GERAKAN PETANI

diskusibulanpurnama. [Dbp.] 

16 Juli 2000

GERAKAN PETANI
Nara Sumber: Hedar Laudjeng, Moderator: Sentot S.

Hedar Laudjeng

Saya sebetulnya tidak membayangkan kalau diskusi ini serius. Saya ini seorang praktisi dan selama kuliah tidak pernah menjadi aktivis mahasiswa. Jadi mohon maklum kalau tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berat. Keterlibatan saya dalam persoalan-persoalan petani berawal dari kerja saya sebagai pengacara yang tidak tahu dagang. Saya tinggal di kampung dan karena itu lebih banyak berurusan dengan kampung. Sempat juga menjadi kepala desa lima tahun dan karena itu selalu berurusan dengan permasalahan masyarakat. Saya juga bersentuhan dengan soal-soal kesenian. Dalam kesenian selalu ada kebutuhan eksplorasi, dan saya bergabung dengan kelompok seniman setempat. Kebetulan di tempat kumpul itu kepala desanya dipecat, lalu saya ditawari. Saya terima tawaran itu dan semuanya mengalir begitu saja, tidak pernah direncanakan sebelumnya. Jadi itulah latar belakang keterlibatan saya dalam urusan petani dan masalah masyarakat serta agraria.

Saya kerja di Sulawesi Tengah dan ada pergerakan petani di sana. Nah, saya kurang tahu apakah gerakan ini masuk dalam kategori petani atau tidak sebenarnya, tapi menurut saya kalu bicara tentang gerakan maka berarti ada cita-cita yang diperjuangkan. Saya sendiri mulai dari kegiatan pembelaan bagi petani melawan perusahaan perkebunan sebagai pengacara di tahun 1990-an. Gerakannya sangat legalistik. Saat itu di Sulawesi Tengah gerakan mahasiswa belum bersentuhan dengan persoalan agraria dan petani. Banyak aksi mahasiswa memang, tapi lebih banyak pada soal porkas atau judi, prostitusi dan sejenisnya. Masalah agraria belum pernah disinggung dalam gerakan mahasiswa.

Saya mau ajak teman-teman menelusuri lebih jauh aksi-aksi protes petani ini. Di Palu sendiri protes petani terjadi di kampung Nunu, ketika tanah rakyat di sana dirampas oleh pemerintah sejak tahun 1974. Tapi mahasiswa saat itu sama sekali belum tertarik. Keterlibatan mahasiswa dan LSM secara massal baru dimulai tahun 1992 ketika pemerintah merencanakan pembangunan bendungan di tengah Taman Nasional Lore Lindu. Pada tahun itulah baru ada protes yang dilakukan mahasiswa dan LSM yang berkaitan dengan sumber daya alam. Dan sejak itu pula pengelolaan sumber daya alam menjadi isu utama bagi LSM di Sulawesi Tengah. Melihat pertanyaan ini, saya ingin kembali kepada pertanyaan semula: apakah ini disebut gerakan atau tidak?

Saya sendiri belum melihat petani atau masyarakat adat terlibat yang terlibat dalam protes itu punya cita-cita tentang perubahan. Saya belum melihat persoalan yang mereka hadapi itu adalah persoalan politik, sebuah kebijakan atau masalah struktural. Masalah itu memang jadi bahan pembicaraan ramai kalangan aktivis mahasiswa dan LSM. Memang LSM boleh dibilang menjadi motor dari protes-protes itu, tapi kecenderungan LSM di sana, seperti daerah lainnya, adalah mem-fotokopi apa yang terjadi di Jakarta. Ketika orang Jakarta ramai bicara jender, semua orang di sana juga omong jender. Kalau orang Jakarta omong masyarakat adat, begitu pula di daerah. Kadang-kadang ini tidak jelas juntrungannya. Kita banyak menemukan LSM yang mengurusi segala macam isu, tergantung apa yang terlihat "seksi" di mata funding-nya. Memang sejarah lahirnya NGO di sana berkaitan dengan funding.

