Pembajak Bertoga di Sarang Ilmu

Senin, 9 Juni 2008 | 03:27 WIB

Oleh: TAMRIN AMAL TOMAGOLA

Praktik pembajakan karya ilmiah sudah lama terjadi di semua jenjang pendidikan tinggi, mulai dari tingkat sarjana, magister, hingga doktoral dan profesoriat. Para peneliti di lembaga penelitian bergengsi non-universitas dan mereka yang bersaing mendapatkan berbagai dana penelitian departemen juga sama terlilit gurita pembajak bertoga ini.


Ada keterkaitan yang erat dan kentalnya atmosfer pemafhuman yang saling menguntungkan antara para perampok bertoga di sarang ilmu dan para penyamun di sangkar-besi (Iron cage, Max Weber) birokrasi pemerintahan. Beberapa kasus puncak-es yang sempat menggemparkan publik adalah perampokan karya ilmiah oleh dosen senior UGM mantan Menteri Pendidikan Nasional masa Gus Dur; penangkapan dua makalah jiplakan seorang anggota Kabinet Indonesia Bersatu yang disajikan dalam seminar internasional; pencopotan gelar doktor alumnus UGM yang ketahuan mencuri karya ilmiah sejawatnya; pencekalan proses, walau belakangan akhirnya lolos juga, usulan guru besar Universitas Indonesia karena penipuan akademis yang sama; paling mutakhir adalah pencopotan guru besar Lemhannas.

Praktik plagiarisme yang merata-menyeluruh ini hanya bisa terjadi karena dimungkinkan secara sistemik oleh tatanan kelembagaan yang ada. Stadium pembajakan bertoga di sarang ilmu dengan pemafhuman para penyamun di sangkar-besi ini sudah sama parahnya dengan stadium korupsi di negeri ini. Pemaparan berikut ini merupakan pengalaman dan temuan penulis sejak masih mahasiswa hingga menjadi dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) selama 40 tahun terakhir serta birokrat di beberapa lembaga negara.

Pencoleng di sarang ilmu

Para pencoleng di sarang ilmu ini dapat dibedakan dalam dua kategori besar. Pertama, kategori pencoleng kelas teri, dan, kedua, kategori pencoleng kelas kakap. Kategori pertama, pelakunya adalah mahasiswa dan dosen muda yang baru lulus. Modusnya beragam, mulai dari nyontek dalam ujian tertulis di kelas atau penjokian saat ujian akhir semester. Modus yang marak terjadi adalah pencolengan karya ilmiah orang lain dalam pembuatan makalah akhir semester atau meminta teman membuatkan makalah. Penulis sendiri menemukan praktik memfotokopi makalah-makalah tutorial tahun-tahun sebelumnya dengan hanya mengganti nama si empunya dengan namanya sendiri untuk didaku sebagai karya asli yang terjadi dalam kelas-kelas tutorial program reguler pascasarjana ilmu sosial ilmu politik di tahun 1990-an.

Modus lainnya adalah beramai-ramai mendatangi seorang dosen pembimbing tesis dan disertasi lalu beramai-ramai pula menulis sejumlah tesis atau disertasi dalam ranah permasalahan yang sama. Ranah dan dosen yang sedang laku keras di Departemen Sosiologi FISIP UI adalah ranah dan dosen social capital, konflik sosial dan globalisasi yang digarap dengan analisis wacana, di mana pembuktian secara ketat ilmiah sangat sukar ditegakkan.

Sebetulnya, celah penangkapan pencolengan karya ilmiah relatif lebih mudah dilakukan lewat praktik bimbingan-borongan oleh dosen-dosen tertentu ini. Sejumlah kecil pembimbing terbatas ini sangat mungkin melakukan kontrol dan pencegahan pencurian karya ilmiah. Namun, karena beban bimbingan yang demikian berat, celah kelengahan dan kelalaian dari dosen pembimbing sangat mudah terjadi.

Meskipun demikian, pengontrolan dan pencegahan masih bisa dilakukan pada saat ujian lisan pertanggungjawaban karya. Jika saja para penguji, khususnya penguji ahli, benar membaca secara cermat, dengan mudah bisa ditemukan barang curian akademis. Pengawal integritas ilmiah para calon magister dan doktor yang krusial adalah ketua program studi dan ketua departemen. Sayangnya, justru di sinilah titik kelemahan utama. Tidak jarang terjadi, para birokrat kampus hanya melakukan scanning atas karya yang diuji. Dalam banyak kasus pertanyaan tidak kritis-orisinal kecuali mengulang kembali butir-butir pertanyaan yang telah diajukan oleh penguji ahli. Tesis atau disertasi yang dibolak-balik pun nyaris bersih tanpa catatan dan penanda halaman tertentu.

