SASTRA INDONESIA: BANGKRUT?

diskusibulanpurnama. [Dbp.]

16 Juni 2000

SASTRA INDONESIA: BANGKRUT?
Nara Sumber: Melani Budianta, Moderator: Hilmar Farid

Moderator

Judul diskusi dalam undangan adalah "Sastra Indonesia, Bangkrut?" Memang sengaja memprovokasi, agar ada diskusi menarik. Nah, malam ini ada Melani Budianta, dan kita akan mendengar penilaiannya tentang sastra serta pertanyaan, apakah benar sastra Indonesia itu bangkrut.

Melani

Sebetulnya saya tidak dalam posisi tepat untuk memberi penjelasan atau menghakimi sastra Indonesia, karena di sini banyak orang-orang yang aktif dalam bidang sastra dan pengamat yang mungkin amatiran, tapi biasanya lebih canggih dan banyak tahu tentang sastra. Pertama saya akan memulai diskusi ini sekedar membangkitkan beberapa pertanyaan dan minta respons dari teman-teman, sekaligus menjawab pertanyaan "apakah sastra Indonesia sudah bangkrut?" Ketika saya mendapat pertanyaan itu saya agak bingung juga kenapa disebut bangkrut? Itu sudah menunjukkan posisinya Ddiskusi Bulan Purnama ini. Kedua yang bangkrut siapa? Jangan-jangan kita yang bangkrut? Dalam bulan Juni ini saja hampir setiap minggu (akhir minggu) ada undangan untuk mengikuti acara sastra. Setiap Sabtu biasanya acara lebih dari empat. Misalnya dalam peluncuran waktu ada pengadilan puisi Wowok, ada pengadilan puisi buruh yang diadakan di PDS HB Jassin, dan juga pada saat yang sama ada peluncuran buku. Sapardi Djoko Damono setelah sekian lama juga meluncurkan kumpulan puisi dengan judul Ayat-ayat Api. Cover bukunya sangat posmo. Selain itu di Fakultas Sastra ada acara mengenai sastra dan HAM dan pada saat yang sama ada acara pentas sastra jalanan/pengamen. Saya hanya bisa ikut sepotong-sepotong karena harus menghadiri undangan moderator bulan purnama ini. Itu contoh dalam satu Sabtu di bulan Juni.

Beberapa minggu yang lalu juga terjadi seperti itu. Dalam satu hari ada dua buku puisi yaitu buku suami saya sendiri, Eka Budianta dan Yuniarso Ridwan. Di halaman gedung Graha Cipta III acara oleh Emha, bukan Padang Bulan, dan dihadiri oleh lima ratus orang yang hadir. Ada juga Hamid Jabbar dan Taufik Ismail. Pada saat itu ada acara pembacaan cerpen yang sangat terkenal dari Hamsad Rangkuti "Hapuslah bekas bibirmu" dihadiri tujuh puluh orang di depan Taman Ismail Marzuki. Di depan Graha Cipta II ada lima ratus orang serta di Graha Cipta III ada seratus orang. Setiap hari Sabtu pada bulan juni seperti itu. Saya kewalahan untuk mengikuti acara itu.

Kemudian buku yang belum saya baca semakin lama semakin menumpuk, belum lagi manuskrip yang menunggu untuk minta kata pengantar atau komentar dan sebagainya. Sampai-sampai ada yang sudah enam bulan belum tersentuh dan menumpuk. Kalau melihat kenyataan itu lalu bertanya-tanya "siapa yang bangkrut?" Apakah kita sebagai penikmatnya bangkrut karena tidak bisa mengikuti semua acara itu lalu juga karena tidak bisa beli. Lalu gejala apa yang ada di sastra itu?