Karena itu saya berpikir tentang jalan lain. Dengan pendekatan LSM, tampaknya gerakan akan sulit berkembang menjadi besar dan sulit dibangun. Salah satu indikasinya adalah gerakan protes petani selama ini belum mendapat respons dari kelompok petani di tempat lain yang merasakannya sebagai masalah bersama. Saya pikir persoalan ini juga terjadi di Jawa. Saya belum pernah mendengar ada protes petani di Jawa Timur misalnya yang mendapat respons dari petani di Jawa Barat. Masalah itu selalu mengganggu saya, apakah memang betul ada gerakan yang sedang kita bangun? Kelihatannya untuk kepentingan politik gerakan mahasiswa atau LSM juga berbicara tentang petani, tapi tidak ada upaya serius untuk membangun gerakan petani itu sendiri meskipun sudah ada berbagai jaringan dan forum. Di daerah juga ada kecenderungan membangun forum berdasarkan isu yang ada di Jakarta saat itu, hampir tidak ada yang membangun sebuah forum berdasarkan kebutuhan lokal. Dan sebaliknya ketika kebutuhan lokal muncul, orang di Jakarta seperti ogah-ogahan dengan forum itu karena tidak sama dengan format mereka. Inilah pertanyaan yang selalu mengganggu pikiran saya.

Saya kembali ke munculnya protes massal di Sulawesi Tengah. Waktu itu kami merasa tidak punya dasar yang cukup secara yuridis untuk melakukan pembelaan terhadap petani yang ada di Lindu. Hal itu sebetulnya sudah saya alami sebelumnya. Hukum kita sangat tidak memihak kepada petani. Inilah yang kemudian melatarbelakangi munculnya isu masyarakat adat di Sulawesi Tengah. Sebetulnya lebih sebagai landasan bagi pembelaan, khususnya dengan menggunakan hukum adat. Hukum adat di sini maksudnya adalah hukum rakyat, yaitu hukum yang berlaku di kalangan rakyat. Memang sejak awal istilah hukum adat ini punya banyak pengertian dan banyak disalahgunakan sehingga yang muncul kemudian adalah distorsi atas pengertian itu, seperti yang terjadi dalam forum teman-teman di AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). Ada bekas raja feodal yagn kemudian bicara tentang hukum kerajaan, padahal awalnya bicara tentang hukum rakyat.

Dengan hukum rakyat ini sebenarnya kita melakukan pembelaan dengan perspektif ke depan, yaitu membangun gerakan rakyat, bukan menghidupkan kembali lembaga-lembaga kerajaan. Dan ini terjadi tidak hanya di Sulawesi Tengah. Saya sempat diundang ke Bali dan melihat persoalan itu dialami semua daerah. Saya sendiri seperti frustrasi melihat semua itu. Bagi saya gerakan masyarakat pada dasarnya adalah gerakan kebudayaan, di mana kita membangun kembali kekuatan rakyat melalui apa yang mereka punya, melalui apa yang paling mereka pahami. Ada pengalaman di lapangan, ketika masyarakat menyatakan keinginan seperti itu tapi tidak secara eksplisit. Misalnya di Sulawesi Tengah ada orang Pakava, yang tidak menghendaki campur tangan pihak lain atau pemerintah dalam urusan mereka. Misalnya kalau ada perkelahian di antara lalu polisi datang dan menahan orang yang berkelahi, masyarakat akan ramai-ramai datang ke kantor polisi dan mengatakan bahwa itu bukan urusan polisi, tapi urusan mereka sebagai orang Pakava. Inilah bentuk protes kebudayaan yang sedang saya kerjakan sekarang.

Sebenarnya sejak di Lindu saya mulai bergerak seperti ini. Kami punya hukum sendiri, punya mekanisme penyelesaian konflik sendiri dan pihak lain tidak perlu mencampuri. Karena itu jargon yang selalu saya kemukakan adalah otonomi rakyat, yaitu rakyat mengurus dirinya sendiri. Negara harus berhenti campur tangan. Kalau rakyat punya sistem pengelolaan sumber daya alam sendiri, negara harus berhenti. Tapi sebaliknya kita tidak bisa terima semua hukum adat begitu saja. Harus ada nilai-nilai yang jadi patokan agar tidak terjebak pada kekurangan-kekurangan yang ada selama ini, katakanlah feodalisme atau perkembangan kepemilikan individual.