Pelaku dalam kategori kedua, yaitu pencoleng kelas kakap, adalah dosen senior yang kesohor pada masanya dan disegani dalam bidangnya. Paling tidak, ada tiga modus operandi di area ini. Pertama, dengan mengambil alih karya ilmiah pihak lain dan diterbitkan sehingga mendatangkan keuntungan finansial. Praktik ini pernah penulis temukan sekitar 31 tahun silam saat tugas belajar nondegree dalam Statistik Sosial dan Metodologi Penelitian Sosial di Universitas Leiden. Saat itu, buku wajib yang harus dibaca dengan cermat adalah buku statistik karangan dua profesor matematika dan ekonomi, Thomas H Wonnacott dan Ronald J Wonnacott, dari Kanada berjudul Introductory Statistics, Second Edition, terbitan John Wiley & Sons, Inc Toronto tahun 1969. Buku materi-keras yang penuh dengan ilustrasi didaktik yang menarik ini sangat membantu pemahaman. Ketika sampai pada Bab 15 tentang Bayesian Decision Theory, penulis mendapat kesulitan memahaminya. Karena itu, sebuah buku statistik laris karya seorang dosen senior FE UI saat itu penulis pakai sebagai buku bantuan. Ternyata, hampir satu paragraf penuh di buku dosen FE UI itu persis sama kata per kata tanpa ada catatan kaki yang menyebut sumbernya, walaupun di bagian Daftar Pustaka ada tercantum buku asli dari Kanada itu.

Selain kasus buku statistik tersebut, penulis juga menemukan kasus lainnya saat menjabat Dekan FISIP Universitas Terbuka periode 1998-2000. Salah satu staf akademik memberi tahu bahwa ada modul yang ditulis oleh seorang doktor komunikasi UI yang sedang kondang saat itu dan dicurigai sebagai hasil jiplakan dari disertasi seorang yuniornya di fakultas yang sama di UI. Sayangnya, pemilik asli dari karya yang dijiplak itu menolak untuk mempersoalkan lebih lanjut. Bila ada yang berminat mencermati berbagai modul belajar di Universitas Terbuka, sangat mungkin ditemukan sejumlah kasus lain dalam pencurian karya yang dibuat dalam bentuk Modul Belajar Universitas Terbuka.

Modus kedua dalam kategori kelas kakap ini ialah dengan mendaku karya pihak lain sebagai karya orisinal sendiri dan memasukkannya ke dalam sistem birokrasi kenaikan pangkat pegawai negeri sipil. Ada sumber tumpukan karya ilmiah yang dapat digerayangi. Pertama, perpustakaan fakultas dan universitas. Cukup banyak skripsi, tesis, dan disertasi yang raib dari ruang perpustakaan UI. Tesis master dalam bidang Demografi Sosial milik penulis termasuk dalam kelompok yang raib itu. Seorang petugas di perpustakaan itu kemudian memberi tahu bahwa tesis itu diperjualbelikan di pasar loak dekat Pasar Baru Jakarta. Tidak tertutup kemungkinan para dosen universitas lain, negeri maupun swasta, mengambil alih karya ilmiah itu untuk perolehan finansial maupun perolehan gengsi gelar akademik. Sumber kedua penggerayangan karya ilmiah orang lain adalah tumpukan yang semakin menggunung dari dokumen bukti karya ilmiah yang disetorkan ke fakultas, universitas, dan akhirnya di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Tidak ada yang bisa menjamin bahwa tumpukan dokumen itu tidak dimanfaatkan para pengecer karya ilmiah di tiap titik penumpukan dokumen itu.

Modus kedua ini erat terkait secara sistemik dengan proses birokratisasi kepangkatan dan gelar profesor di perguruan tinggi dan Depdiknas. Para birokrat Depdiknas yang sedang mengejar gelar di berbagai perguruan tinggi bukan tidak mungkin tergiur dengan tumpukan karya ilmiah yang ada di dalam gudangnya. Demikian juga dengan rekan mereka di daerah-daerah. Semakin jauh dari Jakarta, semakin sulit untuk memantau kecenderungan praktik plagiarisme ini.