Pada satu sisi kita lihat kegairahan penyair dan sastrawan itu sebenarnya tidak pernah sirna dalam keadaan apa pun. Mereka terus berproduksi dalam keadaan apa pun. Meskipun tidak punya uang mereka tetap saja menulis. Ini terbukti ketika 1997/1998 kami dari KSI membuat penelitian kecil untuk sekedar memetakan komunitas sastra di Jakarta dengan modal dengkul. Kebetulan yang mengerjakan juga memetakannya bersama sastrawan dari KSI. Kita jalan ke seluruh Jakarta, Bogor, Bekasi dan Tangerang. Kita menemukan hanya sebagian yang ada yaitu 46 komunitas satra. Dan mempunyai pengikut yang beragam antar lain buruh dan dengan aktivitas bermacam-macam antara lain musikalisasi puisi. Ada yang pertemuannya rutin dan ada yang jarang. Penerbitannya pun bermacam-macam dari fotocopy, juga ada yang cetak tapi biasanya tidak pernah teratur karena kesulitan dana. Tetapi banyak acara itu terutama dari Komunitas Sastra Indonesia yang anggotanya sekitar 20 organisasi termasuk juga di luar Jakarta sampai Sumut. Mereka datang sendiri ketika ada acara KSI dari Sumatra juga dari Kalimantan, kadang-kadang nginap di PDS HB Jassin menggelar tikar. Acara itu tidak ada yang mendanai karena tidak ada uang dan sebagian besar di Tangerang itu buruh, maka paling mengumpulkan makanan ala kadarnya tapi acara tetap berlangsung. Pada waktu krismon (krisis moneter) juga tidak ada masalah. Komunitas seperti ini, setelah ada penelitian lebih lanjut, ternyata di mana-mana ada dan jumlahnya cukup banyak. Dengan berbagai kegiatannya mereka mensponsori seperti acara malam ini. Jadi dari aktivitas bersastra tidak terlihat tanda-tanda bangkrut. Kalau muncul pretanyaan itu munculnya dari aspek mana?

Kalau kita berdiskusi antara sastrawan hampir selalu ada berbagai macam keluhan. Selalu ada semacam rasa ketidakpuasan bersastra di tanah air ini. Itu hampir merata, di mana-mana ada keluhan seperti Jakarta, Surabaya, Padang juga Jogja. Keluhan itu mungkin karena ketidakpuasan terhadap tatanan lalu lintas saastra yang ada. Sebelum lengsernya Suharto kebijakan yang mengakibatkan pengekangan terhadap ruang gerak sastra bukan karena isi sastranya tapi lebih karena imbas politik. Ada ketidakpuasan terhadap birokrasitisasi yang kuat, dan di daerah ada sentimen terhadap pusat atau Jakarta. Misalnya di Padang orang merasa dijajah oleh Jakarta, juga di daerah lain sampai di wilayah Jakarta pun ada yang merasa dijajah oleh pusat. Saya dan teman-teman yang menelusuri ini kadang mendengar banyak retorika yang mengandung kontradiksi. Orang yang merasa dijajah itu sering dimuat di Kompas dan diterbitkan di Gramedia, tapi tetap saja merasa terjajah karena ketidakpuasan terhadap tatanan lalu lintas informasi maupun sastra, dan hubungan antara pusat dan daerah yang tidak diperhatikan. Hal ini dilihat dari beberapa kritikus yang membicarakan karya sastra.

Produksi karya sastra tidak pernah berkurang walaupun tidak selalu ada yang menerbitkan. Dan penerbitannya tidak selalu dalam bentuk buku, kadang stensilan dan kadang masih manuskrip yang diedarkan dalam bentuk fotocopy. Tapi penulisannya masih berlangsung. Buku-buku dan penerbitan sastra akibat dari krismon jadi berkurang. Sejak kapan pun buku tentang sastra memang tidak terlalu menguntungkan. Jadi kalau dibilang sekarang bangkrut, dulu juga tidak pernah tidak bangkrut. Oplah yang paling tinggi 3000 kecuali Saman dan Pramudya Ananta Toer yang bisa mancapai oplah sebanyak itu. Sedang yang lain maksimum 500 eksemplar itu pun habis dalam waktu 5 tahun atau 4 tahun. Yang paling kecil 300 eksemplar pun ada. Karena itu sulit mencari buku lama karena memang habis dan tidak diterbitkan lagi. Karena menerbitkannya pun dengan biaya yang sangat kecil. Dari segi itu mungkin bisa dilihat bahwa sastra kita bangkrut.

