PROFIL TENTANG MUSEUM

diskusibulanpurnama. [Dbp.]

19 Februari 2000

PROFIL TENTANG MUSEUM
Nara Sumber: Sudarmadji Damais, Moderator: Alit Ambara

Sudarmadji

Pertama-tama saya ingin memperkenalkan diri. Saya bukan ahli museum tetapi orang yang menyukai sejarah dan kebetulan pada zaman Ali Sadikin disuruh mengurus museum. Saya menulis tesis tentang kebudayaan Polynesia. Nah, karena saya juga mempelajari Jawa -- maaf saja nanti kalau keluar bahasa Jawa dan juga ada Sunda-nya.

Istilah "museum" berasal dari bahasa Latin, yang bentuk aslinya dari bahasa Yunani, yaitu museon. Dulu ada kerajaan Yunani dan rajanya tertarik pada filsafat. Istilah philosophie, atau mencari hal-hal yang benar. Pada waktu itu dia mengumpulkan guru-guru besar dan membuat museon atau tempat ibadah untuk sembilan dewi yang namanya musee. Sembilan dewi ini semuanya anak haram, dan masing-masing musee itu dibuat khusus untuk sastra dan sejarah yang diberi nama epic, lalu ada khusus untuk teater, tragedie dan komedie. Ada untuk tarian dan anehnya, ada untuk astronomi. Anehnya, kesembilan cabang yang mewakili sembilan musee ini tidak memasukkan senirupa. Tidak ada dewi seni patung atau seni lukis. Kenapa? Karena pada zaman itu seni lukis dan patung dianggap sebagai kerja tukang atau kriya. Jangan lupa, pengagungan seni rupa itu baru terjadi beberapa abad sesudahnya, paling sedikit enam abad sesudahnya. Jadi, agak mirip dengan pematung di Bali yang lebih seperti pematung. Kalau disuruh patung, ya bikin patung. Disuruh melukis, ya melukis. Penjualan patung, memasarkannya melalui pameran itu adalah hal baru.

Dalam museon ini, berdasarkan cerita-cerita kuno, pemerintah membayar sekelompok pemikir yang mengembangkan daya cipta dalam bentuk ceramah. Gedung itu pun berkembang, ada ruang perpustakaan, ada juga ruang untuk berpikir. Coba perhatikan kalau orang Eropa berpikir, maka dia cenderung jalan kaki wira-wiri. Berbeda dengan orang Indonesia yang kalau berpikir malah ndeprok atau semedi. Nah, di dalamnya ada juga ruang seminar, dan yang paling penting tentunya ada ruang makan. Rupanya entah dua atau tiga kali sehari ada santapan untuk orang-orang yang berpikir itu, dan semuanya dibayar oleh pemerintah. Nah, kita tidak tahu lebih jauh apakah ini semua ada kaitannya dengan dua lembaga kuno dalam sejarah Yunani, yaitu musoleum untuk mengembangkan anak muda, dan academia. Kalau akademi kita tahu ciptaan orang Yunani di mana filsuf seperti Plato bicara menyebarluaskan pemikirannya. Sebenarnya nama academia ini semula berasal dari taman milik seseorang bernama Academos.

Itulah asal-usulnya. Tapi yang lebih penting kita tinjau adalah perkembangan museum ini sendiri. Di zaman Renaissance sekitar abad ke-14 dan 15, tiba-tiba bermunculan koleksi-koleksi pribadi, sebagian diberi nama museum. Orang mulai berkumpul lagi di ruangan seperti itu, ada buku-buku langka, lukisan, kerang dan macam-macam lainnya. Orang mulai mengumpulkan benda-benda yang dianggap ajaib, untuk menunjukkan kehebatan dan kekayaan. Seperti sekarang juga. Sampai sekarang masih ada orang yang mengumpulkan kerang, di Oxford Univesity bahkan khusus untuk itu. Tapi juga ada lukisan, patung dan naskah-naskah tua dari Indonesia dalam bahasa Jawa dan Sunda.

Nah, keinginan membuat koleksi dan mengumpulkan barang tentu saja menimbulkan masalah. Kalau didiamkan saja akan hancur. Jadi harus dilestarikan. Pelestarian itu pun perlu ilmu yang disebut konservasi. Tapi di Indonesia, biasanya kalau ada barang mau hancur dibiarkan saja. Saya tidak menilai ini salah atau benar, tapi ada perbedaan sikap. Di satu pihak ada orang yang mau barang tetap utuh, otentik, tidak dimakan kutu atau rayap. Di pihak lain ada orang – seperti kita di Indonesia – yang kalau barangnya hancur, selalu berpikir untuk membuat yang baru.

Pada abad ke-18, di Eropa orang membuat koleksi benda-benda seni, jadi bukan hanya benda alam seperti kerang dan sebagainya itu. Muncul koleksi lukisan yang besar dari zaman sebelum Revolusi Prancis dan dibuka untuk umum. Tapi umum yang mana dulu? Umum di sini maksudnya orang berpendidikan, biasanya orang kaya, yang punya koneksi dan seterusnya. Koleksi itu biasanya ada di istana raja yang tidak dibuka untuk sembarang orang. Waktu Revolusi Prancis terjadi muncul konsep baru. Daripada menghancurkan barang-barang kerajaan dan gereja yang dianggap feodal – dan barangnya dianggap benda maksiat – maka beberapa tokoh Perancis berpengaruh yang terpengaruh Pencerahan mulai mengatakan bahwa semua itu harus dipelajari. Semua koleksi itu akhirnya menjadi milik pemerintah revolusioner Prancis yang mengatakan benda-benda itu tidak boleh dihancurkan. Mereka yang menghancurkan akan dihukum. Semua itu harus dilestarikan untuk pendidikan dan pengajaran rakyat. Istana-istana yang pada awalnya tertutup kemudian dibuka untuk rakyat, demi pencerahan rakyat. Soal rakyat itu doyan lukisan yang dipajang atau tidak, tidak dipertanyakan. Tapi yang pasti pemerintahnya membuka pintu-pintu museum itu.

Sampai di sini kita dapat melihat bahwa museum itu awalnya adalah tempat ibadah, tempat berkumpulnya pemikir dan juga perpustakaan. Tapi tidak ada koleksi seni rupa. Lalu ada gelombang kedua di mana museum menjadi tempat menyimpan benda-benda aneh. Sebetulnya seperti itu di Indonesia juga banyak, tapi orang hanya mengumpulkan saja. Saya kenal orang yang punya kambing berkepala dua. Sudah mati, tapi masih disimpan. Dia juga mempunyai batu akik dengan tulisan Allah, juga disimpan. Nah, dari tempat mengumpulkan benda-benda aneh, larinya ke seni rupa. Seperti museum di Perancis yang sebelumnya adalah koleksi raja-raja. Nah, Revolusi Perancis yang pertama membuka museum seperti kita kenal sekarang. Belakangan semakin banyak ke seni rupa. Itu sebabnya ada yang disebut art gallery. Gallery ini sebenarnya selasar tempat raja lewat tiap hari yang temboknya penuh lukisan. Jadi sebenarnya hanya bagian dari sebuah museum. Dalam periode inilah muncul gagasan tentang museum sebagai tempat mengumpulkan, mengawetkan dan melestarikan, meneliti dan menyebarluaskan isinya kepada masyarakat. Unsur pendidikan yang dulu tidak ada, sekarang malah menjadi penting.

