RUANG PUBLIK DAN TATA KOTA

diskusibulanpurnama. [Dbp.]

18 Mei 2000

RUANG PUBLIK DAN TATA KOTA
Nara Sumber: Marco Kusumawijaya dan Christina Gantini, Moderator: Alit Ambara

Moderator

Ruang publik perkotaan, seperti Jakarta dirasakan sudah mendesak untuk dicermati. Saat ini banyak pihak merasakan bahwa pembicaraan persoalan ruang publik banyak terbentur pada peraturan perundang-undangan dan pengaruh modal yang ada. Dalam kesempatan ini hadir Christina Gantini, dosen Universitas Winaya Mukti Bandung jurusan arsitektur yang sedang magang di Universitas Parahiyangan dan Marco Kusumawijaya, pekerja di British Council dan sebagai arsitek. Keduanya merupakan nara sumber dalam diskusi kali ini. Pada kesempatan awal kedua nara sumber akan memulai dengan membicarakan gagasannya tentang bagaimana ruang publik dan penataan kota Jakarta. Hadir juga di sini mahasiswa, aktivis buruh, kalangan LSM yang diharapkan membuat diskusi lebih leluasa.

Christina Gantini

Secara historis kota Jakarta sebenarnya merupakan sebuah kota benteng yang didirikan oleh Pangeran Jayakarta. Sebelumnya, Jakarta merupakan perkampungan. Di sekitar perkampungan dari ujung utara Jakarta dibuat sebuah benteng kolonial, kemudian berkembang ke arah selatan menyusuri sungai Ciliwung yang selanjutnya membentuk aliran air di Monas. Kemudian dalam perkembangannya pada periode abad 20 dibentuk sebuah kota baru berdasarkan konsep Garden City di Kebayoran Baru yang berkembang terus sampai sekarang. Dilihat dari segi style, banyak bangunan yang mengadopsi bangunan kolonial awal abad 20. Karena dirasakan dengan iklim Indonesia tidak cocok, maka kemudian beberapa arsitek Belanda mulai menyesuaikannya dengan iklim Indonesia.

Dari segi planologinya, perkembangan Jakarta sebelumnya cukup tertata hampir mengikuti bentuk kota Den Haag, di Amsterdam dengan parit-parit di sekelilingnya. Tapi perkembangan akhirnya menjadikan Jakarta seperti sekarang ini. Perkembangan baru kota Jakarta yang dimulai dengan konsep garden city mengakibatkan perkembangan kota ini menjadi semrawut.

Marco Kusumawijaya

Saya sangat surprised dengan para hadirin yang terdiri dari berbagai kalangan. Saya juga ingin mendapat masukan dari beberapa teman. Kalau kita berbicara tentang ruang publik kota Jakarta, kita harus lebih teliti, bahwa Jakarta itu permasalahannya lebih jauh dari sekadar ruang publik. Hal pertama yang harus dikatakan adalah ruang publik itu baru bermakna bila ada kepublikan atau publicness. Kalau tidak ada publicness, maka tidak ada yang akan memakai ruang publik. Kepublikan itu mensyaratkan adanya tingkat kolektivitas tertentu. Saya berusaha berbicara dengan bahasa ini agar berbagai kalangan bisa menyambung. Jadi saya menghindari uraian yang teknis tentang arsitektur atau tata kota.

Yang saya rasakan menjadi masalah besar dalam ruang lingkup kita yaitu syarat minimal yang berupa kepublikan dari kehidupan Jakarta ini sangat lemah. Hal itu bukan hanya menyangkut hal terbuka saja, juga dalam hal lain seperti hal transportasi, usaha kita dalam memecahkan masalah pendidikan, perumahan, kegiatan publik dan sebagainya.