Modus ketiga di dalam kategori ini adalah dengan mencuri karya pihak lain dan memasukkan baik sebagai proposal penelitian maupun sebagai Laporan Penelitian ganda untuk beberapa pemberi dana. Modus terakhir ini pun sangat terkait dengan sistem birokrasi pendidikan dan penelitian nasional. Beberapa kasus terkait modus ini pernah penulis alami sendiri.
Kasus pertama ditemukan penulis ketika menjabat sebagai birokrat di Kementerian Negara Kependudukan dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional periode 1993-1998. Ada peneliti senior dari lembaga penelitian nasional yang memasukkan satu karya sama ke beberapa pemberi dana. Kasus kedua kembali ditemukan di Kementerian Negara Riset dan Teknologi ketika seorang doktor yang baru lulus dari universitas terkemuka di Jawa Timur memasukkan naskah disertasinya seolah-olah sebagai hasil penelitian baru yang didanai program Riset Unggulan Kemasyarakatan dan Kemanusiaan di Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Tumpukan proposal yang dimasukkan para calon peneliti dalam program Hibah Bersaing diduga sangat rentan terhadap aksi pencolengan karya ilmiah kelas kakap ini.

Ciri praktik plagiarisme

Dari uraian di atas dapat disimpulkan ada beberapa ciri menonjol praktik plagiarisme di perguruan tinggi Indonesia. Pertama, praktik ini sudah sangat menyeluruh di sekujur tubuh pendidikan tinggi negeri. Apabila di ranah politik dikenal istilah corrupt political culture, di ranah akademik berlaku corrupt academic culture. Mulai dari pencoleng kelas teri sampai dengan kelas kakap beroperasi di sarang ilmu pengetahuan. Dosen yang kurang gizi dengan beban yang berlebihan membuat praktik ini menderas tak terbendung.

Kedua, praktik ini sangat terkait dengan sistem kelembagaan birokrasi mulai dari program studi, departemen ilmu, fakultas, sampai dengan universitas dan Depdiknas. Sistem kenaikan pangkat pegawai negeri dan berbagai dana hibah menjadi lahan strategis di mana plagiarisme itu tumbuh subur. Iming-iming gelar akademik melalui sistem pengumpulan kum membuat sebagian besar insan akademik lupa diri dan menistakan diri secara sangat vulgar. Banyak dari mereka yang terkena kasus sebetulnya sangat cerdas untuk terperosok dalam kenistaan yang memalukan ini.

Ketiga, praktik plagiarisme ini terus terjadi karena ada kelemahan sistemik secara berjenjang. Sejak awal mahasiswa tidak diberi bekal pengetahuan teknis untuk menjaga kejujuran akademis melalui kuliah-kuliah seperti yang biasanya dilakukan di universitas-universitas di luar negeri. Australian National University, misalnya, membekali mahasiswanya dengan kuliah Study Skills for Academic Writing selama tiga bulan penuh. Melalui kuliah ini mahasiswa menjadi terbiasa dan merasa wajib untuk menyebutkan sumber di dalam karya ilmiah yang ditulisnya.

Ciri keempat adalah kontrol yang sangat lemah di kalangan pengajar. Hal ini berkaitan dengan kurangnya dosen membaca dan mengikuti perkembangan pemikiran-pemikiran mutakhir. Selain itu, sering juga makalah ataupun skripsi dan tesis mahasiswa tidak dibaca dengan cermat. Akibatnya, bila ada karya ilmiah yang merupakan hasil plagiarisme, tidak dapat terdeteksi.

Kelima, sistem peer-reviewers tidak ditegakkan di universitas. Sistem ini pada gilirannya dapat mengontrol secara dini praktik plagiarisme di antara para pengajar. Kecenderungan yang terjadi di beberapa universitas adalah bila memberi komentar ataupun mengkritik sesama kolega akan dianggap ”sama teman sendiri kok begitu sih”. Sistem peer-reviewers ini tampaknya juga tidak dipraktikkan di dalam pengelolaan jurnal. Seharusnya, makalah atau hasil penelitian yang akan diterbitkan di dalam jurnal dibahas dahulu oleh peer- nya.
Lantas, bagaimana jalan keluarnya? Pertama-tama tentunya semua pihak yang terlibat perlu mengakui secara jujur adanya praktik tersebut. Selanjutnya, salah satu yang bisa dilakukan adalah menata tempat-tempat yang menjadi sumber plagiarisme itu. Setelah itu, barulah dicarikan pemecahannya secara sistemik dengan kontrol ketat berjenjang. Seluruh dokumen karya para dosen untuk kenaikan pangkat yang sekarang menumpuk di Depdiknas perlu dinilai kembali. Suatu Komisi Pemberantasan Pembajakan Karya Ilmiah sudah saatnya dibentuk Depdiknas.

Dengan diawaki oleh cendekiawan Indonesia berintegritas tinggi, seperti Prof Dr Sutandyo Wignyosubroto, Prof Dr Satjipto Rahardjo, Prof Dr Taufik Abdullah, Dr Daniel Dhakidae, serta Dr Ignas Kleden, pembenahan menyeluruh masih belum terlambat untuk diupayakan.

Tamrin Amal Tomagola, Sosiolog