indonesia secara militer. Tapi kenapa gerakan bersenjata itu tetap dipertahankan? Alasannya, tidak lain seperti yang diungkapkan oleh Hendrik sebelumnya, bahwa perjuangan itu memerlukan simbol, sebuah pernyataan "kita masih ada dan masih berjuang". Sejak tahun 1983 tidak pernah ada lagi latihan militer bagi pemuda yang direkrut, tidak ada lagi latihan menembak dan sebagainya. Nah, kalau kita lihat Falintil sekarang, mungkin kita bingung, "mengapa mereka berani melawan tentara Indonesia?" Usia para pemimpinnya sudah cukup tua, tapi mereka tetap pegang senjata dan bertahan dengan kondisi yang serba kekurangan. Saya pikir simbol itu memang penting dan pahlawan itu memang perlu. Tapi yang perlu kita tahu adalah apa yang ada di balik simbol dan tokoh itu. Maksudnya ketika melihat simbol bahwa perjuangan masih ada, kita perlu tahu apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh perjuangan. Nah, dalam hal ini yang dilakukan Xanana pada saat itu, memang luar biasa. Dia praktis mengubah seluruh strategi Falintil, tidak lagi berjuang dengan harapan bisa menang secara militer, apalagi setelah tahun 1983 basis-basis pertahanannya di desa dihancurkan oleh militer. Dia memindahkan basis perjuangannya ke kota, di pemukiman penduduk, membangun gerakan klandestin. Penguasa kerepotan karena susah membedakan perlawanan dari rakyatnya. Seperti sering dikatakan Xanana sendiri, "rakyat itu sendiri adalah perlawanan". Dia sering main-main juga, katanya "jangan tanya siapa yang berjuang di negeri kami, karena setiap napas itu adalah perjuangan. Bahkan ikan-ikan di laut pun mendukung perjuangan kami." Memang industri perikanan di Timor Lorosae masa pendudukan Indonesia itu memble.

Jadi, buat saya penting untuk memahami apa yang ada di balik cerita-cerita besar tentang para pahlawan dan simbol. Di balik semua itu banyak sekali pekerjaan penting, dan saya pikir, ini adalah hal penting untuk dipelajari. Bersenjata atau tidak, menurut saya, masalah pilihan strategis saja. Sepanjang pengetahuan saya tidak ada gerilya yang mampu bertahan selama bertahun-tahun tanpa basis pendukung sipil, tanpa gerakan rakyat atau gerakan massa. Kita bisa melihat FSLN di Nikaragua, Farabundo Marti di El Salvador dan sebagainya. Tidak mungkin mereka hidup tanpa gerakan perempuan, pendidikan popular dan lain-lainnya. Contoh yang paling baik adalah Vietnam. Ketika semua yang ada di atas tanah itu dibabat habis oleh Amerika, mereka pindah ke bawah tanah, dalam arti sesungguhnya berjuang di bawah permukaan tanah. Ini juga merupakan usaha yang menurut saya tidak main-main. Ho Chi Minh juga sadar bahwa dia tidak mungkin bertahan hidup hanya mengandalkan senjata. Pikiran yang sama ada pada Che ketika dia pertama kali terjun dalam perjuangan bersenjata dan menemui banyak kegagalan. Tadinya dia pikir perjuangannya akan mulus, turun dari kapal lalu bergabung dengan Gerakan 26 Juli, naik ke Sierra Maestra, turun ke Havana, dan menang. Tapi baru saja turun kapal, bertemu seorang petani yang ia pikir pendukung. Tapi rupanya justru si petani ini yang melaporkan "si Argentina gila" itu ke tentara. Dari pengalaman itu Che belajar bahwa gerakannya tidak mungkin hidup kalau tidak kenal petani.