Saya sulit sekali menghindari kesimpulan bahwa memang pemerataan itu penting, karena tanpa pemerataan tidak ada rasa kolektivitas yang cukup. Saya tidak menganggap bahwa kolektivitas itu sesuatu yang mutlak harus ada, tapi bagaimana pun tingkat kolektivitas tertentu sangat diperlukan. Sejauh mana kota itu mempunyai ruang yang bernilai publik, tergantung masyarakat sendiri yang mengaturnya. Di samping itu juga sulit untuk tidak meyimpulkan yang dimaksud dengan pemerataan itu adalah kesejahteraan sosial ekonomi. Saya merasa kita perlu memiliki suatu tingkat pemerataan sosial ekonomi yang minimal. Dengan satu tingkat yang minimal itulah baru kita bisa membangun kolektivitas.

Moderator

Publicness masih merupakan pertanyaan yang masih harus dijelaskan lebih lanjut. Kedua, ada yang melontarkan isu tentang kesadaran dalam merebut ruang publik. Apakah ini bisa lebih dielaborasi? Dan yang lebih penting lagi seperti diungkapkan di depan adalah mengisi ruang publik ini dan juga mengetahui kendala-kendalanya, misalnya perundang-undangan yang menyebabkan arti ruang publik yang sebenarnya hilang. Kalau dilihat dari sejarah kota Jakarta ini pernah mempunyai ruang publik dan kepublikannya. Tapi itu kemudian hilang. Kecenderungan pasar bebas dengan privatisasi mengubah ruang publik menjadi ruang-ruang privat. Seperti mall-mall yang ada, sebenarnya milik pribadi yang dibuka sebagai ruang publik. Konsep kepublikan semacam itu sangat semu. Karena kita tidak bisa berbuat apa-apa kecuali sebagai konsumen yang berbelanja. Itu beberapa hal hal kunci yang bisa dielaborasi lagi dalam diskusi. Kemudian saya minta tanggapan dari kawan-kawan semua atau komentar.

John Roosa

Pendapat saya Jakarta adalah gudang, bukan kota benteng. Sejak awal kota ini dipakai untuk impor dan ekspor. Kita lihat sekarang ada dua masalah. Pertama orang dari daerah atau desa yang tidak bekerja, tidak mempunyai uang atau pengangguran. Kedua kita juga melihat bahwa pemerintah tidak mewakili publik, tapi lebih mewakili orang yang mempunyai gudang-gudang tersebut. Orientasi ekonomi pemerintah Indonesia lebih pada ekspor-impor, bukan pada pembangunan desa-desa di daerah, mengambil sumber daya alam untuk dibawa ke pasar dunia. Masalah di Jakarta berkembang karena struktur ekonomi yang tidak bagus dan tidak ada rencana pembangunan yang bagus untuk Indonesia. Untuk memahami Indonesia kita harus memahami struktur ekonomi Indonesia seluruhnya dan kebijakan ekonomi yang ada dari masa lalu dan masa sekarang. Menurut saya ada kesalahan historis menempatkan Jakarta sebagai ibu kota negara. Akan lebih baik kalau kita membuat ibu kota di tempat lain. Karena kita harus memikirkan soal ekonomi dan juga pembangunan untuk seluruh Indonesia.

Marco Kusumawijaya

Saya hanya ingin mengingatkan bahwa jangan-jangan kita lupa pengertian dasar dari public space. Menurut saya public space berbicara tentang social intercourse atau pergaulan sosial dalam produksi. Pengertian ruang publik berkembang seperti sekarang karena memang sudah bermain dengan berbagai kepentingan dan perkembangan. Hal tersebut bukan sesuatu yang baru. Dia lahir dan berkembang secara historis dan kita bisa tahu di mana sebenarnya letak perlawanan terhadap perkembangannya. Satu contoh, teman dari kalangan seniman bidang seni rupa membuat perlawanan terhadap iklan, hal yang sebenarnya sama atas perkembangan yang dibawa oleh kapitalisme.