Saya bukan peneliti tapi sebagian dari petani yang bekerjasama itu satu suku dengan saya, sehingga saya lebih mudah memahami. Misalnya persepsi tentang sumber daya alam. Sumber daya alam bagi mereka adalah subyek yang tidak bisa diperlakukan seenaknya. Alam punya hak istirahat dan hak menolak untuk diolah. Mungkin kedengaran agak aneh bagi teman-teman di sini. Tapi di Sulawesi Tengah pemikiran seperti ini masih banyak, begitu pula dengan bentuk-bentuk pengelolaan sumber daya alam secara bersama-sama. Saya belum berani mengklaim itu kepemilikan komunal, tapi ada sistem pengelolaan padi misalnya di daerah Boya [satuan pemukiman terkecil di daerah Pakava – ed], yang mengatur orang harus berladang bersama-sama. Pengalaman menunjukkan bahwa orang yang tidak ikut tanam, maka tidak akan berhasil. Hal seperti itu yang ingin kita bantu, apalagi kalau cara itu kemudian berkonflik dengan negara maupun perusahaan-perusahaan besar. Itulah pekerjaan saya di sana.

Jadi kalau bicara hukum adat, sebenarnya yang saya maksud adalah hukum rakyat, bukan hukum kerajaan. Dan kalau bicara hukum adat maksudnya bukan orang lain harus pergi, sebab adat itu tidak statis. Persoalannya sekarang ini banyak orang yang campur tangan dalam urusan adat, mengurus masyarakat adat dan sebagainya, sehingga muncul juga konflik horisontal. Ini yang membuat orang di sana jadi marah, karena banyak orang yang tidak tahu masalah ikut campur, dan akhirnya menurut saya juga terjadi komodifikasi. Karena yang laku dijual masyarakat adat, maka orang ramai-ramai bicara tentang itu sampai akhirnya malah jadi konflik dengan kalangan petani.

Norman Sopan

Saya sebenarnya pendatang dan tertarik pada apa yang dibicarakan. Saya mengajar di Universitas Mercu Buana dan Universitas Trisakti, di samping saya juga pengusaha. Pembicara mungkin perlu lebih jelas apakah yang diperjuangkan itu petani darat atau petani laut. Menurut saya yang perlu diperjuangkan itu petani laut. Dia cari ikan dengan peralatan tradisional, kapalnya ngambang sampai nyasar ke negara lain, kemudian ditangkap. Ikannya juga tidak dapat. Sedangkan ikan yang dia cari dikeruk oleh kapal dengan pukat harimau.

Saya ingin tahu juga soal pembelaannya. Kalau di Jawa Barat seperti kasus Cimacan, petani dirampas tanahnya oleh pengusaha untuk dijadikan lapangan golf. Itu pernah dibela oleh Bambang Sulistomo, putranya Bung Tomo, rekan saya itu. Mereka sampai puasa di sana untuk menuntaskan kasusnya. Ada lagi kasus Tapos, tanah petani dijadikan peternakan. Masalah dengan petani, mereka itu mudah disewor. Sebagai contoh, mereka disuruh menanam cabe oleh pemerintah dengan iming-iming harga mahal dan seterusnya. Giliran panen harganya anjlok dan tidak menguntungkan. Mereka kemudian dipermainkan oleh tengkulak dan pengusaha. Jadi kalau bicara pembelaan, itu dari sudut mana? Sementara pemegang HPH semena-mena mengambil hasil hutan, petani yang ikut mengambil malah ditangkap. Nah, ini harus kita bela.