Orang yang ingin jadi penyair dan pengarang itu banyak sekali. Sekarang di Internet ada cybersastra.net yang dibuat oleh Nanang Suryadi dari Malang. Anggota 295 penyair dengan homepage yang relatif banyak dan punya mailing-list di mana anggotanya bisa mengirim tanpa sensor. Setiap hari rata-rata tiap hari 10 sampai 15 sajak. Dalam sebulan mailing-list bisa memuat 80 karya. Dengan begitu saya kira sudah banyak untuk kegiatan sastra atau apresiasi dan kritik sastra. Ini sebenarnya sumber keluhan juga. Keinginan bersastra sangat tinggi tapi di mana orang yang akan membahasnya? Orang yang menulis begitu banyak tapi pembahasnya tidak banyak dan akhirnya terhenti. Hal itu yang menyebabkan krisis itu tumbuh. Akhirnya hanya orang-orang tertentu saja yang terbebani tugas untuk memberi kata pengantar dan lain sebagainya. Ini juga penyebab penyair mengalami krisis karena tidak ada yang membicarakan mereka. Karena itu muncul komunitas-komunitas karena merasa tidak ada yang mau peduli tehadap mereka. Mereka membuat diskusi sendiri, menerbitkan sendiri dan juga mempublikasikannya lewat Kompas, Republika dan sebagainya tapi ruang lingkupnya semakin sempit. Sekarang akhirnya muncul jurnal sendiri, majalah sendiri. Masih beruntung sekarang sudah mulai bermunculan majalah budaya seperti dari JKB, yaitu MKB dan Mitra dan lainnya muncul. Itu sudah menjadi saluran. Tapi tetap yang membahas dan memberi apresiasi ini sangat terbatas.

Salah satu sumber krisis lain adalah sistem pendidikan yang seperti lingkaran setan, karena dalam sebuah sistem sastra ada produksi, ada pembacanya, ada jembatan antar pembaca dan penulis atau kritikus, kemudian ada reproduksi dan distribusi. Dari segi pengedarannya walaupun macet, tapi bisa lewat Internet dan lewat komunitas. Di situlah lalu lintasnya masih ada. Produsennya cukup banyak dan potensi pembacanya kalau digarap juga banyak. Tapi pendidikan yang menyeleksi dan mengasah memang tidak ada. Pengarang seringkali menyampaikan kekesalannya terhadap universitas. "Apa kerja fakultas sastra?" Itu pertanyaannya. Saya melihat fakultas sastra terus bergerak tapi geraknya sekarang untuk membangun bidang ilmu sastra itu sendiri. Dengan kajian ilmiah dan tidak terfokus untuk menciptakan kritikus sastra. Memang universitas tidak menjadi motor kecuali di beberapa daerah misalnya IKIP Padang yang kelihatan masih berfungsi. Di tempat lain kelihatannya kurang berfungsi untuk menciptakan pembaca, kritikus, maupun memfasilitasi dialog dengan sastrawannya. Memang sekarang mulai ada sastrawan yang masuk kampus lagi, tapi masih kurang. Jadi kalau pun ada yang perlu ditangani, maka itu adalah pendidikan yang sementara ini diambilalih oleh komiunitas-komunitas, lewat diskusi atau workshop dari seniman untuk seniman itu sendiri.

Satu hal lagi yang tidak digarap kalau dibandingkan di Perancis atau Amerika adalah sektor swasta. Walaupun potensi di situ ada, misalnya di Padang ada Semen Gresik yang sering mensponsori acara sastra, dan di lain tempat ada toko-toko buku, tetapi semangat untuk filantropi sastra di kalangan bisnis masih sangat rendah. Yang terlihat adalah seni lukis sebagai komoditi sudah mulai bagus, tapi sastra sama sekali belun dilirik dan dilihat potensinya untuk dikembangkan. Itu juga salah satu kekurangan. Ketika zaman sudah berubah, kebijakan sastra zaman orde baru kelihatannya mulai ditinggalkan. Kegiatan tanpa izin lagi seperti dulu dan sekarang intel juga tidak seperti dulu. Kalau dulu, apabila ada parade puisi buruh yang datang, malah banyak intelnya daripada buruhnya dan ditunggui lagi. Sampai-sampai bertanya "kapan barisnya?" karena dianggap parade puisi ada baris-berbarisnya. Sekarang sudah tidak diperhatikan lagi dan tidak dianggap berbahaya. Mereka lebih memperhatikan bankir-bankir, tapi kalau buruh lebih bebas untuk berpuisi.