Anehnya Indonesia itu ternyata memiliki salah satu museum tertua di dunia. Museum Nasional itu dibangun tahun 1778 dengan konsep yang sama. Mereka menemukan barang yang dianggap menarik atau aneh dari kepulauan Indonesia, lalu dikumpulkan dan digabung dengan perpustakaan serta koleksi-koleksi lainnya. Dulu ada koleksi khusus mineral yang akhirnya dipindahkan. Masalah seni justru tidak ditekankan, walau ada patung dan tekstil dari seluruh Indonesia. Ini semua bertolak dari sikap ilmu dalam antropologi yang mau mengumpulkan segala hasil karya orang Indonesia.

Museum yang saya mau bicarakan di sini sebenarnya hanya dua. Pertama, museum budaya seperti Museum Nasional itu, dan kedua museum seni rupa. Nah, memang aneh museum seni rupa itu dalam sejarahnya tidak ada. Patung dan lukisan tidak masuk hitungan di antara sembilan kesibukan orang Yunani. Soal ini ada cerita lucu. Seorang Perancis bercerita bahwa di dunia ada dua anak yatim-piatu, namanya seni patung dan seni lukis. Mereka luntang-lantung karena ibu mereka, seni bangunan, sudah dibunuh. Nah, supaya kedua anak ini punya tempat maka lahirlah museum. Dan dalam 20 tahun terakhir yang paling banyak kita lihat adalah museum seni rupa. Hampir tidak ada yang lain. Museum seni rupa menjadi perkembangan yang paling penting. Jadi ibunya, seni bangunan, itu dibunuh dan hanya mendapat penghormatan lewat bangunan museum seni rupa yang megah.

Di sini kita perlu bertanya juga, apa sebenarnya yang dicari orang – khususnya orang Eropa – dengan membangun museum? Apakah seperti dikatakan oleh pakar-pakar itu, sebagai tempat menoleh ke masa lalu, merenungkan kebesaran masa lalu, merenungkan keanehan, atau apa? Tadi saya sempat bicara dengan Alit tentang sikap kita terhadap kebudayaan. Orang melihat waktu sejarah sebagai garis dari nol sampai 2000, dari zaman orang telanjang sampai orang berpakaian sampai sekarang. Jadi ada satu garis yang seolah bergerak, tapi ada juga yang melihat sejarah sebagai proses berulang atau siklus. Orang di Timur, khususnya Cina, melihat kadang orang hidup di atas, turun lagi, lantas mati dan begitu seterusnya. Tetapi di Barat, apalagi sejak zaman pencerahan mereka sadar bahwa kita mulai dari nol, dari gerombolan biadab menjadi beradab. Nah, inilah yang perlu kita pertanyakan. Apa sebenarnya yang dirasakan oleh lingkungan kita sendiri.

Konsepsi tentang waktu itu penting. Misalnya di Bali ada legenda Batara Kala, mulut yang tidak mempunyai badan. Kerjanya makan bulan, tapi bulan itu selalu keluar lagi. Batara Kala ini kerjanya merongrong orang sehingga menjadi tua. Di Yunani ada juga, tapi namanya Kronos. Dia ini dewa yang makan apa pun, dia bisa makan rumah atau kota. Maksudnya hancur karena waktu. Nah, sikap kita terhadap waktu ini yang perlu dipertanyakan. Karena Batara Kala terus mengganggu dan menghancurkan segalanya, apa sikap kita terhadap pelestarian? Kalau di Eropa orang mau melestarikan barang tua karena dianggap penting untuk pendidikan, penting untuk menjadi tapak ingatan. Pertanyaannya, apakah kita perlu mengingat-ingat semua demi kemajuan dan agar kesalahan yang sama tidak terulang? Dalam kebudayaan Barat kita mengenal monumen, artinya benda yang dipakai untuk memperingati sesuatu, entah tokoh atau kejadian.

Di Indonesia nampaknya beda. Apakah ingatan memang punya tempat yang penting dalam hidup kita sehari-hari? Misalnya ada barang yang hancur, orang Indonesia biasanya bilang, "ya sudah biarkan saja hancur. Mana fotonya, kita bikin lagi." Kalau di Barat replika itu dianggap hina. Anda masuk museum mana pun tidak ada barang replika, kecuali beberapa koleksi tertentu karena terpaksa. Tapi museum atau lembaga yang merasa dirinya terhormat, tidak akan menerima copy atau replika. Nah, di sini saya minta tolong pada teman-teman untuk bertanya pada diri sendiri. Menurut saudara-saudara, orang Indonesia itu pada umumnya, kalau mau mengacu ke masa lalu atau mendekatkan diri pada masa lalu, tujuannya apa?

Menurut saya kebanggaan kita sering kali ada di sekitar mitos. Jadi yang kita hormati sebenarnya sesuatu yang tidak berbentuk, kecuali keris mungkin. Tapi soal keris pun perlu dipertanyakan. Kita ambil contoh di Tiongkok. Ada orang Perancis yang bercerita kepada saya, pada saat dia naik kereta api, dia terkagum-kagum karena setiap stasiun mempunyai nama yang mengingatkan orang akan kebesaran kebudayaan Tiongkok. Tapi anehnya kalau pergi ke tempat-tempat tersebut, sisa peninggalan kebudayaan Tiongkok yang kuno tidak ada lagi. Karena orang di sana punya kebiasaan – seperti kita mungkin – untuk menghancurkan segala setiap kali ada pergantian kekuasaan. Jadi kalau kita pergi ke Kota Terlarang, umurnya belum sampai 500 tahun itu. Tapi kalau ke Roma, tidak jarang kita melihat bangunan yang usianya sudah seribu bahkan dua ribu tahun. Dan masih asli. Misalnya Pantheon di Roma, umurnya sudah 2000 tahun. Mungkin awalnya tempat ibadah kemudian menjadi gereja yang terus dilestarikan. Tembok Besar Tiongkok itu batunya sering diganti, dan umurnya pun baru 300-400 tahun. Si ahli dari Perancis ini bertanya-tanya, "kok aneh orang Cina yang begitu mengagungkan masa lalu, kebesaran mereka, sering mengganti-ganti seperti itu?" Di sisi lain kita tahu tulisan mereka sudah 2000 tahun usianya dan tidak sampai sekarang pada dasarnya masih sama. Jadi ada semacam kesinambungan kebudayaan yang luar biasa, tapi tidak ada kesinambungan peninggalan. Saya dulu juga berpikir hanya orang Indonesia yang tidak mempunyai sense of archeology, tapi ternyata orang Cina dan Jepang juga tidak. Orang Jepang malah merombak puri mereka setiap 60 tahun sekali sampai ke paku-pakunya. Tapi lantas dia bilang bahwa puri itu usianya sudah 2000 tahun. Kesimpulan orang Perancis itu, di Timur yang dihormati ternyata bukan benda tapi kemampuan untuk membuat benda itu. Jadi, masalahnya konsep yang lebih kuat daripada benda.