Bicara petani, saya ini juga petani, punya tanah di Jonggol. Hanya 100 hektar memang, tapi dalam pengelolaannya saya sertakan petani semuanya. Coba kalau tanah itu dijarah, bukan saya yang marah tapi petani-petani itu. Saya dekat dengan petani. Jadi, saya minta Hedar bisa jelaskan salah satu kasus baru kita bahas, karena saya bingung mau dibahas dari sebelah mana. Misalnya bisa bicara tentang petani cengkeh yang dipermainkan oleh pengusaha cengkeh. Kemudian kita bisa lihat sudut pembelaannya.

Hedar

Memang saya tidak bicara kasus, karena di Indonesia ini sudah berlimpah kasusnya. Tapi baiklah kalau memang mau lebih spesifik saya bisa kasih satu contoh nanti. Tapi yang ingin saya katakan sebenarnya bahwa kita perlu lebih banyak hidup bersama petani. LSM yang menyebut dirinya gerakan maupun mahasiswa yang selalu bicara tentang gerakan rakyat harus turun. Tapi sayangnya sangat sedikit yang mau tinggal lama-lama dengan rakyat. Hal lain kita perlu strategi informasi sehingga masyarakat tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Kita perlu lebih proaktif. Selama ini sebatas bicara saja, tapi belum dijalankan seperti seharusnya. Kalau hanya bicara kasus seringkali terbatas dalam penanganan kasus saja, dan akhirnya hanya bereaksi terhadap kasus. Ini yang saya sebut hobby kampanye. Basis pengorganisasiannya kecil tapi kita kampanye seolah-olah basisnya sudah besar. Karena kebiasaan begitu akhirnya kita sendiri percaya bahwa ini benar. Jadi, ketika terjadi "protes petani" tetangganya ternyata adem-adem saja.

Soal penanganan kasus, saya ini cenderung menghindari kasus sampai ke pengadilan, karena yang jadi cenderung menjadi bintang lapangan adalah lawyer-nya. Petani pilih tidur dan menyerahkan masalahnya kepada lawyer. Barangkali sudah saatnya kita memikirkan kembali gerakan bantuan hukum di Indonesia ini. Saya awalnya juga mulai dari sana, membaca buku-buku yang diterbitkan di Jakarta, dan akhirnya ambil inisiatif untuk membuat bantuan hukum. Tapi setelah bertemu beberapa aktivis di bidang bantuan hukum, yang ditulis di bukunya ternyata tidak bisa jalan. Bantuan hukum akhirnya menjadi cara menjinakkan petani itu sendiri. Contohnya kasus di Bohotokong. Itu kasus yang sudah berlangsung lama antara petani dengan perusahaan kebun kelapa. Petani sudah lama melakukan aksi reclaiming. Saya coba menghindari dan meminta mereka berupaya menempuh jalur legal. Mereka kirim surat sampai ke tingkat presiden segala, tapi tidak ada respons sama sekali. Kalau begitu, mengapa kita tidak coba mengadu kepada tetangga sendiri. Akhirnya jalan. Ada beberapa orang ditangkap dan baru dilepas seminggu kemudian oleh pengadilan, tapi reclaiming jalan terus. Dalam kasus itu saya juga tidak memaksakan publikasi, karena menurut saya petani akhirnya cenderung menggantungkan diri pada media massa. Mereka mulai tidak kreatif membangun informasi di kalangan sendiri dan desa-desa. Tapi sebaliknya saya tidak mengharamkan publikasi. Itu juga penting.