Tahun 1961 pernah akan dirancang penataan tentang tata letak kota Jakarta oleh DPRS/MPRS. Konsepnya sederhana, yaitu bagaimana menyeimbangkan kota dengan kampung atau desa. Rencana tidak berlangsung karena adanya peristiwa 1965. Sejak tahun 1971 sampai tahun-tahun berikutnya tata letak kota Jakarta bahkan seluruh Indonesia ditangani Asian Development Bank (ADB). Hingga sekarang menurut data yang ada, ADB sudah mengeluarkan US$16 milyar yang berupa hutang. Sementara pada tahun 1961 perencanaan kota akan terjadi tanpa tergantung lagi ke bank-bank asing. Sekarang ini perencanaan tata kota selalu tergantung pada modal asing. Dan tidak ada kontrol tata kota dari publik.

Kita harus membuat ruang yang sangat besar dan harus dirancang, diperkuat dengan badan air. Karena air mempunyai yoni yang sangat kuat Jadi tidak cukup hanya patungnya. Kalau kita bicara space berarti bukan hanya di rumput karena ada pemantulan maka keberadaan air saya rasa perlu dipikirkan. Saya sangat setuju Monas itu diisi dengan berbagai hal sehingga akan menjadi sesuatu yang plural, meskipun masalahnya tetap yaitu Monas sebagai lingga bukan hanya besar dan tegak, tapi berada tepat di tengah-tengah. Kekuatan yang besar dan tegak di tengah ini sulit untuk dihancurkan.

Kalau bicara tentang public space hanya dengan pengertian intercourse saya rasa tidak benar, karena ada public space untuk hal lain misalnya, untuk keperluan domestik atau untuk anak bermain dan sebagainya. Jadi space itu bertingkat-tingat. Yang paling heran orang selalu menyebut ruang publik sebagai agora, dalam kebudayaan Yunani yang bukan hanya mempunyai arti sosial tapi juga politik. Ruang publik itu seperti ruang keluarga, semua urusan ada di situ. Apalagi ruang keluarga Indonesia, makan di situ, ngobrol di situ. Itu adalah ruang keluarga untuk satu polis, tapi sayang sekali agora hancur bersama hancurnya polis akibat totalitarianisme Romawi. Agora atau polis itu merupakan satu contoh luar biasa dari otonomi masyarakat kota. Yang kita perjuangkan di sini adalah otonominya, betul-betul kita perjuangkan dan wujudkan. Di situ baru terasa proses itu benar-benar penting .

Sebetulnya pernah ada diskusi di Kompas yang mengambil judul "Hak Atas Kota", kerjasama Kompas dengan Kelompok Arsitek Muda Indonesia. Kebetulan saya menjadi moderator dan membuat konsepnya. Intinya adalah proses itu penting. Masalahnya pembangunan tidak pernah dilakukan melalui proses konsultasi yang benar. Contoh yang paling ilustratif misalnya Pak Soetiyoso, pada saat diangkat menjadi gubernur ditanya oleh wartawan, "Apa programnya?" Jawabannya, "Wah, saya belum tahu". Setelah beberapa hari dengan Soeharto baru dia bisa menjawab apa saja yang akan diperbuat. Hal itu sangat ironis. Ilustrasi itu hanya satu dari banyak contoh lain.

Jakarta memang tidak dibangun dengan konsultasi yang nyata dengan masyarakat. Bukan hanya masyarakat kecil, masyarakat menengah, juga masyrakat besar pun tidak pernah dimintai pertimbangan. Kalau gubernur bertanya kepada pengusaha sana-sini, itu saya anggap bukan konsultasi. Konsultasi di sini adalah konsultasi terbuka/publik. Yang menderita di Jakarta ini bukan hanya anak-anak jalanan. Kita menderita di Jakarta bukan hanya dari segi ekonomi saja. Jalan raya macet juga membuat kita menderita. Semuanya membuat konflik yang seharusnya tidak perlu. Saya jadi mudah marah terhadap orang lain gara-gara macet. Kenapa hal ini tidak dijadikan program prioritas bagi seorang gubernur? Karena tidak dikonsultasikan dengan nyata. Hal yang perlu dibicarakan adalah bagaimana mekanismenya.