Di Indonesia saya juga pernah berpikir seperti itu ketika berbicara dengan orang kraton. Mereka bilang, "ini pusaka dari Brawijaya pamungkas, yang ini dari Amangkurat Tegalwangi" dan seterusnya. Saya mulai berpikir. Dalam iklim seperti ini benda-benda yang dari besi – biar pakai pamor yang peng-pengan – itu tetap akan berkarat. Belum lagi keris itu setiap satu Syuro – sebenarnya ini bukan tradisi Jawa tapi ciptaan Orba – harus dicuci. Selalu diwarang, padahal warang itu bahan kimia yang merongrong besi. Mestinya dalam seratus tahun besi itu sudah habis. Lalu saya lihat, seandainya keris yang mempunyai nama Kyai Turonggo itu ada keris yang disebut Kyai Turonggo Putro, atau copy-nya. Tapi kalau keris kita tidak bilang itu di-copy. Namanya amurtani atau bikin anak. Artinya barang baru tapi dengan sukma dari keris yang lama. Itu sebabnya kraton Solo dan Jogja mempunyai koleksi keris lengkap, dari sekitar 500 sampai 600 tahun sebelumnya. Jadi, sekali lagi yang penting bukan wujud tapi isi. Nah, ini sikap yang sangat berbeda dengan orang Barat yang ngotot "it must be authentic". Kalau nggak otentik, dibuang. Kalau kita sekarang akan membangun museum demi keagungan masa lalu, jelas keris tidak bisa dipertontonkan. Tapi di sini kita akan berhadapan dengan sikap orang yang tidak keberatan dengan copy atau replika. Saya pernah usul bikin pameran foto tentang revolusi. Artinya harus bicara dengan Hippos. Tapi lalu ada yang bilang, "nggak usah, Pak. Kita main fotocopy saja." Buat saya, kalau mau pajang fotocopy-nya, buat apa bikin pameran? Tapi buat kebanyakan orang nggak jadi masalah, yang penting masih kelihatan. Saya sengaja mengangkat masalah-masalah ini untuk dijawab. Bagaimana caranya kita membikin museum yang lebih baik dan dikunjungi oleh masyarakat luas.

O ya, saya berikan contoh lain. Tadi saya sudah cerita sama Alit, pernah diminta seorang rahib membantu membuat kelenteng di Malang. Saya ini kan arsitek amatiran. Saya bikin bangunan kelentengnya dengan gaya the fifties (era 1950-an). Rahib ini masih muda, anak orang kaya, Cina dari Semarang yang baru kembali sekolah dari Amerika Serikat. Lalu waktu saya masuk sudah membayangkan, kelentengnya harus begini-begitu. Kemudian saya melihat patung Buddha, kok dibuat dari semen dan tidak berbentuk? Saya bilang, "Mas, kenapa tidak pesan patung perunggu dari Thailand?" Orangnya dengan tenang bilang, "kesaktiannya tidak ada." Jadi, yang penting adalah semangat kesaktian itu, kekuatan yang ada dalam patung tersebut. Urusan patung itu bagus atau tidak, bukan masalah bagi dia. Jadi kelihatan bahwa sikapnya lebih umum dari yang saya duga.

Nah, kita selalu mendengar bahwa museum itu elitis, kurang merakyat dan sebagainya. Saya mengerti rakyat, kenapa masuk museum tidak ada seru-serunya. Kalau saya rakyat biasa tentu lebih baik ke mall, dingin, bendanya mewah, indah tapi tidak bisa dibeli. Kalau masuk ke Louvre, ada Monalisa, tapi saya tidak mampu beli. Hal ini sedikit banyak ada hubungannya dengan kebudayaan modern yang juga datang dari Barat. Artinya kebudayaan yang cukup dengan melihat dan puas. Ini juga ada hubungan kuat dengan orang pergi ke mall. Lihat sepatu, aduh keren banget, tapi kok mahal? Sekarang di museum juga sebenarnya kita bisa ngobrol, ketemu teman, ada restoran yang mahal. Mall juga sama, sebuah tempat nyaman di mana kita bisa jalan-jalan satu sampai dua jam. Museum modern makin lama, makin seperti mall. Ini melahirkan pertanyaan. Kalau sekarang kita membangun museum untuk apa dan untuk siapa?

Dalam hal ini menarik, memperhatikan sikap kita terhadap masalah waktu. Benda budaya itu penting atau tidak? Perlu dilestarikan atau tidak? Atau cukup reproduksi saja? Kalau kita anggap reproduksi itu cukup, tidak usah pusing dengan pelestarian. Tetapi kalau kita menganggap barang itu harus dilestarikan, maka perlu laboratorium, perlu ahli, AC khusus, bendanya tidak boleh dijamah, tidak boleh keluar museum dan seterusnya. Dan yang paling penting adalah pemanfaatannya. Kalau dulu museum dibuat orang kaya, raja-raja dengan koleksi agar dia kelihatan hebat. Zaman sekarang, koleksi semacam itu penting juga untuk negara. Pemerintah Perancis membayar puluhan milyar untuk museum. Pengunjungnya bisa sampai lima juta orang per tahun dan dari sudut ekonomi jelas sangat bermanfaat. Mereka semua membeli tiket, kartu pos, belum tentu beli buku, souvenir, dan paling sedikit orang minum teh dan kopi. Itu semua membawa uang berlipat ganda, belum lagi yang menginap. Paling sedikit tiga hari di kota Paris. Pakai taksi, travel agent, jadi ada perputaran ekonomi karena kunjungan orang ke sana itu luar biasa. Apakah orangnya kemudian merasa terdidik dan lebih beradab, saya serahkan kepada saudara-saudara sekalian yang terhormat ini.

Jadi, sekarang pertanyaannya kembali, menurut kita museum Indonesia seperti apa yang ideal? Maksudnya menurut kita di sini. Saya tidak punya pendapat lho. Saya sudah sepuluh tahun mengurus museum dan kasarnya sampai pada kesimpulan mungkin museum itu harus ditutup. Sebab menurut saya pribadi tidak ada manfaatnya. Mungkin juga saya merasa bosan, capai dan frustasi, ya. Kalau ada uang bisa dilestarikan, dipamerkan dengan baik, ada publikasi. Masyarakatnya belajar, tapi sekarang ada masalah apakah masyarakatnya mau masuk museum dan diberi pendidikan yang baik?

Agung Putri

Saya mau bertanya soal kegunaan. Kalau tadi disebut kegunaannya untuk pendidikan pencerahan, bagaimana dengan museum seperti Lubang Buaya? Apakah memang dibuat dengan maksud pencerahan atau tujuan politis saja?

Sudarmadji

Budaya itu kan politik. Keagungan masa lalu juga politik. Lubang Buaya ini dianggap keramat, diciptakan menjadi semacam keramat. Ada satu kejadian yang dianggap jelek oleh pemerintah ketika itu, dan menjadi contoh buat masyarakat sekarang dan masyarakat yang lalu, supaya ini tidak terulang lagi.

Agung Putri

Padahal cerita sekitar Lubang Buaya ini mau dipertanyakan lagi, akan dikaji ulang.