Kembali soal Sulawesi Tengah yang tidak jauh berbeda dari daerah lain. Memang benar. Misalnya ada kampung yang tiba-tiba diklaim sebagai hutan oleh pemerintah, dan orang yang tinggal di "hutan" itu dengan sendirinya dianggap kriminal. Karena menurut UU Kehutanan, "barangsiapa tinggal di kawasan hutan, dianggap melakukan tindakan pidana". Di Jawa ini banyak kasus petani kehilangan tanah. Begitu juga di Sulawesi Tengah. Menurut Sensus Pertanian, tanah yang dikuasai petani di Sulawesi Tengah makin menurun. Soal lain adalah ekspansi kota, semakin banyak tanah dikuasai oleh orang kota. Itu dimulai tahun 1970-an. Orang kampung berlomba menanam cengkeh karena saat itu sedang ramai di pasaran. Dan ini sangat berkaitan dengan kebijakan pemerintah, yang menghidupkan kembali klaim "tanah negara". Dengan klaim itu pemerintah dengan mudah memberikan tanah kepada siapa saja yang membutuhkan dan mampu membayar izin pengolahan dengan ongkos itu – dan itu jelas bukan orang kampung yang mampu. Jadi tidak ada bedanya dengan politik agraria zaman kolonial yang punya domeinverklaring. Tidak ada bedanya dengan zaman Belanda, tapi pada Orde Baru ini prakteknya malah jauh lebih jahat. Kalau di zaman Belanda ada daerah yang diperintah langsung oleh gubernemen, tapi ada yang tidak diperintah langsung. Di zaman merdeka disebut daerah swapraja. Aturan domeinverklaring itu hanya berlaku pada daerah gubernemen. Di Jawa dan Madura umumnya diperintah langsung, tapi kalau di luar Jawa sebagian besar swapraja. Tapi sekarang di luar Jawa aturan itu tetap berlaku, dan di situlah Orde Baru lebih jahat dari zaman Belanda. Setelah tahun 1970-an masyarakat baru tahu ada "tanah negara", dan kaget. "Kok sekarang ada tanah negara segala?" Jadi kalau ditanya pokok pembelaannya di mana, saya pikir yang terpenting itu pengakuan hak-hak rakyat, bukan kasus per kasus seperti sekarang ini. Kalau cuma kasus per kasus itu sama saja dengan tambal sulam. Karena itu kita perlu organisasi yang lebih solid.

Memang sudah banyak organisasi yang lahir, tapi mereka cenderung menyuarakan kepentingan tertentu, termasuk LSM. LSM ini berkaitan dengan funding, dan kalau tidak jalan, kan tahu sendiri akibatnya seperti apa. LSM besar butuh dana besar, LSM daerah juga begitu. Dan di sini terjadi jual-beli kasus. Ada inisiatif rakyat menampung informasi dan memberikan bantuan hukum dengan membuat posko. Saya minta dukungan ke NGO besar di Jakarta dan meminta terbitannya dikirim ke masyarakat,. Sampai sekarang terbitannya masih menumpuk dengan alasan tidak ada dana pengiriman. Lalu, ke mana semua yang diomongkan selama ini? Apakah orang di daerah yang harus ikut kita atau kita yang harus mendukung inisiatif itu? Kalau orang harus ikut kita, lebih baik jangan bicara gerakan rakyat. Mari kita bicara gerakan LSM, supaya jelas. Kalau tegas bicara LSM maka urusan semacam itu sudah merupakan hal biasa.

Ian

Aku dari LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi). Aku tertarik soal gerakan di Sulawesi Tengah itu, apakah termasuk gerakan atau tidak. Dari statement terakhir tentang pembentukan organisasi yang solid, sebenarnya masalah sudah terjawab. Kalau bicara penindasan atau penghisapan oleh rezim, wataknya di mana-mana sama, yaitu rakus. Mereka punya infrastruktur di seluruh daerah dan sudah disusun rapi. Gerakan petani secara nasional atau menyeluruh memang lebih bagus. Dan itu juga usulan LMND. Inilah yang menjadi dasar teman-teman membuat LMND. Kalau kita bicara perubahan sejati maka itu harus dilakukan secara nasional. Jadi gerakan petani tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Harus menyeluruh dan dalam organisasi yang solid. Persoalannya sekarang, bagaimana kita membentuk organisasi yang solid?

LMND sadar bahwa peubahan di Indonesia sekarang tidak mungkin dilakukan oleh mahasiswa, karena mahasiswa adalah kelas parasit yang tidak punya nilai lebih. Dia malah merampok punya orang lain. Yang paling penting adalah bagaimana mengorganisir masyarakat dengan cara orang yang sadar memberi injeksi kepada yang belum sadar. Propaganda secara nasional juga penting, karena itu yang menjadi kelemahan kita selama ini. Di daerah-daerah aksi tersumbat oleh media. Contohnya, kalau ada 50 orang di Jakarta yang demo, pasti diberitakan. Tapi di Sulawesi, ribuan petani berdemo tidak dimuat. Ini merupakan kelemahan dalam distribusi informasi. Jadi kawan-kawan dari media juga mestinya cepat tanggap dengan aksi pergerakan rakyat agar sama-sama maju bareng. Jadi intinya, yang penting adalah pengorganisasian petani secara nasional.