Sebelum kerja di British Council pernah bekerja di UNDP selama satu tahun. Program yang saya jalankan itu direncanakan jauh sebelum reformasi. Intinya adalah modernisasi pengelolaan kota dengan participatory programming and planning. Jadi masyarakat diikutsertakan. Hal itu cukup berhasil dilakukan misalnya di kota Kendari. Biasanya kalau program pembangunan itu ada yang disebut proses P5D. Artinya seolah-olah ada perencanaan dari masyarakat, naik ke kecamatan, lalu ke tingkat II, kemudian digodok di BAPPEDAL. Tapi setelah sampai di sana, tidak pernah dilaporkan kembali kepada rakyat. Dinas-dinas pemerintah yang langsung jalan. Di Kendari agak terbalik. Kecamatan dan kelurahan akhirnya tidak ada urusan dengan dinas-dinas. Setelah di tingkat kota dinas-dinas membuat program sendiri juga. Memang wajar kalau masyarakat ditanya tentang program, mereka hanya akan memikirkan lingkungannya saja. Tapi secara rasional dinas tugasnya memikirkan secara keseluruhan kota. Misalnya lingkungan sistem kereta api, tidak bisa dipikirkan di kampung, tapi mereka dipertemukan dalam forum yang sejajar dan disiarkan langsung serta terbuka. Sampai sekarang menjadi tradisi, setiap Jumat ada acara live mereka saling berkomunikasi. Di situ orang bisa bertanya kepada wali kota, kepala dinas. Saya melihat sendiri wali kota ketika ketemu di airport. Rupanya ada pertanyaan yang harus dijawab oleh kepala dinas PU, tapi kepala dinas PU-nya tidak ada. Dia meminta kepala dinas PU meninggalkan rapat dengan DPRD untuk menjawab pertanyaan. Dia bilang, "Tinggalkan saja DPRD. Pergi saja ke radio jawab itu pertanyaan dari masyarakat". Tidak mungkin kita melakukan hal seperti itu, tapi dengan mekanisme bagaimana kita menjalin konsultasi dengan DPRD dan gubernur yang dipilih. Untuk apa berbicara dengan gubernur yang tidak dipilih. Kalau kita melihat orang berkampanye supaya presiden dipilih langsung, syukur-syukur sampai gubernur, bupati, camat juga dipilih langsung. Untuk Jakarta hal itu penting, karena Jakarta itu besar dan penduduknya lebih dari 10 juta, DPRD-nya haya satu. Jarak antara kita dengan DPRD itu masih jauh. Proses itu harus bisa kita rebut. Jadi merebut Jakarta itu juga merebut proses.

Ada dua hal yang sangat krusial yang berkaitan dengan ruang publik khususnya Jakarta ini. Hal pertama adalah menyadarkan kepublikan yang masih banyak kendalanya, karena masing-masing jalan sendiri. Dan yang kedua adalah ruang publik yang kembali harus diartikan sebagai interaksi sosial yang bisa dilihat seluas-luasnya.