Sudarmadji

Kalau soal itu, kita sudah terlambat tiga tahun. Kalian tidak membaca koran, waktu Cipinang dibuka untuk pers, semua orang lari ke Xanana Gusmão. Cuma ada satu orang Australia yang mencari orang lain. Siapa yang dia cari? Kolonel Latief, satu-satunya saksi hidup yang belum dibunuh, yang tahu persis kejadian malam itu. Orang lain tidak tertarik, dan this is the problem. Apakah kita sebenarnya tertarik pada masa lalu? Orang Indonesia tidak ada satupun yang mendatangi Latief. Jadi jangan menyalahkan orang lain. Salahkan diri kita sendiri. Pada dasarnya tertarik tidak sih dengan G-30-S? Saya mendengar begitu menunggu-nunggu kapan itu laporan keluar, kapan buku itu diterbitkan, tetapi tidak ada yang menulis. Kita selalu demonstrasi dengan urusan yang tidak jelas. Jadi, yang saya masalahkan, kok di antara begini banyak orang tidak terpikir mau mengorek keterangan Latief? Tentu mengorek dengan disiplin sejarah. Semua yang Latif katakan belum tentu kita telan bulat-bulat kan? Mesti periksa dan diperiksa dengan kejadian lain.

Waktu G-30-S meletus saya tidak ada di sini. Jadi bacanya dari koran luar negeri dan nonton televisi. Waktu itu penuh dengan pertanyaan, dan saya sangat terpengaruh dengan satu versi, bahwa itu urusan Dewan Jenderal. Saya pulang ke Indonesia yang dibicarakan di sekeliling saya sama sekali lain. Jadi saya selalu dihantui oleh kejadian malam itu. Tapi kalau saya mengajak bicara teman atau saudara saya, tidak ada yang tertarik. Sudah terang saya dianggap orang aneh, terlalu tercemar oleh pemikiran Barat mau tahu kebenaran, dan lama kelamaan jadi tidak perduli juga. Sampai saat orang Australia itu bertemu Pak Latief, saya penasaran lagi apa sih ceritanya.

Coba kita bertanya pada diri kita sendiri, apakah kita tertarik dengan masa lalu? Sebab, kalau kita betul tertarik mestinya sudah muncul 10 buku. Tidak usah jauh-jauh. Kennedy dibunuh sudah berapa puluh buku dengan sepuluh ribu teori. Ada yang mengatakan Kennedy dibunuh oleh si A, atau si B, dan seterusnya. Apakah semua orang betul atau salah, tidak jadi masalah, tetapi paling sedikit muncul puluhan buku. Di sini kok tidak muncul? Saya tidak menyalahkan orang, tapi saya cuma bertanya apakah masa lalu itu begitu penting buat kita?

Soal maksud politis mendirikan museum. Louvre saja oleh Mitterand dipakai untuk mengangkat keagungan Perancis. Jadi selalu ada itu. Tetapi, saya mau tanya apakah itu diterima masyarakat atau tidak? Ternyata sangat diterima, dan yang datang lima juta orang. Orang Perancis yang kere saja bangga. Tidak usah jauh-jauh. Gus Dur di Paris kemarin dipertemukan dengan Kadin-nya konglomerat Perancis. Mereka kumpul di satu ruangan, mengelilingi meja lalu ada protokol Indonesia yang datang duluan dan bilang, "Saudara-saudara sekalian, presiden Indonesia akan datang, dan kalian diharapkan berdiri dan tepuk tangan." Orang Perancis diperlakukan seperti itu ngedumel dua jam. "Apa-apaan ini? Itu kan spontanitas. Itu hak kita mau tepuk tangan atau tidak." Boss-nya datang dan Gus Dur lalu duduk. Sambil si boss-nya bicara menjelaskan Indonesia itu apa dan pertemuan ini untuk kepentingan apa, dan segala tetek bengek semua peserta ngedumel terus. Gus Dur lalu ngomong dalam Inggris, "saya sangat bahagia ada di Perancis, kebetulan saya belajar bahasa Perancis waktu kecil. Jadi perkenankanlah saya berbicara Perancis." Ini saya dengar dari teman saya, bahasa Perancisnya bagus dan lugu. Hampir tidak ada logat Jawanya dan apapun, dan dia bicara sangat pelan. "Saya pengagum Perancis, pada waktu kecil saya belajar Perancis dan akhirnya saya dapat mengatakan bahwa filsuf favorit saya dari kebudayaan Perancis bernama Jean-Paul Sartre." Saya yakin separuh ruangan itu hanya tahu nama ketimbang membaca karyanya. Dan Perancis tidak terlalu beradab. Karya Sartre yang mereka sukai adalah "Pintu Tertutup" yang diterjemahkan oleh Asrul Sani mengenai pengadilan. Setelah itu Gus Dur menambahkan, "tetapi ada buku yang tidak pernah saya tinggal ke mana-mana karya André Malreaux." Lantas dia bilang. "Sekarang saya berbahasa Inggris." Lalu disambung tanya-jawab. Saya dengar ini dari beberapa orang dan mestinya benar. Waktu selesai bicara, tanpa disuruh semua orang berdiri dan tepuk tangan. Gus Dur menunjukkan kekuatannya. Kalau disentuh dengan baik, maka hasilnya sama seperti kalau kita pentung. Pikiran Gus Dur tentunya, "Wah Perancis ini harus gue pukul lewat sini. Kalau nggak, pasti nggak kena." Pelajaran yang bisa kita tarik di sini, bahwa ternyata rakyat Perancis yang kelihatannya tinggi, ternyata sama saja dengan kita, hidup dengan mitos-mitos dan klise juga. Nah, tinggal pintarnya kita memakai itu untuk politik.

Ningsih

Sebagian dari kita menganggap masa lalu kita seperti aib yang tidak perlu diceritakan ke orang. Yang kedua, adalah filsafat mikul dhuwur, mendem jero. Jadi nggak nyambung. Nah bagaimana kita mau bicara tentang museum yang ideal dalam situasi begini?

Sudarmadji

Sekarang cuma ada dua jenis museum. Museum pemerintah pusat yang namanya museum negeri yang selama 30 tahun dikembangkan. Ada yang mulai dari nol, tetapi kebanyakan mengambil alih museum lama dari jaman Belanda yang dulu merupakan lembaga swasta. Ada Museum Bali, Museum Radya Pustaka di Solo – museum swasta Jawa tertua, museum pribumi tertua. Itu yang mendirikan adalah para pangeran dan raja-raja di Solo. Kalau museum Sonobudoyo di Yogya itu bukan museum Belanda, tapi museum Jawa. Kalau di Bali, museum yang di Denpasar itu ciptaan Bali Institute kerjasama raja-raja Bali dengan orang Belanda. Museum Batak Simalungun itu juga swasta, lho. Repotnya dengan revolusi Indonesia itu semua dilahap pemerintah pusat, seringkali dengan maksud dan tujuannya tidak jelas.

Tetapi baru 30 tahun Orde Baru itu timbul gagasan setiap propinsi punya museum yang sangat jauh dari museum yang saya ceritakan tadi. Karena umumnya museum itu melekat dengan filsafat kita pada saat itu, bahwa selalu ada satu ruangan untuk satu kebudayaan. Misalnya propinsi Maluku, museum Siwalima itu menerangkan siapa kita orang Indonesia di Maluku. Tetapi ada ruangan lain yang menghubungkan Bhinneka Tunggal Ika, hubungan kita dengan kebudyaaan-kebudayaan lain. Seringkali ada koleksi boneka orang kawin dari 27 propinsi, nanti ada anik-anik dari 27 propinsi, ada gendang. Itu salah satu cara yang saya tidak berani nilai sebab saya tidak pernah bekerja di museum negeri seperti itu. Museum negeri saya itu lebih ke sejarah Jakarta dan beratnya sudah terang ke VOC. Nah, ini kan ada pertentangan antara kehendak pemerintah pusat menempatkan diri, "ini adalah orang Maluku berdiri di tengah 27 propinsi dengan 27 jenis budaya." Tapi biar pun ada 27 propinsi, yang menonjol biasanya cuma satu-dua, Di Sumatra Utara, Nias menjadi anak bawang, karena yang muncul hanya yang Melayu dan yang Batak. Di Jawa Barat kebudayaan Sunda yang dipegang, padahal Cirebon itu juga Jawa Barat, tetapi itu dianggap sepertinya Sunda. Kalau Jawa Tengah, jelas semuanya dilahap oleh kraton. Tidak ada yang tertarik dengan kebudayaannya orang Banyumas atau Tegal yang notabene berbeda dan seterusnya. Kalau Bali gampang, agak homogenous tapi yang lain-lain masih menjadi pertanyaan.