Masalah kualitas. Sekarang siapa yang mengukur kualitas, dan apakah kita telah mengikuti perkembangan untuk memberikan penghakiman bahwa kualitasnya kurang baik? Pada pengadilan puisi Wowok, yang menulis kumpulan puisi Revolusi Buruh-buruh, Daniel Dhakidae dari Litbang Kompas menilai puisi Wowok itu seperti Berthold Brecht dalam dunia teater. Tapi dalam pengadilan puisi tersebut tidak ada yang membela, mungkin karena tidak ada yang membaca serius. Jadi untuk menghakimi dari segi kualitas – dibandingkan dengan yang ada di luar negeri – saya sendiri tidak berani menjawabnya, karena itu menuntut keseriusan kita membaca. Apakah kita sudah mengikuti betul–betul apa yang ditulis? Kalau ada yang mempertanyakan kenapa karya sastra tidak ada yang merespon, sebenarnya banyak sekali yang merespon. Ada puisi tentang peristiwa Mei 1998, Marsinah, yang masing-masing jumlahnya banyak. Yang belum sempat aku bahas.juga adalah kekerasan dan pergulatan dalam cara menampilkan kekerasan dan pergulatan estetis menghadapi itu semua. Dilihat dari segi itu, tidak mungkin dia tidak melihat apa yang terjadi di masyarakatnya. Di diskusi ini ada Martin juga Medi yang bisa menjawab masalah ini.

Dodo Karundeng

Saya pikir jangan-jangan masyarakat kita ini masyarakat fiksi. Dalam perjalanan ke sini saya merenung soal sastra bangkrut. Ini fiksi apa lagi dan khayalan apalagi yang muncul? Tapi justru itu yang menarik makanya aku hadir. Tadi dalam perjalanan saya melihat spanduk dan sadar bahwa dalam jurnalisme pun ada fiksi. Ini spanduk majalah Sabili, tulisannya "Muslim Indonesia Siaga Satu." Saya bertanya-tanya, siapa musuhnya? Tiba-tiba saya berpikir seperti seorang penulis cerpen, bahwa ini menarik. Waktu naik kereta saya melihat yang membuka pintu bukan petugas, tapi penumpang. Itu fiksi juga. Sesuatu yang sebenarnya tertib, tapi ada yang bertindak sembarangan, akhirnya semaunya sendiri. Contoh lagi ada pegawai kantor seorang. Lalu ada teman wartawati yang bilang, "wah hebat dia itu!" Akhirnya saya datang ke rumahnya. Peralatan musik elektriknya komplit. Saya pikir ini dunia aneh. Di rumah kita mewah, tapi di kantor jadi pesuruh.

Ada persoalan menarik lain. Kita ini masih hidup dalam tradisi lisan, belum tulisan. Nah, di sini ada Saut Sitompul. Dia sampai sekarang tidak berani mencetak bukunya karena kurang didukung oleh teman-temannya. Dia bacakan puisinya di bis-bis. Saya wawancara dia waktu ketemu di Senen, dan rasanya menarik juga melihat tradisi lisan masyarakat fiksi. Jangan-jangan memang seperti itu yang kita perlu. Misalnya Günter Grass. Dia muncul dan ada komunitas sastra yang mengujinya. Dia tampil dan dibantai habis-habisan dan melahirkan Günter Grass seperti sekarang ini. Tapi saya tidak tahu kalau di sini munculnya komunitas sastra pun masih sekadar berfiksi-fiksi saja.

Saut Sitompul

Supaya tidak salah informasinya dari apa yang dikatakan saudara Dodo: Saya sendiri tidak tahu secara khusus apa satra itu, tapi tiap hari melakukan sastra. Walaupun tidak ada kaidah yang secara terperinci saya miliki. Saya hanya menimbang, rasanya puisi ini belum OK. Memang batas-batas seperti itu sudah ada. Soal dukungan, sebenarnya bukan tidak ada tanggapan kawan-kawan. Bulan ini akan diterbitkan buku itu. Hanya saja memang di sana- sini secara teknis perlu kita tangani secara gotong royong.