Hedar

Memang kita perlu organisasi yang solid. Tapi persoalannya, sudah banyak organisasi yang dibentuk, kenapa sampai sekarang belum juga solid? Saya pikir karena sejak awal kekuasaan Orde Baru tidak ada pendidikan politik. Di kampung-kampung orang bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Ini harus dijawab, dan siapa yang bisa jawab? Sekarang tidak ada yang menjawab dan bagaimana kita bisa membantu rakyat menjawab pertanyaan itu. Tentunya menjawab ini tidak bisa dalam semalam. Semua harus diperjelas agar menjadi kongkret berdasarkan apa yang dialami rakyat, dan kita perlu mengaitkannya dengan persoalan lebih besar. Inilah yang tidak terjadi di Sulawesi Selatan. Contohnya dalam pemilu kemarin. Golkar menang telak, termasuk di daerah "dampingan LSM", sehingga ada anekdot, "LSM pendampingku, Golkar pilihanku." Apa yang kita lakukan selama ini adalah kegagalan. Semakin banyak orang hidup dari LSM, semakin lama petani menjadi komoditi terus.

Lalu, kenapa yang di daerah tidak menerbitkan sendiri? Ibarat orang mengetik dengan komputer, tentu harus tahu apa programnya agar file-nya tidak error. Nah, anggaplah masyarakat ini sebuah komputer, maka kita harus pahami dulu apa pikiran masyarakat itu agar kita tidak error dalam memberi penjelasan. Kalau kita tidak memahami, dan tidak hidup dengan mereka, seolah-olah yang kita jelaskan akhirnya text-book thinking semua, dan itu hanya membuat masyarakat takut. Apalagi kalau bicara soal reformasi agraria. Itu persoalan riil yang mereka alami. Nah, bagaimana kita menyampaikan masalah ini? Kalau saya sering mengatakan – mungkin karena kurang baca – bahwa "siapa kuasai orang banyak, dia kuasai politik. Siapa kuasai tanah, dia kuasai ekonomi. Siapa kuasai ekonomi, dia kuasai politik. Siapa kuasai politik, dia kuasai orang banyak." Saya biasanya bicara sebatas itu saja, karena tidak tahu teori-teori besar. Seringkali kita ini terlalu banyak jargon. Padahal yang perlu adalah menyampaikan dengan bahasa sendiri dan mencoba berbicara dengan apa yang kita dan juga mereka pahami. LSM dan teman-teman mahasiswa juga kebanyakan jargon, misalnya "ganyang tujuh setan desa". Akibatnya bukan semakin banyak teman, tapi orang takut. Saya kira ini kebiasaan lama yang sudah gagal dan membuat orang marah, bisa-bisa kita disembelih semua. Tapi diulang-ulang lagi. Kenapa tidak bicara yang substansial saja? Di kalangan rakyat ada banyak potensi untuk pendidikan politik. Misalnya dalam masyarakat adat, ada konsep "komunalistik", atau ajaran-ajaran agama misalnya. Jadi yang penting adalah menangkap pikiran lokal dan membangun pergerakan bersama.

John Roosa

Saya hanya ingin tanya, kalau saudara katakan petani maksud apa. Buruh atau tani yang punya tanah? Kemudian kata "memperjuangkan", apakah itu untuk merombak segi kepemilikan atau memperjuangkan hak-hak mereka yang dirampas secara hukum? Ini berhubungan dengan penguasaan tanah. Kalau masalah organisasi yang solid, saya pikir mesti ada pemimpin yang solid juga.