Tapi, paling sedikit ada keinginan pemerintah pusat lewat Depdikbud waktu itu, untuk menempatkan setiap budaya daerah dengan budaya saudara-saudaranya. Apa itu berhasil atau tidak, masih pertanyaan, karena sekali lagi museum bukan hanya sekadar memperagakan koleksi, tetapi dengan mengembangkan kegiatan. Dan kebanyakan museum Indonesia itu justru mati di kegiatannya, padahal kita ini tukang upacara, kenapa tidak nyetrum? Mestinya kalau kita menganggap museum itu tempat ibadah baru untuk mengagungkan budaya. Di Eropa orang mengatakan pada dasarnya museum itu adalah katedral-nya masa baru. Kenapa katedral? Karena tempat orang berkumpul untuk beribadah mengagungkan, menyembah sesuatu yang dianggap lebih luhur. Kalau di gereja jelas urusannya Yesus Kristus dan Maria. Tapi kalau di museum benda hasil karya manusia itu atau hasil cipta manusia.

Jadi yang penting adalah kegiatannya, dan saya pikir ini masalah utama di museum-museum Indonesia. Tidak ada kegiatan untuk mengangkat lembaga tersebut. Penelitian yang diterbitkan saja tidak ada. Sebenarnya kita harus menggiatkan dengan festival, pembacaan syair, teater, tarian atau merayakan salah satu tokoh. Dulu kan di samping hari raya Kristen, Islam, Hindu, Buddha dan sekarang kelihatannya Konghucu juga masuk, masih ada hari pos nasional, hari anak, hari nelayan, hari ibu, lahirnya Diponegoro, Sumpah Pemuda, hari kebangkitan nasional dan seterusnya. Daripada hanya dirayakan dengan membacakan asas-asas Korpri, lebih baik dimanfaatkan untuk kegiatan yang bisa mengangkat museum.

Dewi Wilutomo

Mas, karena bidang saya bahasa, menurut saya perubahan itu juga harus melalui dan dari bahasa. Mungkin istilah "museum" saja sudah berjarak dengan kita. Mungkin kalau diganti namanya, bisa lebih jelas tujuannya. Setiap kata mempunyai referensi tertentu, dan kita tidak mungkin menciptakan nama tanpa memikirkan sesuatu di baliknya. Tapi dari segi konsep saya juga tidak tahu apakah kebutuhan orang Indonesia akan masa lalu itu perlu dilestarikan seperti apa. Apakah seperti museum di Barat, kita tidak tahu. Tapi yang pasti saya tidak percaya kalau orang Indonesia tidak punya curiosity.

Sudarmadji

Saya setuju. Orang Indonesia masih senang menyimpan souvenir untuk dikenang sebagai bagian dari masa lalu. Nah, inilah yang perlu dilembagakan. Museum Indonesia di Taman Mini itu lumayan banget… karena yang membangun itu saya [tertawa]. Walaupun harus putar otak waktu menerima pesan dari Ibu Tien Soeharto. Ini maunya apa. Akhirnya saya mengarang saja dan untungnya Ibu Tien Senang. Dia malah terima kasih, dan sejak itu hormat sama saya. Di bawah museum itu, saya disuruh bikin sebuah tata pameran 27 pasang penganten dengan pakaian lengkap. Saya bilang ini cara aneh untuk membuat museum, karena pengunjung ujuk-ujuk melihat penganten kawin. Habis itu dia bilang, "untuk lantai atas diisi saja, kan banyak sumbangan." Saya waktu itu putar otak cari konsep yang bisa menampung koleksi macam-macam ini. Tapi lebih penting pesannya Ibu Tien, itu dapat dipertanggungjawabkan. Katanya yang penting harus nalar. Makanya saya ciprat saja dengan urusan kejawen. Saya terus minta bikin sebuah fresco, lukisan kaca dari Cirebon: kepulauan Indonesia dari lukisan kaca. Di atas ada burung garuda, di bawah ada naga. Itu dipertanyakan, "naga itu kan Cina?" Oh, tidak. Ini kan filsafatnya orang Indonesia, Garuda itu adalah bapak ngakoso, naganya itu ibu pertiwi. Karena pertemuan dari prinsip perempuan-laki ini, maka terjadilah dunia Indonesia persada nasional. Lalu saya tambahkan lagi, karena dalam wayang Arjuna sebelum mencoblos Cakil bilang "sambato bapak ngakoso ibumu pertiwi babumu wadon, tumengo ing ngakoso waspadakno ndirgantoro wus katon mangalap-alap genine naroko jahanan kang wus ngarep-ngarep tekane nyawamu." Itu kan artinya kejawen, agama yang sangat primitif dan turun-temurun, masih hidup tapi dalam bentuk baru. Waktu dibacakan ke ibu Tien, dia klenger. Dia malah bilang, "Pak Damais, saya terimaksih bapak mengingatkan saya kembali warisan leluhur." [tertawa]

Naik ke lantai dua, ini urusan perkakas rumah tangga. Bagaimana menatanya, memang bingung juga. Lantas saya bilang, "kita sekarang coba bikin – saya kerja sama tim sudah terang – satu display urusan dapur, satu urusan ruang tengah, satu urusan ruang belakang. Kita isi dengan ritual-ritual dari seluruh Indonesia." Pokoknya supaya semua koleksinya dapat dipakai. Terakhir saya taruh pohon hayat yang dibikin orang Bandung, tapi konsepnya datang dari kelompok kita. Karena dalam kebudayaan Jawa itu ada sikap semua yang lama harus nunggak semi, tidak boleh dilestarikan, tapi harus beranak, harus berkembang menjadi sesuatu yang baru. Terus kita buat pohon yang ditaruh di atas, biarpun tidak ada pengunjung naik lantai tiga karena apa tidak lift, capek dia naik. Jadi, biasanya orang berhenti di lantai dua, tidak pernah lihat pohon di atas. Perkara museum itu dikunjungi atau tidak, saya tidak tahu. Semua museum yang ada di Taman Mini sebetulnya kan seperti keramat. Koleksinya tidak berubah. Kita mengunjungi tulisannya dari tahun ke tahun sama semua, tidak ada yang berubah. Dan yang paling banyak pengunjungnya di Taman Mini ternyata Museum Listrik. Saya lupa berapa ribu orang tiap tahun. Tapi direkturnya nakal, karena semua orang beli tiket, dia belakangan empang tempat orang bisa mancing. Jadi orang pengunjungnya mancing semua, tidak masuk museum. Saya bilang sama dia, paling tidak ada orang dan merasa bayar tiket itu bermanfaat. Bahwa manfaat yang mereka dapat itu bukan yang kamu harapkan, itu urusan kedua. Jadi, kalau kalian datang ke situ pada hari minggu, pemancing penuh.