Jadi yang paling pertama, kenapa saya memberanikan diri berhadapan dengan penumpang bis kota dan kerumunan orang? Karena memang saya merasa puisi saya oke, dan pantas dibacakan di depan orang. Hanya supaya orang juga mengalami hal seperti saya. Agar orang tidak hanya mengerti tapi juga mengalami. Karena banyak penyair sekarang yang… nah, ini ada contoh yang membuat saya merasa sangat terganggu. Saya ketemu seorang pengamen puisi di bis. Sebelum saya tampil, dia duluan dan bicara panjang-lebar tentang puisi. Dia mengatakan bahwa membuat puisi itu bebas. Memang saya pikir siapa saja memang bebas menulis puisi. Tapi yang dibacakan ternyata hanya kumpulan kata-kata sumpah serapah. Seperti "Suharto turunlah kau! Taiklah! Anjing kurap!" dan semacam itu. Aku jadi punya beban moral memberikan satu contoh yang tidak seperti itu kepada penumpang yang mendengar. Saya tungggu dia turun, lalu baru di Matraman saya bacakan puisi itu. Itulah yang saya maksud bagaimana seharusnya orang membuat puisi. Rata-rata penyair punya tekniknya sendiri, dan tidak ada buku tentang cara menulis puisi. Sampai sekarang saya belum temukan. Saya menulis puisi ibarat melukis. Apabila kurang baik, maka aku rombak-dan aku rombak agar jadi lebih bagus.

Melani

Terimakasih saya jadi ingat beberapa kasus lain. Fenomena penyair ngamen itu sudah banyak. Bukan hanya di Jakarta tapi juga di daerah lain. Di Padang misalnya pengamennya itu kebanyakan mahasiswa yang kuliah di Padang, lalu ngamen di bis antar kota. Dia harus naik bis dari daerahnya dan mengamen dengan bersajak sepanjang perjalanan untuk mendapat uang saku. Lalu pulang kuliah baca sajak lagi untuk membayar kuliah. Ada peneliti asing yang sempat kerepotan, "Ini bagaimana mendatanya? Bagaimana mencatatnya?" Saya bangga anda akan menerbitkan buku, dan memang buku penuntun menulis puisi itu tidak ada, dan justru kalau ada akan merusak karya sastra. Jadi kalau ada, lebih baik dibakar saja. Jangan-jangan yang dikatakan di buku itu malah keliru. Anak saya misalnya ikut pelajaran ekstra-kurikuler sastra, dan dia malah mengeluh tidak bisa membuat puisi karena sebelumnya diajari cara membuat puisi dengan rumus AB-AB dan sebagainya itu. Jadi kacaulah ajaran-ajaran deklamasi seperti itu.

Saya tertarik dengan respons tadi tentang masyarakat fiksi. Apakah kita sudah terlalu senang berfiksi? Saya kira memang ada kebutuhan membaca dan menyikapi fiksi yang membodohi.

Akhir-akhir ini muncul jenis sastra yang tidak saya duga, yaitu dua puisi yang ditulis dalam bahasa Mandarin dan diterbitkan Harian Indonesia. Penyairnya lahir di Indonesia, dan karya-karya mereka akhiryna diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh KSI. Dalam sebuah peristiwa penyair itu kita undang. Mereka membaca puisinya dalam Mandarin lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indoneisa oleh kawannya di Tangerang. Usia para penyair ini umumnya 40 tahun ke atas. Sejak reformasi mereka mulai kumpul dengan beberapa kelompok buruh. Nah, setelah karya-karyanya diterjemahkan kita lihat ternyata kritis terhadap Orde Baru juga, soal polisi masuk desa dan sebagainya. Puisi yang dimuat dalam Harian Indonesia juga sangat kocak dan lucu, apalagi caranya mendekati masalah "SARA". Karena tampil dengan lelucon, maka masalahnya terasa lebih enteng. Inilah sebagian kekayaan dunia sastra kita.

John Roosa

Bicara tentang kebangkrutan sastra, mungkin lebih tepat kalau dibilang "sastra Orba yang bangkrut". Saya lihat sastra sekarang memang mulai muncul, sementara sastra yang dibesarkan Orba jelas bangkrut. Tidak ada yang berguna maupun bermutu. Sebaliknya banyak penulis, pelukis dan seniman yang dihina, ditangkap dan dibunuh. Nah, sekarang sistem itu sudah bangkrut, dan kini saatnya kita memperbaiki sistem itu. Inilah ujian bagi sastrawan Indonesia.