Hedar

Saya bicara petani tadi maksudnya adalah petani yang tidak punya tanah atau petani gurem. Soal slogan "tujuh setan desa", saya pilih tidak bicara soal itu karena hanya menimbulkan perkelahian dan saling bunuh. Jadi saya memilih menciptakan musuh bersama yang lebih besar. Jadi kampung bersatu untuk melawan musuh bersama. Itu dulu. Harus ada pencerahan. Kemudian ada musuh bersama yang lebih besar. Kalau sudah selesai, baru bicara di antara kita. Sekarang ada masalah di mana-mana. Ada orang yang punya tanah sampai 30 hektar dan ada juga yang tidak punya tanah. Kalau kita ciptakan permusuhan di antara mereka, sebetulnya kita bunuh diri saja, sebab kekuatannya tidak seimbang.

Saya misalnya cenderung memilih local leader di kampung untuk pendidikan, meskipun dia punya tanah puluhan hektar. Karena kalau mendidik petani yang tidak punya tanah lebih dulu, maka pengikutnya tidak ada. Berapa puluh tahun yang kita perlukan kalau mendidik yang di bawah saja? Berapa energi yang dibutuhkan? Jangan-jangan, belum apa-apa sudah dimusuhi pemimpin lokalnya. Jadi saya biasanya tidak mempersoalkan ketimpangan dalam kampung lebih dulu. Sebenarnya penting juga pencerahan dari atas, dan akhirnya orang yang di atas bisa kritis terhadap dirinya sendiri. Itu sebuah proses, dan mungkin setelah itu akan terjadi pembagian tanah secara baik-baik. Pengalaman sejarah menunjukkan, kalau kita berangkat dari mempersoalkan kepemilikan tanah di kampung, maka hasilnya tragis. Menurut saya sekarang bukan saatnya untuk melakukan hal itu.

Kalau omong masalah hama tikus, bagi saya itu persoalan yang ditemui di mana-mana. Orang semakin tergantung pada obat-obatan dan bibit dari pemerintah yang dimonopoli orang-orang tertentu. Dalam gerakan masyarakat adat sebetulnya kita berupaya menggali cara-cara lama untuk mengatasi hama. Pengalaman saya di Pakava misalnya. Orang di sana hidup dengan ladang berpindah-pindah. Saya tanya, "kenapa harus pindah?" Mereka bilang, "tanah ini harus istirahat, kalau tidak bisa kualat." Saya tanya lagi, "kenapa pindahnya jauh?" Dijawab, "kalau dekat dengan ladang semula, maka hama tikus dengan mudah mengikuti. Kita pindah jauh agar kalau panen tidak didului tikus." Nah, inilah contoh pengendalian hama sendiri.

Norman Sopan

Diskusi ini menarik tapi ngambang. Lebih baik kita bicara bagaimana membuat sebuah LSM yang betul-betul membela petani. Karena ini persoalannya luas maka harus dibicarakan hubungannya dengan Departemen Pertanian, Badan Pertanahan Nasional, kebijakan dalam negeri dan sebagainya. Kita mau ambil posisi di mana? Misalnya bagaimana di kotamadya, masyarakat bisa kembali bertani. Lalu petani mana yang akan kita bela? Ada kasus di Lampung, di sebuah kecamatan yang jadi areal kehutanan. Masyarakat di sana mungkin sudah hidup puluhan tahun di sana, tapi kemudian diusir. Jadi kita harus lihat kebijakan kehutanannya seperti apa. Pengalaman selama ini mestinya membuat kita tahu harus membela petani dari sudut mana. Dan salah satu caranya adalah membuat LSM.