Proses belajar ini yang menurut saya sangat penting, karena tidak ada jalan mulus menuju perubahan. Terlepas dari pilihan bersenjata, tidak bersenjata atau strategi lainnya. Memang perjuangan itu sesuatu yang kompleks, tapi terlalu sering dianggap sederhana. Sering kita mendengar seloroh "sudahlah, masalahnya sudah jelas. Pada pokoknya kita harus begini, begini…" Dan selalu lupa bahwa di samping "yang pokok" itu masih banyak masalah lain. Itulah pelajaran paling berharga yang saya tangkap dari pengalaman gerakan-gerakan semacam itu. Soal bersenjata dan tidak bersenjata, saya pikir kita mesti lihat lagi, apakah keduanya memang senantiasa bertentangan? Apakah memang itu pilihan yang harus dibuat seperti kita memilih baju? Kalau sudah pakai yang satu tidak lagi bisa pakai yang lain? Atau sebaliknya pilihan itu sangat fleksibel dan berkait? Hal-hal seperti inilah yang perlu kita diskusikan lebih lanjut.

John

Menurut saya ironis sekali bahwa Che kemudian menjadi icon, karena dia sendiri mau mengorbankan dirinya sebagai manusia atau individu. Dia tidak mau lagi menjadi individu dan catatan harian dia penuh dengan pikiran seperti itu. Dia maju jadi "kita-individu", atau mau jadi manusia kolektif. Tapi justru setelah dia mati ada kultus. Memang sebagai orang, Che itu luar biasa dan banyak orang pun mengakuinya. Jadi, saya kira kita justru mengkhianatinya kalau memuji dia sebagai individu, karena justru itulah yang tidak dia inginkan.

Ayu

Tadi di awal diskusi Sigit bertanya, bagaimana Che tidak hanya sekadar menjadi icon. Saya juga tidak tahu caranya, tapi kita bisa belajar dari cara yang dipakai oleh Zapatista di Chiapas, Meksiko. Subcommandante Marcos secara sadar melihat pengarus pengkultusan Che, sehingga ia membuat keputusan bersama dalam gerakan Zapatista untuk menutup wajah mereka. Dia sendiri bukan commandante, tapi subcommandante. Komandannya adalah rakyat. Dia sendiri sulit ditemui. Wartawan yang akan menemuinya harus bertemu dengan sekian lapis rakyat dan kadang-kadang setelah seminggu penuh baru bisa bertemu dan mewawancarainya. Begitu juga dalam pertemuan-pertemuan di pegunungan Chiapas setiap musim panas. Ada ribuan orang, wartawan dan lainnya, datang karena ingin melihat Subcommandante Marcos, tapi dia tidak muncul. Memang datang sebentar naik kuda pada hari terakhir, lalu menghilang lagi. Dia memang sangat sadar akan pengaruh media, dan mengatur strategi untuk kampanye tanpa terperangkap ke dalam pengkultusan individu. Sampai saat ini, orang hanya bisa menebak-nebak seperti apa sesungguhnya wajah Marcos. Setiap kali ada barisan berkuda yang memakai penutup muka, orang tidak bisa membedakan satu dari yang lain. Nah, ini saya pikir adalah tindakan konkret untuk mewujudkan apa yang dibayangkan Che tentang meleburnya individu dalam gerakan kolektif.

Moderator

Saya tidak dapat menyimpulkan diskusi tadi, paling tidak kita menyinggung Che sebagai icon, sebagai tokoh, dan juga mengeksplorasi pemikiran yang ditekuni dan dipraktekkannya. Mudah-mudahan ini bisa menjadi insiprasi bagi kerja kita selanjutnya, artinya bagaimana menghindari agar gerakan sosial tidak menjadi sesuatu yang terpaku pada tokoh dan individu. Ini tidak dapat dilepaskan dari adanya kekuatan pasar. Tadi ada teman-teman yang punya gagasan mengembangkan produksi kaset independen dari pasar. Pikiran itu relevan dengan pikiran-pikiran Che Guevara yaitu tidak mau kompromi. Masalahnya bagaimana caranya kita tidak berhenti di tingkat jargon saja, tapi merumuskan apa yang bisa kita lakukan bersama-sama untuk mengembangkan pemikirannya.