Peserta

Saya pikir dalam persoalan publik para pemilik modal tidak pernah peduli dengan kebutuhan publik. Perspektif mereka dalam membangun kota Jakarta adalah bisnis. Kita pesimis membuat public space bagi banyak orang, tetapi orang tidak peduli. Konsep yang telah ditawarkan Marco, menurut saya adalah konsep yang dibuat untuk memenangkan pemilik modal. Dalam konsep pemberdayaan, maka yang penting saat ini adalah kesadaran dari kelas menengah. Arsitektur hendaknya mulai mengoptimalisasi perannya. Tidak hanya sebagai pengambil order dari pemerintah, tetapi mengangkat gagasan dari bawah mencoba menegosiasikan ke pengambil keputusan. Peran semacam ini yang belum diambil oleh agen-agen tadi. Sementara kita tahu yang bisa mendobrak kekuasaan itu adalah agen. Kita berbicara tentang tata ruang kota, kalau agen-agen ini tidak pernah berpikir tentang ruang publik untuk rakyat bagaimana ide ini bisa sampai ke atas? Misalnya masyarakat kampung mempunyai gagasan tentang ruang publik yang begitu sederhana, di mana mereka bisa berkumpul, bisa berekspresi secara bebas, berkesenian dan tidak terkooptasi oleh kekuasaan. Gagasan ini masih kita temui di Jatinegara, Kampung Melayu dan lain sebagainya dengan adanya kesenian jaipongan. Kalau agen memikirkan ini sebagai ruang publik, maka sebetulnya hal ini merupakan sebagian dari pekerjaannya. Kemudian kita lihat bahwa taman-taman di Jakarta ini dipagari sehingga tidak bisa dinikmati oleh banyak orang. Ini juga membutuhkan perhatian yang sangat serius demi tata ruang yang bisa diharapkan.

Peserta

Dalam membicarakan ruang publik kita harus kembali kepada tatanan sosial, standarisasi sosial masyarakat. Saya ingin tahu bagaimana mengukur standar sosial tersebut untuk mengkaji ruang publik itu. Sebab yang saya lihat mereka mempunyai pasar tradisional yang mereka pergunakan untuk berkumpul dengan kapasitas orang banyak dan sangat bebas berekspresi dan tempat yang lapang. Secara ekonomi sudah baik, tapi di Jakarta ini jarak antara si kaya dan si miskin sangat jauh.

Saut Sitompul

Pengertian saya tentang ruang publik ini, anggap saja kalau ada kerumunan orang di suatu tempat, hal ini bisa dijadikan ruang untuk mengekspresikan apa yang saya inginkan. Contoh, saya sebagai pengamen yang tampil di bus-bus. Dengan penampilan itu, seolah-olah yang ada dalam ruangan bus itu memang membutuhkan saya. Sehingga kalau saya berhadapan dengan mereka selalu mengatakan semoga anda terhibur dan lain sebagainya. Seolah-olah sudah merupakan kebutuhan mereka. Walaupun mungkin ada yang complain karena dengan penampilan pengamen merasa tidak nyaman. Ruang publik untuk kebudayaan, kesenian saya pikir berbeda. Ruang publik untuk sastra atau kesenian memang tidak terbatas dan begitu luas.

Marco

Ruang publik disini adalah plural, dan juga harus menerima kemungkinan diberlakukan atau tidak karena harus dimusyawarahkan. Kembali kepada pertanyaan, bagaimana mengatur tingkat ruang kota? Ada yang sedikit kaku dan ada yang lewat musyawarah. Dalam kehidupan tradisional kita, memang betul ada yang disebut tata krama dalam menentukan ruang. Misalnya dengan permisi di tengah perjalanan. Kita harus sadar bahwa tata krama itu adalah panggung sandiwara, kalau kita harus membuat perilaku baru, kita buat perilaku baru. Kalau kita butuh tata krama baru, kita harus buat tata krama baru. Saya mempunyai pengalaman pribadi waktu SMA, saya naik sepeda di tengah jalan berhenti karena ada orang menyeberang. Saya ditabrak oleh orang Jogya yang tutur katanya halus sekali. Ada juga di sebelah saya mengalami hal serupa, dia seorang bule yang berhenti kalau ada orang yang menyeberang di sepeda cross. Hal itu sudah menjadi kebiasaan yang melekat. Saya juga selalu bilang kepada sopir saya, "Kamu harus mengalah dengan pejalan kaki". Sebenarnya pejalan kaki mengalah dengan mobil dalam aturannya tidak ada. Jadi setiap lingkungan membutuhkan tata krama baru dan bagi saya kota adalah satu lingkungan baru dan membutuhkan tata krama baru. Dan kadang-kadang kita tidak sadar bahwa seolah-olah tata krama itu begitu saja dan tidak bisa diubah seperti bayi baru lahir.