Hedar

Berbicara tentang LSM, masalahnya sekarang LSM sudah banyak sekali. Apakah masih perlu ditambah lagi? Di Bandung ada Konsorsium Pembaruan Agraria, di YLBHI ada divisi pertanahan dan seterusnya. Pertanyaannya, apakah kita perlu tambah lagi LSM-nya agar banyak dan makin ramai? Kalau menurut saya, kita perlu organisasi lain. Bukan LSM yang diperbanyak tapi organisasi yang punya visi sama, bergerak dan bertindak yang sama. Kalau bicara hukum, sudah banyak yang melakukan kajian tentang hukum. KPA misalnya sudah menyiapkan rancangan Tap MPR untuk reformasi agraria. Ada juga yang sedang menyiapkan rancangan undang-undang tentang sumber daya alam. Saya kira sudah banyak yang memikirkan itu. Tetapi, apakah itu bisa jalan tanpa dukungan dari petani sendiri? Menurut saya, tidak akan jalan. Dukungan petani sangat diperlukan. Dan tidak akan ada dukungan dari petani tanpa organisasi yang kuat. Saya sudah lama bergerak di bidang hukum dan tidak percaya hukum Indonesia. Baik hukumnya sendiri maupun pengadilannya. Karena itu selama beberapa tahun terakhir saya menghindari pengadilan. Kalau rakyat cukup kuat, reclaim saja tanahnya.

Di Indonesia sekarang di mana-mana terjadi reclaiming oleh petani, tapi masih berdiri sendiri. Menurut saya salah satu persoalannya adalah LSM. Kasarnya, LSM membuat petani bergantung kepada mereka, dan karena itu LSM enggan duduk bersama mempersatukan gerakan. Mungkin sudah pernah dengar istilah-istilah seperti "dewa petani" atau "dewa buruh". Di luar Jawa memang transportasi itu sulit. Dari Sulawesi Tengah ke Manado perlu biaya besar. Tetapi di Jawa transportasi mudah. Nah, kenapa tidak ada gerakan petani se-Jawa? Padahal kalau ada gerakan petani di Jawa yang solid, itu sudah pukulan berat.

Gungtri

Saya mau lihat persoalan ini lebih jauh lagi, bukan soal siapa institusinya, akademisi atau apa. Pertanyaannya, gerakan petani itu gagasan besarnya apa? Saya membaca beberapa literatur – kebetulan karena memang harus mempelajarinya – tapi setelah mempelajarinya malah makin bingung karena begitu banyak isu. Artinya masalah itu dikemukakan seolah semuanya berdiri sendiri, sehingga tidak tahu lagi hubungannya satu sama lain. Misalnya isu perampasan tanah dan hak intelektual itu ada di mana? Sampai sekarang saya belum menemukan pembahasan yang komprehensif. Kemudian saya coba cari-cari sendiri dan akhirnya menemukan rumusan yang saya pikir menjadi penyambungnya, yaitu bahwa kita harus mengubah tata ekonomi Indonesia menjadi tatanan ekonomi agraria. Tapi saya jadi bertanya-tanya sendiri, apakah ini bukan romantisme ingin kembali ke pertanian. Mudah-mudahan ini cuma bias Jawa, karena memang di luar Jawa pertanian masih besar. Di Jawa kalau kita bicara pertanian sebagai "sokoguru ekonomi Indonesia", saya pikir agak sulit karena semua petani di Jawa ini sudah jadi buruh dan tanah punya pemodal yang arahnya ke agrobisnis. Kalau sekadar menuntut kembali ke pertanian, saya pikir bukan soal yang sulit.

Kebetulan saya baru dua jam lalu kembali dari Bali. Di sana Bank Dunia sedang bikin program living culture, artinya mengembangkan kebudayaan yang hidup di mana petani dengan seluruh gerak-gerik kulturnya, mulai dari mencangkul tanah, akan jadi tontonan turis. Artinya ekonomi agraria ini bisa juga nyambung ke pariwisata dan sebagainya. Nah, jadi masih ada pertanyaan seperti apa sebetulnya gagasan besar dalam gerakan petani itu. Sekarang ini belum apa-apa sudah dibuat pengkotakan, buruh beda dengan petani dan seterusnya. Memang dari segi pengorganisasian berbeda, tapi tujuannya sama. Nah, kita belum sampai ke sana tapi sudah ada pengkotak-kotakan. Buat saya ini tragris.

Terakhir, tentang kelas menengah. Kalau memang benar kelas menengah ini tidak peduli dengan masalah pertanian, itu hanya bukti rendahnya moral kelas menengah itu.

[tidak lengkap]