Martin Aleida

Saya ingat waktu pertemuan di UI hari Jumat kemarin, ada yang membacakan sebuah puisi yang pernah dimuat majalah Zaman Baru. Puisi itu dibacakan dengan baik. Pada zamannya, di tahun 1960-an, memang itu salah satu puisi terbaik. Nah, hebatnya yang memberi applaus luar biasa adalah rekan-rekan mahasiswa yang duduk di sebelah kiri. Mereka sangat antusias. Lalu Taufiq Ismail membacakan puisinya. Saya tidak tahu kenapa mahasiswa yang duduk di sebelah kanan tidak tepuk tangan. Saya pun tidak. Saya pikir ini gejala menarik karena setelah Taufiq habis-habisan menghajar komunis, hasilnya tetap seperti itu.

Lalu saya berpikir mungkin kita tidak intens memahami berbagai peristiwa. Ada peristiwa yang dahsyat dan luar biasa, tapi kita tidak bisa intens memahaminya. Penyair sekarang malah sibuk mencari-cari masalah dan membuat masyarakat terpesona dengan kata-kata saya. Tapi tidak ada pergulatan hebat untuk mewakili kenyataan ini. Orang yang terbuang tidak ada yang mewakili. Saya kira dalam hal ini Sobron Aidit sendirian saja, dan dia hanya potret kecil dari kehidupan kaum terbuang. Padahal itu adalah pengalaman dahsyat.

Saya pikir sastra kita sekarang tidak bangkrut, tapi justru lagi bangkit. Orang kita ini hobby-nya memang ngarang, dan baik. Nah, seharusnya ini didorong agar lebih teratur. Kalau dibandingkan dulu sekarang ini sudah lebih baik. Dulu tidak ada teknologi internet, sekarang kita punya. Dulu tidak ada perubahan politik tapi sekarang mulai muncul. Dulu orang Tionghoa tidak pernah muncul, tapi sekarang ada. Yang tetap sama adalah faktor penunjangnya, sehingga membuat pengarang terus berpikir tentang besok mau makan apa.

Peserta

Saya kira hebat sekali kalau ada orang yang bisa menggambarkan semua pengalaman dengan komplet, dengan intensif. Dan saya kira sampai sekarang orang seperti itu belum ada. Saya sendiri hanya penikmat sastra, bukan sastrawan. Saya ingin tahu apakah sastra itu sekadar untuk klangenan dengan bahasa-bahasa indah, atau sastra juga bisa melakukan revolusi? Puisi saya pikir tidak bisa membuat revolusi tapi paling tidak kita bisa merasakan masalah kemanusiaan di dalamnya. Saya pikir kalau karya sastra tidak dapat tempat di koran, juga tidak jadi masalah. Yang penting orang merasa perlu adanya karya sastra. Itulah yang jadi ukuran.

Melani

Saya ingin menanggapi Martin, dan saya senang dengar komentarnya tentang intensitas bersastra. Saya juga bertanya-tanya, apakah iklim tropis kita ini cenderung membuat orang ngantuk. Anak saya misalnya tidak suka baca sastra dari zaman Sutan Takdir. Dia tidak baca. Ada lagi dosen yang mengajar tentang novel, tapi sebenarnya tidak pernah baca novel. Lalu saya tanya, "bagaimana bapak mengajarnya?" Nah, ini semua soal intensitas dan keseriusan dalam bersastra yang mungkin sangat kurang.

Moderator

Ada dua soal yang saya pikir menarik untuk dicatat. Pertama, soal produksi sastra mulai dari fotocopy sampai ke Internet. Dan kedua soal intensitas yang ditekankan Martin. Melani kemudian mempertanyakan mengapa intensitas tidak muncul dalam kegiatan bersastra. Kalau bicara tentang sastra yang ideal memang sulit. Tapi yang pasti kita bisa bikin perbandingan. Hal lain, ketika bicara tentang kekurangan yang sering dijadikan kambing hitam itu Orde Baru, yang memang kambing. Tapi di zaman itu muncul juga orang seperti Seno Gumira, Wiji Thukul dan lain-lain.