Saya bisa cerita tentang Condet yang saya alami. Waktu ramai-ramainya tahun 1970-an kita mengurus museum ada gagasan yang sebenarnya tidak langsung saya buat, yaitu melestarikan budaya salah dan duku. Tanahnya gede di pinggiran kota dan kepadatan bangunannya rendah. Kebun mangga dibiarkan, kebun duku dan seterusnya. Ketika konsep ini sampai ke telinga Kepala Dinas Kebudayaan, mereka langsung membuat proyek cagar budaya Condet. Lho, kok jadinya cagar budaya? Masalahnya planologi kok jadi cagar budaya? Dan mulailah salah pengertian yang luar biasa dan akhirnya meresahkan penduduk setempat. Keluar peraturan gubuk tidak boleh diubah, tanah tidak boleh dibagi, orang Betawi tidak boleh begini-begitu. Orang Betawinya protes, "kita kan juga mau jual tanah, beli motor, naik haji" dan seterusnya. Akhirnya bingung sendiri, padahal konsep awalnya adalah menciptakan daerah resapan hujan sepanjang kali Ciliwung, apalagi di sepanjang Ciliwung banyak sisa-sisa prasejarah. Tapi akhirnya jadi cagar budaya, di mana orang nggak boleh bikin apa-apa. Sampai keluar ucapan dari Nurcholish Madjid, "memangnya kita orang Indian Amerika, harus terus hidup dalam tenda primitif? Orang Betawi kan juga ingin maju." Saya bilang, ini urusannya bukan soal orang Betawi mau maju atau tidak, tapi semata-mata urusan pohon yang tidak boleh ditebang. Akhirnya sekarang kacau-balau semua, dan malah sekarang katanya jadi pusat penampungan TKW. Jadi maksud baik sekelompok orang belum tentu diterima oleh orang lain. Jadi waktu mendengar perkembangannya seperti itu, kalau ada yang mengajak bicara soal Condet, saya langsung tutup mulut. Untungnya cuma satu, banyak seniman yang sekarang berkumpul di Balekambang.

Jadi, ini semua hanya ilustrasi. Kalau mau membangun museum, kita harus menyatukan pandangan paling sedikit tentang konsep museum itu. Apa manfaat yang diharapkan dan apa maksud-tujuannya. Tapi umumnya itu tidak pernah dipersoalkan. Orang membuat saja. Zaman Ali Sadikin, antara tahun 1972-77, kita membangun tujuh museum. Tapi saya merasa paling beruntung karena paling sedikit bangunannya dilestarikan. Museumnya, koleksinya, masih lengkap. Nah, sekarang bagaimana caranya museum itu dimanfaatkan. Jadi kalian ini jangan hanya mengurus orang miskin. Bantu saya cari volunteers untuk museum. Saya sangat perlu itu.

Dewi

Barang-barang yang masuk di museum itu seleksinya bagaimana? Dalam bayangan saya koleksi itu semuanya bagian dari sejarah besar, jadi tradisi orang-orang besar. Kalau lukisan, maka lukisannya Raden Saleh. Tapi, seandainya patungnya Dolorosa Sinaga atau topengnya Galis, itu mungkin tidak jadi bagian dari museum?

Sudarmadji

Ya, mungkin banget. Tapi, museum-museum Jakarta dan museum lain umumnya tidak otonom. Kedua, tidak ada kebijakan untuk mengembangkan koleksi. Museum Nasional boleh dibilang koleksinya masih sama dengan apa yang mereka punya 50 tahun lalu. Dia merasa tidak perlu menambah sebab dianggap sudah lengkap. Itu kesalahan besar. Saya kira yang mengembangkan koleksi hanya museum di Pelita Harapan di Karawaci. Itu punya kebijakan, kita punya sepuluh Sudjojono, kita harus punya 20 Affandi. Itu memang ada program. Ada panitia seleksinya sendiri. Tapi, kalau orangnya merasa tidak perlu menambah koleksi, bagaimana Dolo mau masuk? Nah, ditambah lagi itu kan perlu uang. Kerjasama antara museum dan swasta itu boleh dikatakan lemah. Mau tambah koleksi saja tidak, apalagi perlu uang. Dia akan mengetuk pintu orang berduit, dan orang berduit itu tidak semuanya murah hati. Ada yang memberi besar dan ada yang memberi karya jelek, yang bagus nanti dijual.

Muncul pertanyaan bagaimana caranya kita dapat karya-karya yang terbaik? Kita hidup di negara yang tidak kenal pajak museum. Padahal di seluruh dunia ada. Artinya saya kasih seratus rupiah ke sebuah lembaga masyarakat, pajak saya dikurangi seratus rupiah. Di Amerika Serikat jalannya seperti itu. Kamu pikir orang Amerika bermurah hati kasih satu juta dollar? Tidak, karena dengna begitu dia juga bebas pajak satu juga dollar yang lain. Di Inggris demikian, tapi di Perancis boleh dikatakan tidak ada. Perancis itu sepeti Indonesia, semuanya terpusat di Paris. Semuanya pemerintah yang bayar. Sekarang memang mulai meningkat tetapi 20 tahun yang lalu itu minim. Amerika sudah 100 tahun, seluruh permuseuman Amerika itu betul-betul pengembangan dari masyarakat murni, pemerintah hanya bayar tanah, perawatan gedung, security dan bayar listrik. Saya saja minta listrik ditambahin untuk AC, agar AC-nya dapat melestarikan lukisan sampai buyutan juga nggak dapat. Malah dikasih kipas angin untuk mengurangi debu, katanya. Padahal bukan debu yang paling bahaya, tapi kelembaban.

Alit

Sebetulnya yang disampaikan oleh Aji bahwa museum harus hidup di masyarakatnya. Di Indonesia museum lahir bukan karena kebutuhan. Kita kembali kepada pertanyaan dasar, sebenarnya kita perlu museum atau tidak? Kalau perlu, seperti apa idealnya museum itu. Lantas, kenapa kita mau membangun dan membentuk museum? Apakah memang masa lalu dan pelestariannya penting buat kita? Dari pertanyaan-pertanyaan itu mungkin kita bisa membayangkan konsep museum yang ideal di Indonesia, artinya museum yang memang tumbuh dari masyarakatnya.

Ayu Ratih

Saya tertarik uraian Adji tadi. Ambil contoh Museum Nasional, yang ternyata bukan cerminan orang Indonesia melihat dirinya, tapi orang Belanda yang melihat Indonesia. Bukan kita melihat diri sendiri, tapi orang lain melihat Indonesia. Artinya konsep museum sebenarnya berkaitan erat dengan pertanyaan siapa kita sebenarnya. Pertanyaan yang sebenarnya sederhana, tapi sulit dijawab. Perjalanan museum di Indonesia ini erat kaitannya dengan masa lalu yang tidak pernah dipertanyakan, tidak pernah diperdebatkan. Misalnya kaitannya dengan menjadi modern. Itu pun belum pernah dimulai. Dulu pernah ada Polemik Kebudayaan yang membicarakan itu. Memang tidak ada yang bicara museum, tapi ada konsep tentang siapa kita ini sebagai sebuah bangsa.