Di negara maju pun tata krama kota itu dibentuk dan diajarkan. Sehingga sebelum 1970 an itu berantakan di Cina. Di Inggris pun, masih di zaman Beatles, ketertiban lalu lintas di sana masih omong kosong. Tetapi ada kebersamaan untuk menyadari hal itu dengan membuat program yang konkret, mengkampanyekan tata krama baru. Di persimpangan jalan mobil keluar akan saling ketemu. Di Jerman ada cara tersendiri, setiap arus memasukkan mobilnya silih berganti. Hal demikian sangat damai tanpa harus ribut dan semua orang tahu karena ada sosialisasi sebelumnya. Tata krama seperti itu juga tidak akan kita temui di desa. Jadi kita jangan menganggap kebudayaan itu sebagai suatu yang tertanam, yang tidak dapat diubah. Jadi ukurannya menurut saya fasilitas umum harus lebih baik dari pada fasilitas untuk pribadi/individual. Karena kesenjangan yang terlalu besar, maka akan menjadi sulit. Ini mungkin definisi sosial demokrasi yang paling sederhana. Orang memerlukan kesamaan dalam suatu tingkat sosial ekonomi supaya bisa berbeda dengan hal-hal lainnya. Kalau tidak ada kesamaan dalam tingkat tertentu, dalam sosial ekonomi, maka tidak mungkin kita mengukur minimal, dengan begitu kita harus musyawarah dulu.

Menurut saya hal itu penting sekali dan dengan dasar itu kita bisa menentukan hal-hal yang lain. Tapi jangan dianggap ini mengajak ramai-ramai menyama-ratakan semua orang dengan statement. Saya rasa kurang bagus. Minimal orang mempunyai tingkat sosial minimal tertentu. Kalau ini sudah ada, maka orang akan lebih mudah dalam hidup di masyarakat secara kolektif. Pada masyarakat pluralitas, maka kita tidak perlu mengatakan Monas itu paling penting. Ada sisi lain yang lebih penting. Saya tidak akan bilang trotoar itu kurang baik, tapi jalan pun juga masih tidak baik.

Kita hindari cara berpikir yang mengatakan bahwa yang susah hidup di Jakarta itu orang yang jalan kaki atau orang miskin. Semua orang hidup di Jakarta itu susah dan semua orang bisa hidup lebih baik. Saya yakin jalanan kita tidak memenuhi syarat. Di Inggris dari jalan sampai naik ke trotoar maksimum 10 cm untuk kepentingan mobil dan juga pejalan kaki. Bagi mobil, kalau trotoar terlalu tinggi pelek bisa mentok dan rusak dan bagi pejalan kaki berbahaya bisa membuat orang jatuh. Akhirnya dalam menggunakan ruang itu orang tidak merasakan nyaman. Itu sisi teknis yang berhubungan dengan arsitektur. Ada juga pemecahan-pemecahan untuk menghindari konflik horisontal untuk mensejahterakan semua orang bukan hanya orang miskin/kaya. Meskipun dalam ilmu lain juga seperti itu. Memang dalam perkembangan teknologi sekarang harus ada keberpihakan kapada orang-orang lemah, karena dia kurang memiliki akses. Sedang akses berkaitan dengan proses yang harus diciptakan. Dan saya tidak mengatakan bahwa kalau tidak ada publicness lalu kita tidak bisa berbuat apa-apa. Semua harus berbarengan melakukan sesuatu yang nyata. Merumuskan publicness itu bukan hanya dengan wacana saja tapi juga dengan eksperimen. Dan saya merasakan bahwa hidup itu selalu eksperimen terus. Memang betul bahwa publicness itu syarat bagi public space. Karena itulah kita harus selalu memperjuangkan fasilitas bersama termasuk transportasi umum, karena memang termasuk juga publik space. Dan itu sangat mengintensifkan hubungan warga dengan berbagai golongan. Itu merupakan hal yang sehat untuk kehidupan suatu kota.