Alex Supartono

Tadi Adji mengatakan masyarakat kita tidak mempunyai kebiasaan menyimpan barang-barang tua yang otentik. Juga soal kecenderungannya lebih pada ide atau konsep sehingga barang tidak diperlukan. Kalau ini dipertemukan dengan konsep-konsep modern, apakah masyarakat kita tidak perlu museum? Menurut saya museum itu tempat melihat perjalanan peradaban manusia. Dan menurut saya memang perlu. Memang tidak secara langsung dihubungkan dengan kondisi obyektif masyarakat, tapi memperlihatkan masyarakat yang ada sekarang itu hasil sebuah proses.

Sudarmadji

Jadi menurut kamu perlu dipaksakan? Itu ide yang fasis.

Alex

Dipaksakan bukan karena masyarakat tidak punya sense atau kurang peduli terhadap dokumentasi sejarah. Ketidakpedulian itu kan hasil dari proses sebelumnya. Kalau saya berkunjung ke tempat orang lama – artinya dari masa sebelum 1965 – dokumentasi mereka jauh lebih hebat dari saya. Masalahnya di sini adalah apresiasi orang terhadap buku misalnya. Kalau kita berkunjung ke tempat kos mahasiswa, jangan kaget kalau di kamarnya tidak ada buku. Jadi, soal masyarakat itu perlu museum atau tidak, sebenarnya tidak relevan. Yang penting bagaimana kita membuat museum itu menjadi sebuah kebutuhan.

Agung Putri

Saya belum tahu apakah museum itu perlu dalam arti umum. Dalam konteks Indonesia sekarang, yang hidup 30 tahun dalam situasi represif, museum masih menjadi alat manipulasi. Kalau dulu museum itu menjadi bagian dari kebesaran raja-raja, sekarang pun begitu. Dan bahkan lebih keras lagi, seperti Lubang Buaya itu. Nah, ini menimbulkan persepsi bahwa museum hanya melestarikan kekuasaan dan membenarkan tindakannya. Saya tidak tahu museum yang lain, apakah juga melestarikan nilai-nilai orang yang berkuasa. Tapi kalau ke Museum Lubang Buaya, saya tidak dapat pencerahan di sana, tapi seperti dijejali kebenaran yang dibuat oleh orang-orang yang berkepentingan langsung membuat tafsiran sendiri atas peristiwa itu.

Hario Kecik

Secara umum saya juga senang mengunjungi museum, terutama waktu saya di luar negeri, di Rusia dan Cina. Tapi pertanyaan apakah museum itu perlu atau tidak, belum pernah saya pikir. Barangkali memang tidak perlu, tapi dibuat supaya kita tahu bahwa itu tidak perlu. Barangkali kita sendiri ini juga tidak perlu. Kalau dipikir-pikir manusia ini perlunya apa di dunia? Baik, saya ingin hubungkan diskusi ini dengan perkembangan teknik. Dulu museum itu lampunya belum listrik, sekarang sudah listrik. Museum itu nantinya harus punya bentuk yang sesuai dengan kemampuan teknik ini, terutama elektronik dan kompute. Kalau sekarang kita sudah bisa belanja dengan komputer, tidak perlu lagi bersinggungan lagi dengan orang yang melayani, museum juga mesti begitu. Museum harus punya bentuk yang sesuai dengan zamannya. Kalau tidak begitu, maka tidak ada orang yang ke situ.

Saya ke Museum Gajah, nggak tahunya gajah itu dari Thailand. Saya kira bikinan sini, dari Jogja atau mana. Jadi saya pikir memang lain Indonesia ini. Kalau di sini orang ke museum bawa bayi nangis, kalau di Eropa museum itu barang serius. Di St Petersburg, ada museum yang pinjam lukisan Monalisa dari Paris. Di Rusia diumumkan, "kita pinjam lukisan Monalisa untuk 15 hari." Saya lihat, nggak tahunya cuma orang mesem begitu. Terus ada arloji yang digambar Salvador Dali. Saya pikir itu lukisan besar, nggak tahunya cuma kecil segini. Padahal saya di rumah maunya orang bikin lukisan besar, tiga setengah meter kali satu setengah meter. Di majalah Tempo foto lukisan saya itu besar sekali. Tapi kalau di Eropa lukisan itu mesti ada datanya, ukuran sekian-sekian, pakai kanvas, cat minyak dan seterusnya. Kalau di sini tidak ada. Kalau bikin lukisan besar orang tidak tahu seberapa besar. Ini semua penting untuk kaum intelektual melihat, museum itu buat apa. Mungkin lebih baik perkembangan motor atau mesin.

Bikin museum di sini mahal. Siapa yang mau beri uang? Lebih baik bikin rumah sakit, orang mau mati saja tidak bisa diurus, mau bikin museum. Mungkin begitulah yang ada di benak banyak orang. Nah, saya sekarang sedang menulis buku, dan yang paling berat bagi saya adalah bagian the past. Perlu saya tonjolkan atau tidak? Itulah pertanyaannya. Sama dengan dokumentasi dan museum juga, tapi dalam bentuk buku. Yang mau saya tonjolkan adalah etika militer, yang harus menjadi dokumentasi sebab TNI sudah terlanjur bilang, "militer Indonesia itu dari rakyat untuk rakyat." Lha, pernyataan itu konsekuensinya besar. Tidak ngerti orang-orang itu. Kembali soal museum. Museum ini sebenarnya dokumentasi. Nah, kalau pemerintahnya masih seperti 30 tahun lalu, terus mau menutupi barang-barang yang tidak enak supaya dia tetap kuasa, jelas tidak bisa. Jadi yang penting bagaimana masyarakat ini bisa membentuk pemerintah yang betul-betul mewakili kepentingan masyarakat. Ada masalah demokrasi di sini. Apakah rakyat kebanyakan itu bisa membentuk pemerintah demokratik yang betul-betul baru. Kalau itu selesai, baru kita bisa jawab apakah museum itu perlu atau tidak. Kecuali museum fosil-fosil, lha buat apa bohong di situ? Tapi kalau Museum Lubang Buaya, itu tergantung rakyat sendiri, apakah bisa membentuk pemerintah demokratik atau tidak. Saya sendiri masih merenungkan masalah ini. Saya tadi surprised, ada orang yang 30 tahun kerja di museum, masih tanya apakah museum itu perlu atau tidak.

Adji

Tapi pada dasarnya, Pak, museum itu pemaksaan dari luar. Parlemen juga begitu. Kalau kita tidak punya parlemen nanti dianggap biadab. Soal Internet, memang benar. Kalau mau lihat perkembangan museum di Eropa dan Amerika Serikat sekarang tinggal lewat Internet.

Hario Kecik

Tadi saya sudah bilang, semua ini tergantung pada perkembangan teknik. Internet, elektronik dan sebagainya. Orang belanja saja pakai itu, apalagi lihat museum. Saya pernah cari di Internet, fosil-fosil seperti Homo Sapiens, Pithecanthropus Erectus, keluar semua. Tidak perlu ke museum saya. Jadi semuanya tergantung teknik. Tapi pertanyaannya, siapa yang menggunakan teknik itu. Kalau yang menggunakan fasis ya bahaya juga. Soeharto dan Hitler itu sama fasisnya. Tapi kalau Hitler menundukkan bangsa lain, Dritte Reich über alles, maka Soeharto temannya sendiri yang ditundukkan. Kalau Hitler tidak punya kekayaan, paling cuma si Eva Braun…

Adji

Kalau urusan dokumentasi, saya juga menganggap itu penting, karena penyakit saya ini senang sejarah. Pertanyaannya, apakah dokumentasi itu bermanfaat atau tidak. Tapi saya setuju, dengan perkembangan yang kita punya sekarang, kita sudah tidak bisa mundur. Masalahnya tinggal museum seperti apa yang kita dambakan. Ini bukan soal bentuk saja, tapi konsep juga. Ambil contoh Museum Tekstil. Dulu Ali Sadikin mau bikin museum untuk Ibu Tien. Dia panggil saya dan bilang, "Adji, saya mau bikin museum untuk Ibu Tien." Saya tanya, "Museum apa?" Dia jawab, "Museum batik. Ibu Tien kan orang Jawa. Itu ada gedung lama di Tanah Abang baru saya ambil oper, dan saya mau itu jadi museum batik." Saya bilang, "Itu gagasan baik, Pak. Tapi kalau boleh beri saran jangan museum batik, tapi museum tekstil. Karena batik kan hanya milik satu-dua budaya. Lalu bagaimana dengan songket, ikat dan seterusnya?" Akhirnya dia setuju bikin Museum Tekstil.

Ini bisa jadi contoh. Museum itu kemudian dibangun sebagai acuan bagi pengrajin yang mungkin kehilangan ilham atau apa. Dia bisa ke Museum Tekstil untuk menciptakan pola baru. Itu keinginan awalnya. Tapi setelah itu, karena museum itu kurang dihayati, Museum Tekstil itu tidak pernah bertambah koleksinya. Awalnya hanya 100 lembar, sekarang paling 110 atau 120 begitulah. Padahal kalau lihat kekayaan Indonesia ini, mestinya paling tidak ada seribu kain dalam waktu 10 tahun. Masalahnya si pengelola ini tidak menghayati dokumentasi yang bapak jelaskan tadi. Dokumentasi itu kan harus direkam, digambar, dibikin jadi buku lalu disebarluaskan supaya pengrajin bisa bikin pola baru. Tapi itu satu cara, Pak. Penyebarluasan dokumentasi yang bapak masalahkan tadi adalah kuncinya. Kalau tidak percuma saja. Etika militer yang bapak mau tulis itu juga sia-sia, dan bapak akan kecewa. Jadi, di samping mengumpulkan, kita harus menyimpan, melestarikan. Jadi tulisan bapak yang ratusan halaman itu jangan cuma dimakan debu, tapi dicetak dan disebarluaskan. Soal murah-mahalnya, itu urusan kedua.

Ayu Ratih

Museum sebenarnya institusi pendidikan modern seperti yang lain. Kembali soal Revolusi Prancis yang menghasilkan republik. Republik itu mengambil tanggungjawab untuk mendidik, yang sebelumnya ada di tangan institusi tradisional. Artinya urusan museum juga harus ditanggung pemerintah. Pak Hario tadi tanya, siapa yang bayar. Ya, pemerintah yang bayar. Seperti juga sekolah. Katakanlah monumen untuk mengenang korban Mei 1998 yang seribu orang lebih itu. Untuk bikin monumen mau tidak mau mereka harus mendesak Pemda, mendekati pengusaha yang mau bantu. Jadi harus dari dua arah, tidak bisa dilepas begitu saja kepada masyarakat, tapi juga tidak diserahkan mentah-mentah kepada pemerintah. Karena ada bahaya yang tadi disebutkan Agung Putri. Begitu juga dengan sekolah. Kalau dilepas sepenuhnya ke masyarakat, maka jadilah sekolah-sekolah elite, seperti Pelita Harapan, Al Azhar dan sebagainya. Kalau sekarang ditanya kepada masyarakat, "perlu museum atau tidak?" Mungkin mikir saja tidak. Jadi perlu kesadaran bahwa masyarakat, kita semua ini, perlu dapat pencerahan, dibebaskan dari kebodohan, kemiskinan dan sebagainya. Dalam konteks ini museum menjadi penting, sama seperti institusi pendidikan atau institusi modern lainnya, yang tugasnya adalah pembebasan manusia. Jadi tidak relatif dalam arti tersearh mau buat museum, ya buat saja. Saya pikir tidak sesederhana itu. Misalnya di Amerika, banyak sekali museum yang menjadi simbol status sosial. Jadi ada orang kelebihan uang dan menghindari pajak, bikin museum. Dari bawah ada orang yang mau bikin museum Holocaust, museum ras di Kalifornia dan sebagainya. Semua itu diatur oleh pemerintah negara bagian, jadi ada kerjasama semacam itu. Saya pikir semua ini tidak bisa berdiri begitu saja. Selalu ada kaitan antara civil society dan pemerintah. Masalahnya sekarang, siapa yang punya akses seperti itu?

Adji

Jadi, menurut kami pemerintah pun harus diketok dari atas. Akhirnya jadi dikotomi antara pemerintah sebagai pusat kekuasaan dan masyarakat. Semua ini harus dipertentangkan, agar bisa timbul yang kamu harapkan itu?

Ayu Ratih

Ya, kita kembali lagi ke demokrasi tadi. Pemerintah ini tidak lepas dari masyarakat. Kalau pemerintah lahir sebagai organ yang dibentuk oleh masyarakat dengan sendirinya dia akan berusaha ke arah itu.

Adji

Tapi itu masalah waktu lagi.

Ayu Ratih

Ya, memang. Tapi kita kan bicara soal perlu tidaknya museum. Sama seperti kita bicara perlu tidaknya demokrasi.

Adji

Masalahnya, apakah pendidikan kita sekarang setara? Apakah pendidikan semua orang sama, dari orang gedongan di kota sampai orang desa? Menurut saya yang perlu ditinjau lagi sekarang adalah soal desentralisasi. Orang bisa bicara tentang muatan lokal. Dan itu perlu waktu dan kesadaran juga. Soal kesetaraan itu justru yang jadi masalah. Sejak dulu kebijakannya semua orang dapat kesempatan pendidikan yang sama. Tapi kesempatan untuk meningkatkan hidup tidak mungkin sama. Di seluruh dunia juga begitu. Kecuali kalau pendidikannya disesuaikan dengan lingkungan. Konsep pendidikan universal ini kan lahir dari watak fasis Revolusi Prancis yang mematahkan demokrasi. Kita ingat, bahasa-bahasa daerah di Prancis dilarang. Baru beberapa tahun lalu Prancis mengubah konstitusinya mengenai kedudukan bahasa daerah. Di negara Eropa yang lain tidak ada masalah seperti itu, hanya di Prancis. Artinya di Prancis yang sudah dua ratus tahun revolusinya, baru tahun 1989 ada desentralisasi. Kita baru 50 tahun merdeka, mau berpikir tentang desentralisasi sekarang tapi bentuknya apa juga kita tidak tahu.

Moderator

Baiklah, saya pikir diskusi ini sudah cukup, ada banyak hal yang dibicarakan. Dari museum ke pendidikan, akhirnya sampai ke demokrasi dan desentralisasi. Saya tutup sampai di sini, dan selamat malam.